Tubuh Sonya bergetar, ucapan Zeron yang berusaha menekannya sukses membuat Sonya terdiam membisu. Kaku, tak lagi memiliki kesempatan untuk berontak dari pria itu.
Bersamaan dengan diamnya Sonya, Zeron kembali melancarkan aksinya. Tak ubahnya seperti pria yang tengah melampiaskan naf-su, kecupan kasar tak henti dia berikan pada wanita yang kini mulai tak berdaya di bawah kungkungannya.
Begitu tiba di bibir, dia berhenti sejenak lantaran tak mendapatkan balasan. Mata sendu yang mungkin tengah tertutup kabut itu menatap Sonya penuh damba.
Penuh tuntutan seolah ingin diimbangi, tapi Sonya memilih membuang muka. Beberapa saat terdiam, Zeron meraih dagunya hingga memaksakan Sonya untuk kembali menatap mata buas itu.
Tidak ada kata-kata yang lolos dari bibir Zeron, hanya ada senyum tak terbaca yang kemudian dia akhiri dengan kembali membungkam bibirnya dengan ciuman.
Adegan semacam ini harusnya ditunggu-tunggu oleh pasangan pengantin, tapi bagi Sonya berbeda.
Meski benar bahwa yang kini tengah menjamahnya adalah sang suami, tetap saja Sonya tidak rela karena di perjanjian tidak seperti ini.
Sepanjang Zeron masih terus mencoba berkuasa di atasnya, Sonya hanya bisa menitikkan air mata.
Saat ini, dia mengerti bahwa seorang penguasa memang bisa berbuat semaunya.
Bahkan, air mata dan rintihannya hanya Zeron anggap angin lalu. Tanpa merasa kasihan sedikit pun, Zeron fokus saja dengan tujuannya.
Hanya butuh hitungan detik bagi Zeron untuk melucuti pakaian yang melekat di tubuh istrinya, sampai kini hanya menyisakan kain pelindung di bagian d**a dan bawah perutnya.
Sesaat, gerakan pria itu terhenti sesaat dan menatap kagum pemandangan yang ada di hadapannya.
Buru-buru Sonya menutupi bagian sensitifnya dengan telapak tangan, tapi tangan Zeron secepat itu bertindak untuk menyingkirkan segala penghalang.
Merasa bahwa saat ini dia tidak lagi bisa melepaskan diri, Sonya hanya pasrah dan menunggu keputusan Zeron selanjutnya.
Sungguh besar harapan gadis itu bahwa Zeron akan mengurungkan niatnya, tapi sayang yang dia harapkan hanya sebatas angan belaka.
Alih-alih mengurungkan niat, Zeron semakin mempercepat langkahnya untuk menyatukan tubuhnya bersama Sonya.
Meski dengan mata yang terus menatap kemolekan tubuh wanita di hadapannya itu, tangan Zeron tak terlihat kesulitan ketika melucuti semua pakaiannya.
Dan, tanpa berpikir siap atau tidaknya Sonya, pria itu benar-benar menyatukan tubuhnya hingga membuat mulut Sonya menganga dengan jemari kaki yang menekuk hingga bukunya memutih saking tegangnya.
"Aaaaah."
Rintihan itu tertahan, bukan karena nikmat yang Sonya rasakan, melainkan rasa sakit yang menjalar di setiap pergerakan Zeron.
Bukan hanya sakit secara fisik, tapi mentalnya juga ikutan tertekan. Entah bagaimana dia menghadapi situasi ke depannya, kekasih dan ibunya apa mungkin tidak akan marah jika sampai tahu bahwa dia telah kehilangan mahkotanya.
Padahal, dua minggu lalu dia sudah berjanji bersama Laskar - pacarnya bahwa mereka akan menikah begitu lulus kuliah.
Jika sudah begini, apa mungkin Laskar masih mau meneruskan mimpi-mimpi itu bersamanya? Atau dia akan terbuang begitu saja?
Sementara itu, di sisi lain Zeron juga tidak mungkin bisa diandalkan untuk bertanggung jawab selamanya. Karena di perjanjian hanya tertulis waktu satu tahun, lebih dari itu mereka bukan siapa-siapa.
Pikirannya melalang buana entah ke mana, sementara tubuhnya tanpa sadar mulai menerima bahkan menikmati sentuhan panas dari pria yang secara usia cukup jauh di atasnya.
Rintihan yang tadi karena sakit mulai berbeda, dan beralih menjadi sebuah desahan yang lolos begitu saja.
Tak ingin Zeron menyadari hal itu, Sonya menutup mulutnya dengan telapak tangan dan berusaha sebisa mungkin bersikap tenang.
Namun, Zeron yang juga hanya fokus mencari kepuasan dan melegakan dahaganya sendiri sama sekali tidak menyadari hal itu, atau mungkin dia memilih tak peduli.
Karena yang kini Zeron lakukan hanya berusaha keras untuk mencapai puncak kenikmatan dengan membawa Sonya turut serta.
Dengan napas yang kian memburu, Zeron mempercepat tempo gerakannya. Sembari membungkuk dan memeluk tubuh Sonya hingga membuat Sonya panik seketika.
Sejenak dia melupakan tentang puncak kenikmatan yang tadi sempat membuat tubuhnya menegang, Sonya berusaha mendorong tubuh Zeron demi menghindari petaka yang lebih membahayakan, kehamilan.
"Pak ... stop!! Jangan diteruskan, Bapak tidak pakai pengam-"
"Aarrrgh damn it!!"
Belum selesai Sonya bicara, umpatan Zeron terdengar di telinganya. Bersamaan dengan itu, gerakan Zeron terhenti dan Sonya merasakan hangat di bagian intinya.
Mata Sonya membelalak, dia menggeleng cepat. Tubuhnya gemetar seolah baru saja kehilangan sesuatu yang paling berharga, wajahnya kian pucat pasi sebelum kemudian berbisik lirih, bahkan nyaris terputus. "Aaaarrgh ... K-kenapa bapak keluarin di dalam?"
.
.
Celaka!! Sesuatu yang paling ditakuti Sonya akhirnya benar-benar terjadi. Tidak mungkin salah. Fakta itu terlalu jelas, terlalu menusuk, hingga tubuhnya menegang kaku seketika.
Sementara itu, Zeron masih dalam posisi yang sama. Pria itu belum juga bergerak, dan baru beberapa saat kemudian, dia perlahan menarik tubuhnya menjauh lalu berbaring di sisi Sonya, napasnya berat dan tak beraturan.
Tatapannya kosong, menembus langit-langit kamar seolah tak terjadi apa-apa. Wajahnya terlihat tanpa beban, tenang dan tak berdosa.
Sangat kontras dengan Sonya yang saat ini sedang dihantam kepanikan luar biasa.
Dengan tangan gemetar, dia menyentuh bagian tubuhnya yang kini terasa asing. Sonya masih berharap, semoga ini hanya perasaannya saja. Mungkin dia terlalu tegang. Mungkin ini hanya rasa takut yang berlebihan.
Namun, harapan itu hancur seketika saat jemarinya menyentuh sesuatu, cairan kental yang membuktikan bahwa ketakutannya bukan ilusi. Napasnya tercekat. Tubuhnya kian gemetar, lemas tak bertenaga dan merasa dunia seperti berhenti berputar.
"Ya Tuhan," bisiknya lagi-lagi lirih, nyaris tak bersuara. Air matanya mulai menggenang. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa kata Laskar andai dia tahu aku tidak suci lagi?"
Tanpa berpikir panjang, Sonya bangkit dan berlari ke kamar mandi. Tak peduli dengan nyeri yang mencengkeram perut bagian bawahnya. Tak peduli dengan rasa sakit yang seharusnya membuatnya beristirahat.
Yang ada di pikirannya hanya satu, membersihkan diri, secepat mungkin, secepat yang dia bisa. Seolah dengan begitu, dia bisa menghapus segalanya. Seolah dengan mencuci bersih bagian tubuh yang ternoda, dia bisa memutar waktu kembali.
Setibanya di kamar mandi, Sonya menggosok tubuhnya dengan panik. Air hangat mengalir, tapi tidak cukup untuk menghangatkan hatinya yang membeku. Sonya mengusap kulitnya dengan begitu kasar, seolah noda itu bisa hilang jika dia cukup keras berusaha.
"Aku tidak mau hamil, aku tidak mau," bisiknya mulai menggigil dalam ketakutan.
Dia menggeleng keras, menolak realita yang sudah telanjur terjadi dalam hidupnya. "Tidak!! Tidak mungkin ... lagian baru sekali, iya ... satu kali dan tidak mungkin langsung jadi bayi 'kan?"
.
.
- To Be Continued -