"Buka bajumu, Sonya ... saya tidak kuat menahannya lebih lama."
Suara serak disertai dengan aroma khas alkohol menguar dari mulut pria tampan yang baru saja Sonya bukakan pintu itu membuatnya bergidik ngeri.
Dari ciri-cirinya dia bisa menarik kesimpulan apa yang tengah dialami Zeron, presdir di perusahaan tempatnya magang dan kini berstatus sebagai suaminya.
Ya, tak pernah terpikirkan dalam benak Sonya bahwa dia akan berakhir diperistri oleh seorang presiden direktur setelah coba-coba meminjam uang senilai 12 juta untuk biaya pengobatan ibunya.
Tak hanya sekadar menjadi istri, tapi dia juga menerima bayaran senilai 2 Miliar rupiah selama menjadi istri yang dikontrak Zeron untuk satu tahun ke depan.
Menurut pengakuan pria itu, pernikahan yang mereka lakukan hanya sebatas status, tidak lebih bahkan dia mengatakan no s*x di dalamnya.
Namun, malam ini Sonya mendapati sesuatu yang salah dan terasa berbeda. Tidak sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati, dan karena itulah Sonya mendorong tubuh Zeron.
"Bapak mau apa? Bukankah di perjanjian sudah jelas tertulis bahwa Anda tidak akan menyentuh saya?" Dengan suara bergetar, Sonya mencoba menyadarkan Zeron yang agaknya tengah lupa daratan.
Tak lupa, dia juga membenarkan piyama yang sempat Zeron coba buka kancingnya. "Siapa yang bilang?"
Zeron balik bertanya dengan senyum yang terkesan meremehkan. Matanya tampak merah, tapi dia masih mampu menjawab hingga Sonya menarik kesimpulan bahwa Zeron belum mabuk sepenuhnya.
Hal itulah yang membuat Sonya merasa sedikit lebih tenang, masih ada harapan bahwa dia tidak akan diterkam.
Sayang sekali, dugaan Sonya salah besar. Sebaliknya, justru dengan keadaan setengah mabuk semacam itu, dia semakin brutal dan terobsesi untuk mendapatkan apa yang dimau.
Tanpa memberikan aba-aba, Zeron melangkah lebih dekat hingga Sonya refleks berlari menjauh.
Apartemen yang tak begitu luas itu menjadi saksi bagaimana Sonya mencoba menghindari Zeron yang tengah berusaha menuntut haknya sebagai suami.
"Sonya ayolah, jangan membuatku marah!!"
"Tidak!! Aku tidak mau!!" pekik Sonya sembari menggeleng, gelagat Zeron kian mengerikan di matanya jujur saja.
Sonya menatap waspada, saat ini mereka hanya terpisah oleh satu sofa yang tak bisa dijadikan tempat berlindung dengan aman sebenarnya.
Dalam waktu sekejap, Zeron melompat hingga kini sudah berdiri tepat di hadapan Sonya.
"Aaaaaaaaarrrgggh!!" Sonya berteriak sekuat tenaga, tak ubahnya bak korban kekerasan sek-sual yang berusaha menghindari predator.
Bibirnya sampai gemetar, dan dalam keadaan panik, Sonya berpikir bahwa kamar adalah tempat paling aman.
Karena itulah, dengan langkah panjang dia bergegas menuju kamar tamu, kamar yang tadi sore Zeron katakan sebagai tempatnya tidur karena sejak awal mereka memang tidak sekamar.
"Huft ... Ya, Tuhan, aku harus bagaimana? Kenapa keadaannya jadi serumit ini?"
Sonya berdiri sembari bersandar di pintu, hal itu tak dia lakukan hanya sekadar untuk bersembunyi, tapi juga berlindung karena hingga detik ini Zeron masih mengetuk pintunya.
Tok tok tok
"Sonya bukaaaaa!!" Teriakan itu terdengar sangat nyata, jelas saja terlontar dari bibir Zeron yang tengah berusaha untuk masuk di luar sana.
Tanpa memberikan respon, Sonya menggeleng cepat, dia berharap betul Zeron akan berhenti mengusiknya.
Sementara Zeron masih terus berusaha meracau di luar sana, Sonya menatap ponsel yang terletak di atas tempat tidur.
Sejenak mengabaikan rasa takut yang membelenggunya, Sonya melangkah pelan dan bersiap untuk menghubungi seseorang demi meminta pertolongan.
Begitu ponsel berhasil dia genggam, Sonya segera berselancar untuk mencari nomor Laskar, pacarnya.
Sengaja dia memilih Laskar karena menurut Sonya, saat ini yang bisa dihubungi dan dimintai pertolongan adalah Laskar.
Hendak meminta bantuan pada ayahnya mana mungkin, pria itu terlalu sibuk dengan keluarga barunya bahkan untuk meringankan beban Sonya dalam membiayai pengobatan ibunya saja tidak bersedia.
Bukan hanya tidak bersedia, tapi Sonya juga menerima kata-kata kasar serta hinaan dari ibu dan saudara tirinya sewaktu mendatangi kediaman sang ayah yang merupakan rumah masa kecilnya dulu.
Kembali pada tujuan, Sonya mulai mengetikan pesan lantaran Laskar tak kunjung bisa dihubungi saat ini.
|| Laskar tolong!! Aku dalam baha-
"Heuh?" Gerakan tangan Sonya terhenti tatkala sadar ponselnya berpindah tangan.
Lirikannya juga beralih ke arah pintu yang ternyata kini sudah terbuka. Entah kapan Zeron berhasil masuk, tapi yang pasti tubuh gadis itu kini lemas tak bertenaga.
Dia segera memelas, memohon ampun dan berharap belas kasihan. "Jangan, Pak ... saya mohon, jangan sentuh saya."
Meski tahu bahwa yang di hadapannya ini adalah suami dan jelas saja berhak atas dirinya, tetap saja Sonya takut.
Bukan kmhanya karena keadaan Zeron yang dia yakini memang tengah dipengaruhi alkohol saat ini, tapi dia juga memikirkan masa depannya.
Lagi pula, alangkah berisikonya andai dia benar-benar sampai berhubungan se-ks dengan seseorang yang dia ketahui sebagai kamu penyuka sesama jenis ini.
"Pak, jangan ...."
Semelas mungkin Sonya mencoba, tapi agaknya percuma karena kini Zeron justru melemparkan ponsel Sonya dan mendorong tubuh mungil istrinya itu hingga terjerambab ke atas ranjang.
Menyadari bahwa posisinya semakin terancam, Sonya berteriak sekuat tenaga dengan harapan akan ada yang mendengar.
Namun, usaha itu gagal juga tatkala Zeron membungkam mulutnya dengan telapak tangan sembari berbisik pelan tepat di dekat telinganya. "Berteriaklah ... aku pastikan tidak akan ada yang mendengar suaramu kecuali aku."
.
.
- To Be Continued -