Dengan spontan, Alexa melarang Bara untuk melakukan penyelidikan. Hal itu membuat suaminya bingung dan menatapnya penuh tanda tanya.
"Ehm … maksudku, untuk apa menyelidiki masalah ini lagi? Kita 'kan masih punya urusan lain yang lebih penting, yaitu soal Papa. Kita harus membuat Papa menerima pernikahan kita," jelas Alexa dengan tegas.
Bara tampak berpikir sejenak. "Ya, itu pasti. Aku pasti akan mencari cara supaya Papa menerima pernikahan kita, tapi mencari tahu siapa yang menjebakku waktu itu juga penting. Aku hanya ingin tahu, apa motifnya dan mengapa dia melakukan hal itu. Apa mungkin, dia adalah salah satu rekan bisnis yang tidak menyukaiku?" ujarnya sambil merenung.
"Ya, mungkin bisa saja," jawab Alexa, berusaha memahami pandangan suaminya. "Tapi menurutku, nggak perlu diselidiki. Toh, kita juga sudah menikah, jadi biarkan saja. Memangnya kalau kamu tahu siapa orang itu, apa yang mau kamu lakukan? Apa bisa membalikkan keadaan lagi?" ucap Alexa dengan nada menenangkan.
Dalam hati, Alexa merasa takut dengan apa yang mungkin terjadi jika Bara melakukan penyelidikan. Namun, dia juga sadar bahwa alasan Bara sebenarnya ingin melindungi kebahagiaan rumah tangga mereka.
Bara mengangguk mengerti, meskipun dia masih merasa penasaran. Tetapi untuk saat ini, mereka memutuskan fokus pada usaha membujuk Alex untuk menerima pernikahan mereka. Kebahagiaan keluarga adalah hal terpenting bagi mereka.
"Ya sudah kalau memang seperti itu. Sekarang kita pulang ya," ajak Bara.
"Om, lebih baik aku pulang sendiri saja ya. Kamu 'kan harus kembali ke kantor. Aku takut nanti Papa malah marah dan penilaian Papa terhadap kamu juga semakin buruk. Aku nggak mau kalau Papa benci sama kamu, padahal 'kan dulu Papa peduli banget sama kamu. Tapi sekarang, karena aku semuanya jadi berubah," ungkap Alexa, merasa bersalah.
Bara merasa Alexa menyesali keputusannya yang seharusnya tidak perlu. Bara tersenyum dan memegang pundak istrinya. "Lexa, kamu sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Sudahlah, semuanya juga sudah terjadi seperti yang kamu katakan tadi. Yang penting sekarang, kita hadapi saja apapun yang akan terjadi di masa depan. Percayalah, aku akan selalu ada bersamamu," ucap Bara yang membuat Alexa begitu tenang dan merasa nyaman.
Alexa tersenyum lega dan mengangguk. "Ya sudah, Om. Kalau begitu aku pulang naik taksi online saja ya, kamu kembali ke kantor saja duluan," ujar Alexa sembari menatap mata Bara yang penuh dengan kasih sayang dan kepercayaan.
"Tapi, kamu benar tidak apa-apa 'kan? Kamu 'kan sekarang sedang hamil muda, aku tidak mau terjadi sesuatu dengan kamu," kata Bara cemas.
"Aku akan baik-baik saja, Om. Kamu tenang saja, aku bisa menjaga diri kok," ujar Alexa dengan percaya diri.
"Aku tidak yakin, apa anak kecil dan manja sepertimu benar-benar bisa menjaga diri?" goda Bara.
"Ih, enak saja. Walaupun aku anak kecil, tapi aku sudah bisa buat anak kecil tahu, ini buktinya," sahut Alexa seraya memegang perutnya.
Bara terkekeh, melihat kepolosan Alexa yang mencoba membuktikan diri bahwa ia mampu menjaga dirinya. Terkadang, ada saat-saat ketika kita harus melucu meski dalam situasi yang sulit, agar perasaan tidak terlalu tegang.
"Ya sudah, aku percaya. Tapi, aku tunggu taksi kamu datang dulu," kata Bara.
"Iya, Om," jawab Alexa dengan antusias, lalu segera meraih ponsel di dalam tasnya.
Alexa mencari taksi yang kebetulan sangat dekat, hanya butuh waktu 5 menit untuk taksi online pesannya tiba di sana.
Alexa langsung masuk ke dalam taksi dan menuju kediamannya. Sementara itu, Bara harus kembali ke perusahaan karena memang masih ada pekerjaan yang harus dikerjakan.
Di tengah perjalanan, Bara merenung tentang kejadian barusan. Menggoda Alexa tentang ketidakmampuannya menjaga diri, meskipun sebenarnya ia tahu dia pasti bisa. Namun, itu adalah cara mereka untuk saling menghibur di tengah kesibukan yang tak pernah berakhir ini.
***
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, Alexa keluar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah, berniat untuk menuju ke dapur. Namun, saat melewati kamar orang tuanya, ia tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka. Rasa penasaran mendorongnya untuk berdiri di depan pintu dan mendengarkan percakapan yang terjadi.
"Pa, memang apa salahnya kalau Alexa dan Bara tetap tinggal di sini? Kita itu hanya punya Alexa, dia anak kita satu-satunya. Rumah ini juga terlalu besar kalau hanya kita dan pembantu yang tinggal di sini. Yang terpenting, Mama tidak bisa jauh dari Alexa," ucap Delia.
Sejenak hati Alexa terenyuh mendengar kekhawatiran ibunya, namun rasa penasaran membuatnya terus mendengarkan.
Alex pun menjawab, "Papa hanya ingin mendidik Alexa dan Bara untuk menjadi orang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang mereka lakukan. Lagi pula, siapa suruh mereka melakukan kesalahan? Mama juga tahu kalau Papa menaruh harapan besar pada Alexa. Papa ingin Alexa lulus kuliah, bekerja di perusahaan dan meneruskan perusahaan keluarga karena dia pewaris satu-satunya. Tapi kenyataannya apa? Dia harus menikah, mengurus suami, setelah itu punya anak dan mengurus anaknya. Benar-benar tidak bisa di harapkan!"
Alexa terus mendengarkan pembicaraan orangtuanya, sambil mencoba memahami perasaan mereka dan menemukan makna dalam setiap kata yang diucapkan.
"Papa ini benar-benar keterlaluan, ya. Egois! Malah mementingkan urusan perusahaan dari pada anak sendiri. Lagi pula, kenapa Papa tidak menyerahkan perusahaan kepada Bara saja? Bukankah Papa sudah menganggap dia bagian dari keluarga kita sejak lama dan bahkan sekarang dia sudah menjadi menantu kita. Papa juga mengakui kalau Bara sangat pintar dan banyak membantu untuk kemajuan perusahaan, bukankah seharusnya dia bisa menerima tanggung jawab untuk mengelola perusahaan?" Suara Delia bergetar, menunjukkan rasa kecewanya.
"Mama tidak akan mengerti. Sudahlah, tidak perlu membahas soal mereka lagi. Yang pasti, Papa ingin mereka segera keluar dari rumah ini," tegas Alex, lalu ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa sangat gerah setelah seharian beraktivitas,
Mendengar ucapan terakhir Alex, perasaan campur aduk melanda diri Alexa. Tanpa sadar, air matanya mulai mengalir. Rasa sedih di dalam hati semakin mendalam, seolah tak mampu melihat kekecewaan yang tersirat di wajah ayahnya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" batin Alexa.
Kemudian, ia kembali ke kamarnya, mengurungkan niat untuk pergi ke dapur dan mencoba untuk merenungi keputusan yang harus diambil.
***
Tak lama kemudian, Bara telah tiba di rumah. Ia langsung saja masuk ke dalam kamar dan menghampiri Alexa yang tampak murung, duduk bersandar di atas tempat tidur.
"Hai, istri kecilku," ucap Bara.
Alexa tak menjawab, namun langsung memeluk Bara untuk menenangkan hatinya, yang membuat Bara pun merasa kebingungan.
Sambil mengusap lembut rambut istrinya, Bara bertanya, "Ada apa, Sayang?"
Alexa melepaskan pelukannya, lalu Bara duduk di tepi ranjang dan menatap Alexa dengan wajah yang penuh kecemasan.
"Tadi, aku nggak sengaja mendengar pembicaraan Papa dan Mama," ucap Alexa.
Bara merasa penasaran. "Memangnya ada apa?"
Alexa menghela napas sebelum melanjutkan, "Aku baru tahu, alasan kenapa Papa begitu kecewa dengan pernikahan kita. Satu lagi, Papa juga mau secepatnya kita pindah dari rumah ini, Om."
Alexa pun segera memberitahu Bara, tentang semua yang tadi sudah ia dengar dan membuatnya merasa sedih.
Bara terkejut dengan pengakuan Alexa. Pikirannya bercampur aduk, mencoba memahami apa yang membuat mertuanya kecewa sekaligus merasa khawatir akan masa depan mereka berdua. Kini, keduanya harus berjuang menghadapi cobaan yang menanti di depan mata.
Bara menghela napas panjang, menenangkan dirinya sejenak sebelum berbicara, "Kamu yang sabar, ya. Kita tidak bisa menyalahkan Papa yang merasa kecewa atas kesalahan yang sudah kita lakukan. Mungkin rasa kecewanya begitu mendalam, tapi kita juga tidak bisa mengubah keadaan ini." Bara menatap Alexa dengan tulus. "Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menghadapi kenyataan ini dan membuktikan kepada Papa, meskipun kita sudah menikah tapi kita bisa mewujudkan keinginan mereka. Kita akan bisa melalui ini bersama."
Alexa tampak cemas. "Bagaimana caranya, Om?"
Bara tersenyum, mencoba menenangkan istrinya. "Tenang saja, pasti ada caranya. Kita akan melalui ini bersama-sama."
Mendengar kata-kata Bara, Alexa tersenyum lega. "Terima kasih ya, aku jadi lebih tenang setelah cerita sama kamu."
"Sama-sama. Sudah menjadi tanggung jawabku sebagai suami untuk menenangkan hati kamu," ucap Bara dengan lembut. Lalu, dia terkekeh pelan dan mengangkat satu alis. "Oh ya, ngomong-ngomong, apa aku boleh minta satu hal?"
Alexa terlihat penasaran. "Minta apa?" tanyanya.
"Sekarang ini 'kan aku sudah menjadi suamimu, kenapa kamu masih memanggilku dengan sebutan Om?" ujar Bara. "Apa kamu mau, teman-temanmu mengejekmu karena punya suami, Om-Om?" kelakarnya.
"Dih, memangnya kenapa? 'Kan memang kenyataan kalau suami aku itu, Om-Om?" celetuk Alexa sambil menggoda suaminya itu.
"Ih, kamu ini ya. Aku serius, jangan panggil aku Om lagi," pinta Bara.
"Jadi, kamu mau aku panggil dengan sebutan apa, Om Bara?" tanya Alexa nakal.
"Panggil aku sayang, karena sekarang aku adalah suami kamu," ucap Bara dengan penuh harap, membuat Alexa pun tersenyum.
"Iya, Om Bara sayang," sahut Alexa.
"Tanpa Om!" tegas Bara.
"Iya, Suamiku sayang," ucap Alexa membuat hati Bara merasa senang.
Tertawa bersama, keduanya merasa lebih ringan di tengah beban yang mereka hadapi. Mereka tahu bahwa mereka akan melalui semua ini, asalkan tetap bersama-sama.
Bara dan Alexa saling bertatapan, cinta dan rasa bahagia terlihat jelas dalam kedua bola mata mereka. Perlahan, Bara mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir Alexa dengan lembut. Alexa membalasnya, sehingga ciuman itu semakin lama semakin dalam. Tanpa melepaskan tautan bibir mereka, Bara menuntun istrinya hingga berbaring di atas kasur. Ciuman mereka semakin b*******h, seolah keduanya tengah saling menyatakan janji untuk saling melengkapi dan menjadi satu dalam ikatan suci pernikahan ini.
Di tengah hembusan napas yang semakin memburu, Bara merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang begitu menggoda di balik piyama yang dikenakan oleh istrinya. Seluruh tubuhnya merasa gemetar, rasa cinta yang kembali membangkitkan hasrat, membuat hati Bara semakin yakin bahwa tak ada lagi kekhawatiran tentang masa lalu, yang ada hanya kesetiaan dan cinta mereka berdua untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.
Bersambung …