Bab 8. Rencana Gila Evelyn

1238 Kata
Evelyn menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Merry dengan tatapan datar. "Saya masih waras, Merry. Bahkan lebih waras dari sebelumnya," ucapnya santai, mengambil gelas air yang dibawakan sekretarisnya dan meneguknya perlahan. "Tapi, Bu, menggunakan gosip seperti itu … bukankah itu berisiko?" tanya Merry dengan ekspresi penuh kekhawatiran. "Bagaimana kalau gosip itu justru merugikan Ibu sendiri?" Evelyn tersenyum tipis. "Kalau saya yang mengendalikan gosipnya, maka itu tidak akan menjadi bumerang untukku." Merry masih terlihat ragu. "Lalu, bagaimana caranya Ibu ingin menggunakan gosip itu?" Evelyn meletakkan gelasnya di meja, menautkan kedua tangannya sambil berpikir. "Pertama, saya akan memastikan gosip ini semakin menyebar di kalangan atas. Dengan begitu, orang tuaku tidak akan terus-menerus menjodohkanku dengan anak teman mereka yang kelakuannya seperti setan." 'Memangnya Ibu nggak sadar, kalau kelakuan Ibu setara dengan iblis?' keluh Merry di dalam hatinya. Tak lama Merry mengangguk pelan, mulai memahami rencana atasannya. "Dan yang kedua?" Evelyn menyeringai, tatapannya tajam penuh perhitungan. "Saya akan membuat Ronald berpikir jika saya sudah memiliki seseorang. Jika dia mengira saya sudah punya pria lain, si b******k itu akan berpikir dua kali sebelum mencoba mendekat lagi." Merry menelan salivanya dengan kasar, memahami bahwa Evelyn benar-benar serius dengan rencananya. "Tapi … siapa yang akan Ibu gunakan untuk menjadi 'pasangan' Ibu? Maksud saya, tidak mungkin Ibu tiba-tiba muncul dengan pria misterius begitu saja, kan?" Evelyn terdiam sesaat. Itu memang pertanyaan penting. Jika ingin rencananya berhasil, dia membutuhkan seseorang yang cukup meyakinkan untuk berperan sebagai pasangan pura-puranya. Saat itulah ponselnya bergetar, menampilkan nama yang entah mengapa membuat bibir Evelyn melengkungkan senyum penuh makna. Mister Joseph. Merry yang melihat perubahan ekspresi Evelyn langsung menyipitkan mata curiga. "Ibu Eve … jangan bilang kalau …" Evelyn menekan ikon gagang telepon berwarna hijau, lalu dengan nada santai berkata, "Mister Joseph? Ada apa lagi Sir menghubungi saya? Jika ini berkaitan dengan Timoti, maka saya bersedia untuk meluangkan waktu dengan Mister." Merry langsung menjatuhkan diri ke kursi di depan meja Evelyn, memijit keningnya sendiri. Merasa stres karena kegilaan sang atasan yang di luar nalar. "Oh Tuhan … ini akan jadi kekacauan besar!" pekiknya dengan frustrasi. Sementara Evelyn bersiap untuk melakukan percakapan dengan wali kelas Timoti. Dari ujung sambungan telepon terdengar tawa kecil. “Evelyn, kamu terdengar jauh lebih ramah dari tadi siang. Apa yang terjadi?” Evelyn memutar matanya merasa kesal dengan Joseph. Dia lalu berkata dengan intonasi suara yang tetap tenang. “Bukan apa-apa, Mister. Saya hanya ingin memastikan bahwa percakapan kita kali ini tidak akan melebar ke arah yang tidak perlu.” Joseph mendengus. “Baiklah, kalau begitu aku akan langsung ke intinya. Aku ingin secepatnya bertemu denganmu. Kita bisa membicarakan Timoti, dan … hal lain yang mungkin menarik minatmu.” Evelyn menyipitkan mata, Joseph terlalu terang-terangan mendekati dirinya dan dia tak menyukai hal itu. “Mister Joseph, saya tidak punya waktu untuk meladeni rayuan receh yang keluar dari mulut Anda.” “Tenang saja, Evelyn.” Suara Joseph terdengar lebih rendah, nyaris seperti bisikan. “Aku janji, kamu tidak akan menyesali pertemuan ini. Jadi, bagaimana?” Evelyn menimbang-nimbang sejenak. Rencana yang muncul di benaknya barusan terasa semakin masuk akal. Joseph bisa menjadi sosok yang sempurna untuk membuat Ronald percaya bahwa dia sudah tidak bisa mendekatinya lagi. Dengan sedikit senyum penuh arti, Evelyn akhirnya menjawab, “Baiklah. Kita bertemu besok lusa saat jam sekolah berakhir. Katakan saja di mana lokasi yang Mister inginkan.” "Baiklah. Akan aku beritahu nanti lokasi pertemuan kita. Sampai jumpa lagi, Cantik." Evelyn merinding saat Joseph memanggilnya cantik. Dia bahkan menggeram kesal setelah sambungan telepon itu berakhir. Setelah emosi Evelyn mereda, barulah Merry berani bertanya. "Ibu serius akan menggunakan pria itu untuk rencana ini, Bu?” Evelyn menyandarkan tubuhnya, tersenyum santai. “Kenapa tidak? Pria itu memiliki citra yang kuat dan berwibawa. Jika Ronald melihatku bersama Joseph, dia pasti akan berpikir dua kali untuk mendekat.” Merry masih tampak ragu. “Tapi, bagaimana kalau pria itu tidak mau bekerja sama?” Evelyn menyeringai lalu berkata dengan penuh keyakinan. “Kalau begitu biarkan saja gosip itu semakin membesar dengan adanya pertemuan pribadi antara saya dan pria itu di luar jam sekolah." Merry menghela napas panjang dan mau tak mau mengikuti rencana gila Evelyn. “Baiklah, Bu." "Merry. Tolong cek jadwal saya setelah ini. Saya mau pulang cepat karena udah janji dengan Timoti untuk makan pizza nanti malam." Titah Evelyn. Merry segera memeriksa jadwal Evelyn. "Jadwal Ibu Eve sudah kosong dan Ibu bisa pulang sekarang," ucap Merry 2 menit kemudian. Evelyn mengangguk dan segera merapikan meja kerjanya, dia juga mengatakan kepada Merry agar tidak pulang terlalu larut. Sepanjang perjalanan menuju tempat parkiran, Evelyn kembali berpikir tentang rencana dadakannya, semoga saja memanfaatkan gosip ini akan membuat dirinya melajang selamanya sekaligus menghempaskan Ronald dari hidupnya. "Tak sia-sia aku menunggu di sini." Evelyn hanya dapat mendengus saat mendengar suara Ronald. Pria itu dan egonya adalah dua hal yang tak dapat terpisahkan. Evelyn menghentikan langkahnya, menatap Ronald dengan ekspresi dingin. Pria itu berdiri bersandar di mobil mewahnya, mengenakan kemeja biru dengan beberapa kancing atas terbuka. Pada bahunya tersampir jas hitam, tingkah Ronald seolah ingin menunjukkan pesonanya yang sayangnya sama sekali tidak menarik bagi Evelyn. "Apa maumu, Ronald?" tanya Evelyn tanpa basa-basi. Ronald tersenyum miring, melangkah mendekat. "Aku hanya ingin memastikan satu hal. Gosip yang ku dengar itu benar 'kan Eve?" ujar Ronald dengan mata menatap Evelyn dengan penuh minat. Evelyn melipat tangan di depan dadanya lalu berkata dengan nada mengejek. "Gosip? Sekarang kau tertarik dengan hal itu rupanya." Ronald terkekeh pelan. "Karena gosip itu berkaitan denganmu, Evelyn. Mau tak mau aku juga harus mengikutinya," balas Ronald dengan senyum menggoda. Evelyn hanya mengangkat bahu santai. "Lalu kenapa jika gosip itu benar? Apa itu mengganggumu?" Ronald terdiam sejenak, lalu mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa langkah. "Tentu saja itu menggangguku, Babe. Aku masih menginginkanmu." Evelyn menahan keinginannya untuk meninju wajah Ronald saat pria itu memanggilnya 'Babe'. Dia tersenyum sinis lalu berkata dengan nada suara tegas. "Sayangnya, aku sudah tidak menginginkanmu, Ronald. Seharusnya kau sudah paham itu sejak kau berselingkuh." Wajah Ronald berubah seketika, senyum di bibirnya memudar. "Evelyn ... aku tidak suka dipermainkan." Evelyn mendongak, menatapnya dengan penuh percaya diri. "Oh, jadi sekarang kau tidak suka dipermainkan? Lucu sekali pemikiranmu itu. Padahal kau yang bertingkah, tapi kenapa aku yang menjadi tersangkanya di sini." Ronald mengepalkan tangannya, berusaha tetap mempertahankan ketenangannya. "Jadi benar kamu sudah bersama pria lain?" Evelyn tersenyum tipis. "Apakah gosip yang kau dengar tidak cukup untuk menyakinkan egomu yang tinggi itu?" Tanpa menunggu reaksi Ronald lebih lanjut, Evelyn melewati pria itu begitu saja. Dia berjalan menuju mobilnya. Namun di punggungnya, Evelyn dapat merasakan tatapan tajam pria itu. Tapi apa pedulinya? Toh Ronald juga tidak memedulikannya saat berselingkuh darinya. Setidaknya ini adalah balasan setimpal atas rasa sakit hatinya kepada pria itu. Evelyn masuk ke dalam mobilnya tanpa melihat ke belakang. Dia menghembuskan napas panjang, mencoba meredam emosinya. Ronald memang selalu seperti itu—egois, penuh percaya diri, dan berpikir dunia berputar di sekelilingnya. Saat mesin mobil menyala, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal muncul di layar. Mister Joseph. 'Jangan lupa dengan janji kita, Evelyn. Aku menunggumu besok lusa." Evelyn mengernyit. Pesan itu jelas mengandung nada menggoda karena disertai emoticon wajah mengedip, dan itu cukup membuatnya frustrasi. Dia tidak suka pria b******k seperti Ronald. Tapi Joseph juga tipe yang berbahaya dalam cara yang berbeda, apalagi mereka pernah berbagi cairan tubuh. "Dasar pria penggoda," gumamnya sebelum memasukkan ponsel ke dalam tas. Saat mobilnya melaju, Evelyn mencoba fokus pada hal yang lebih penting. Timoti. Anak itu adalah satu-satunya hal yang benar-benar membuatnya bertahan sejauh ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN