'Akhirnya aku tiba juga di Jakarta,' gumam Evelyn di dalam hati saat pesawat mendarat di Jakarta.
Sang pria yang melihat Evelyn tampak ragu-ragu sebelum turun akhirnya mengajak bicara. "Mungkin ini terdengar klise, tapi aku yakin ada sesuatu yang indah di balik rasa duka yang kamu hadapi."
Evelyn menoleh dengan sedikit terkejut lalu berkata. "Terima kasih atas dukungannya. Itu ... sangat berarti bagiku." Setelahnya Evelyn keluar dari pesawat mengikat arus penumpang yang lain.
Lalu lintas yang tidak terlalu padat membuat Evelyn tiba di rumah duka sekitar pukul 2 siang. Isak tangis Gina-ibunya adalah hal yang pertama dilihatnya.
Sementara Herry-ayahnya hanya duduk termangu memandang foto sang kakak yang terletak di depan peti. Hati Evelyn terasa sesak, seakan-akan ada batu besar yang menghimpit.
Tanpa sadar air matanya menetes deras, kehancuran kedua orang tuanya karena kehilangan sang kakak menimbulkan sebuah pemahaman di dalam hatinya.
'Semua pria memang b******n! Karena pria k*****t itu, Kak Eva meninggal saat melahirkan. Ronald juga hampir melecehkan aku. Lebih baik aku tidak menikah selamanya.'
Suara tangisan bayi memecah lamunan Evelyn, saat menoleh dia melihat seorang wanita berpakaian khas baby sitter sedang menggendong seorang bayi . Dia segera menghapus jejak air matanya dan menghampiri sang bayi yang Evelyn yakini adalah keponakannya.
"Mami akan merawatmu, Nak," ucap Evelyn yang mengambil sang bayi dari gendongan sang baby sitter.
Sang bayi yang seketika menangis langsung terdiam saat Evelyn memeluknya, merasa aman dalam dekapan sang tante yang hangat.
***
6 tahun kemudian di sebuah ruangan kantor tampak 2 orang wanita sedang berbincang dengan serius. Salah seorang wanita tampak menghadapi laptopnya dengan raut wajah serius.
Namun suasana tenang itu harus terganggu dengan suara dentuman pintu yang kuat disertai teriakan menggelegar dari seorang wanita paruh baya.
"Eve. Mau sampai kapan kamu menolak pria-pria yang Mama kenalkan sama kamu!"
Evelyn yang menjadi sasaran amuk sang ibu hanya dapat menghembuskan napas kasar. Sepertinya Gina tak melihat, atau lebih tepatnya tidak memperhatikan jika dia sedang berbicara dengan sekretarisnya.
"Merry. Kamu bisa keluar sekarang. Kita lanjutkan nanti setelah Nyonya besar ini pulang." Mata Gina melebar saat mendengar Evelyn memanggilnya dengan nada mengejek, dia pun bersiap untuk memarahi Evelyn.
Sementara sang sekretaris yang merasakan suasana di antara ibu dan anak itu semakin memanas segera pergi dari ruangan Evelyn.
"Mah. Kenapa Mama mesti datang ke kantor, padahal setiap sore aku juga ada di rumah?" protes Evelyn dengan nada kesal.
Gina yang baru duduk di sofa khusus untuk tamu balik memandang Evelyn garang. Namun bukannya merasa takut, Evelyn justru menanggapi amarah sang ibu dengan wajah malasnya.
"Mama sengaja datang ke kantor, karena kalau di rumah kamu pasti bisa mengelak. Kamu itu maunya pria yang kayak gimana, sih? Memangnya apa kurangnya pria-pria yang kami kenalin sama kamu," cerocos Gina dengan wajah memerah karena emosi.
"Terus Mama maunya apa sekarang?" tanya Evelyn yang mencoba sabar menghadapi omelan sang ibu.
"Pilih salah satu pria yang menurut kamu paling terbaik. Kalau kamu cari yang sempurna itu nggak akan ada di dunia nyata. Memangnya kamu pikir ini novel atau drama," ujar Gina dengan sarkas.
"Mama. Sudah berapa kali aku bilang kalau pria-pria itu nggak ada yang bener kelakuannya. Mama mau aku menderita setelah menikah? Nggak mau 'kan?" Evelyn yang jengah dengan ucapan sang ibu segera melemparkan pertanyaan retoris.
Gina terdiam tak mampu membalas perkataan Evelyn, karena apa yang diucapkan sang putri benar adanya. Tapi yang namanya ibu-ibu pasti tidak mau mengakui kesalahannya. Gina malah menatap tajam Evelyn tajam.
"Evelyn! Kenapa kamu membantah Mama? Kamu senang kalau tekanan darah Mama melonjak drastis," ucap Gina dengan mendelikan mata.
Evelyn hanya dapat mengusap wajah dengan kasar dan memejamkan mata. Jika Gina sudah berubah dari marah-marah menjadi menyebalkan, maka artinya pembicaraan keduanya tidak akan berjalan dengan lancar.
"Mama!" panggil Evelyn dengan berteriak agar sang ibu tak melanjutkan kalimatnya.
"Mama lebih baik pulang aja kalau mau buat rusuh. Aku masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan," ucap Evelyn dengan nada datar.
Melihat sang putri yang tak dapat diajak bicara lagi, membuat Gina akhirnya meninggalkan ruangan tanpa berpamitan, membuat Evelyn hanya dapat menggelengkan kepala melihat kelakuan Gina yang kadang kekanakan.
Baru saja Evelyn duduk, ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi, menandakan jika ada pesan yang masuk. Ternyata sebuah ajakan untuk pergi ke klub dari teman-teman semasa SMA-nya nanti malam.
"Sepertinya aku memang butuh refreshing sejenak," gumam Evelyn sembari merespons ajakan di grup.
Karena penat membuat Evelyn akhirnya keluar dari gedung kantor. Raut wajah yang tegang membuat Merry urung bertanya dan membiarkan sang atasan pergi.
Evelyn menuju apartemen salah satu temannya untuk beristirahat. Dia tidak ingin pulang ke rumah, sebab Gina pasti akan mengoceh panjang lebar dan melarangnya untuk keluar kembali.
Sang teman yang melihat raut wajah Evelyn yang masam tak banyak bertanya dan membiarkannya untuk beristirahat selama beberapa saat.
Malam pun tiba dan Evelyn sudah selesai bersiap. Dia mengenakan dress hitam sederhana namun tetap memancarkan kecantikannya. Sementara sang teman memilih outfit yang lebih mencolok. Mereka tiba setelah menempuh perjalanan selama 30 menit.
Begitu masuk, suasana klub yang ramai dengan dentuman musik membuat Evelyn sedikit rileks. Namun itu tak berlangsung lama, karena salah seorang temannya mengajaknya berbicara.
“Kamu kelihatan stres banget. Ada masalah apa?" tanya temannya setelah menyesap minuman berwarna kuning keemasan.
Evelyn berdecak keras lalu berkata dengan penuh emosi. “Mamaku datang ke kantor buat nyuruh aku pilih salah satu pria yang dia kenalin, padahal aku nggak mau menikah. Semua pria itu b******k!"
“Kamu nggak pernah berubah, Eve. Dari dulu keras kepala. Tapi ... jujur aja, dari semua pria yang dikenalin sama kamu, memangnya nggak ada satu pun yang menarik?” tanya sang teman yang penasaran.
“Please, jangan bahas itu lagi. Aku ke sini buat refreshing. Jangan buat aku makin kesal,” ujar Evelyn dengan kesal.
“Oke, oke. Kalau gitu mari kita have fun sepuasnya tanpa memikirkan jodoh atau apapun itu.” Sang teman pun terkekeh saat mendengarnya.
Evelyn menggangguk dan beranjak ke meja bartender untuk memesan segelas minuman dengan kadar alkohol yang paling tinggi, dia ingin mabuk sepuasnya malam ini. Evelyn berdiri bersandar pada meja bar, mengamati teman-temannya yang asyik menari.
Baru beberapa menit Evelyn menikmati suasana, seseorang mengajaknya bicara. Evelyn segera berinisiatif untuk meninggalkan pria yang sudah sepenuhnya mabuk itu. Namun pria itu malah memeluk paksa Evelyn.
Evelyn berusaha meronta untuk melepaskan diri dari pria mabuk yang tangannya mulai menjamah bagian depan tubuhnya. Namun sayang, tenaganya kalah kuat dari pria itu.
"Lepaskan dia! Dia itu wanitaku." Sebuah suara tegas pria terdengar di antara hingar bingar klub ini.
Evelyn segera melepaskan diri dan berlindung di punggung pria penyelamatnya. Aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria itu membangkitkan sesuatu yang asing di dalam tubuh Evelyn. Sementara pria pemabuk itu merasa murka karena buruannya lepas begitu saja.
"Apa buktinya kalau dia adalah wanitamu?" tanya pria pemabuk dengan nada meninggi.
Efek alkohol yang diminumnya, membuat Evelyn bertindak impulsif. Dia segera menyatukan bibirnya dengan pria penyelamatnya. Jantung Evelyn seketika berdegup kencang, rasa panas menjalari sekujur tubuhnya. Dia mengerang saat pria itu membalas ciumannya dengan tidak kalah brutal. Lidah pria itu menerobos masuk ke dalam mulutnya dan mengabsen deretan giginya yang rapi.
Di tengah kegilaaan yang tak sengaja dia ciptakan, Evelyn tak menyadari jika seseorang di sudut ruangan dengan sigap mengarahkan kamera ponselnya ke arah mereka. Dalam hitungan menit, beberapa foto panas dirinya yang sedang berciuman dengan pria asing itu tersimpan tanpa sepengetahuannya.