Raut keterkejutan masih menyelimuti Airin atas lamaran tak terduga dari Bara sore itu di restoran yang nampak ramai di penghujung sore itu. Airin tidak pernah menyangka kalau Bara akan melamarnya secepat ini. Enam bulan memang bukanlah waktu yang singkat, tapi tetap saja masih terlalu baru bagi mereka yang belum saling mengenal lebih jauh.
Airin juga belum mengenal keluarga Bara yang katanya berada di Jakarta. Pun dengan Bara hanya mengetahui dia tinggal dengan ibunya saja. Airin juga belum menceritakan tentang dirinya di masa lalu, yang entah akan mudah diterima oleh pria itu atau tidak. Dia masih takut, untuk berkata jujur.
“Airin,” panggil pria itu. Dia sadar kalau lamarannya terkesan sangat mendadak, hingga membuat gadis itu terkejut bukan main. Ini bukti keseriusan dirinya untuk hubungan mereka.
“Maafkan aku, Bara. Aku ....”
“Kaget? Karena gak menyangka kalau aku bakal lamar kamu secepat ini,” ucap pria itu mengakuinya.
Airin mengangguk pelan.
Bara mengangguk, lalu tersenyum tipis. Dia sama sekali tidak menyalahkan Airin, malah dia sangat maklum.
“Kita belum sama sekali saling mengenal dan selama ini kita hanya membahas hal di luar privasi kita. Jadi ....”
“Kita bisa mulai dari sekarang, Rin. Soal lamaran tadi, aku bisa menunggu sampai kamu siap menerimanya. Bagaimana?”
Airin mengangguk setuju. Mungkin ada baiknya dia mulai terbuka saat ini dengan pria itu.
Bara mulai menceritakan tentang keluarganya di Jakarta. Airin sudah mengetahui siapa dia, jadi dia tidak harus mengatakannya lagi.
“Aku sudah memberitahumu kalau aku anak pertama di keluarga, aku punya seorang adik yang masih berusia sembilan belas tahun. Ayah bekerja di perusahaan keluarga, ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Kami keluarga yang biasa-biasa saja."
Simple sekali.
“Bagaimana dengan kamu, Rin?” tanya Bara.
Airin terdiam sejenak. Jelas Bara sudah mengetahui orangtuanya yang telah berpisah dan dia tidak memiliki saudara kandung lain. Selama ini hubungan mereka hanya sebatas peluk dan cium saja, tidak lebih dari itu. Entah karena Bara yang berusaha menjaganya atau mencoba menghargainya.
“Bara, aku ingin jujur padamu sebelum kamu menyesal.”
Bara menautkan kedua alisnya.
“Menyesal karena apa?” tanya pria itu.
“Aku sudah tidak perawan, maaf.” Airin menunduk karena takut melihat ekspresi pria itu setelah mendengar pengakuannya.
Bara tidak terkejut, karena di zaman seperti ini memang sudah tidak aneh lagi dengan hal yang seperti itu. Ditambah dia melihat teman-teman Airin yang nampak sangat sedikit liar. Ada rasa sedikit kecewa, karena sejak awal dia melihat sosok Airin seperti gadis baik-baik pada umumnya.
“Hanya karena itu, kamu jadi ragu?” tanya Bara.
Airin mengangguk pelan. Lalu, dia mengangkat kepalanya, membuat tatapan mereka kembali bertemu.
“Takut mengecewakanmu,” katanya jujur. Tidak sepenuhnya jujur, karena dulu dia melakukannya saat menjadi sugar baby dari seorang pria yang hingga saat ini wajahnya belum bisa dia lupakan.
Bara tersenyum tipis.
“Aku bukan orang yang naif, Rin. Apa lagi harus menuntut kekasihnya sempurna. Aku senang karena kamu sudah mau jujur, karena aku sendiri pun juga bukan orang yang suci.”
“Jadi kamu tidak marah atau kecewa?” tanya Airin lagi memastikan bahwa pria itu tidak mundur atau memutuskan hubungan mereka. Kalau pun harus putus, Airin pasrah saja.
Bara menggeleng cepat.
“Aku sudah cinta banget sama kamu, Rin. Dan, aku gak peduli dengan masa lalu kamu yang seperti apa itu.”
Airin tersenyum cerah. Kemudian mereka saling bergenggaman tangan di atas meja.
“Ikut aku ke Jakarta, ya, aku mau ngenalin kamu ke keluarga aku," pinta Bara kemudian. “Masalahnya aku bakal pindah ke Jakarta lagi, Rin. Kerjaan aku di sini sudah beres.”
Airin langsung melongo.
“Soal lamaran tadi, kita pending dulu saja. Aku cuma mau ngenalin kamu ke Mama dan Papa aku. Mau ya?”
“Kerjaan aku bagaimana? Aku gak bisa ambil cuti lama,” keluh gadis itu.
“Kamu gak bisa ambil cuti barang satu minggu, kah?” tanya Bara mencoba menawar.
Gadis itu menggeleng lemah. Jadi, itu alasan Bara melamarnya, karena pria itu sudah harus kembali ke Jakarta.
Sekitar pukul delapan malam, Bara mengantar Airin pulang ke rumahnya.
“Aku pengen banget ajak kamu ke Jakarta, Rin,” ucap Bara.
Airin menggigit bibirnya. Dia bingung. Dia sama sekali belum ada persiapan untuk pindah, di sisi lain kemungkinan mereka akan menjalani LDR, bila dia tetap berada di Surabaya.
Kemudian Airin ingat tawaran dari Sandra yang mengajaknya untuk bekerja di Jakarta yang sering dia tolak karena keberatan meninggalkan ibunya di sini. Sepertinya dia harus kembali bertanya pada sahabatnya yang satu itu mengenai pekerjaan tersebut.
“Beri aku waktu beberapa hari, ya!” katanya.
“Kamu mau memikirkannya?”
Gadis itu mengangguk mantap.
“Oke, aku akan tunggu keputusan kamu.”
Mobil yang dikendarai oleh Bara berhenti tepat di depan rumah sederhana Airin. Keduanya sama-sama saling terdiam. Airin pun belum berniat untuk turun dari mobil.
Airin memilin jemari tangannya. Lalu, telapak tangan besar meraih jemarinya membuat Airin menoleh ke arah sebelahnya dan membuat tatapan matanya bertemu dengan manik hitam milik Bara. Tangan pria itu meraih dagu Airin dan mendekatkan wajahnya untuk mencium bibirnya.
Pertama-tama ciuman itu sangat lembut, lalu berubah menjadi lumatan-lumatan yang kasar. Bara lumayan sangat lihai berciuman, membuat Airin kesulitan untuk mengimbanginya. Tangan pria itu pun tak luput menggerayangi bagian tubuh depan Airin, lalu menelusup ke dalam kausnya. Meremas benda padat milik gadis itu yang nampak menggoda di balik bra.
Airin mendesah. Ciuman itu terhenti, bersamaan dengan tangan Bara yang keluar dari kaus Airin.
“Masuk sana!” titah Bara yang berusaha menepis gairahnya.
“Kamu gak mau lebih?” Airin spontan menawarkan diri.
Jakun pria itu tampak bergerak menelan ludah. Tawaran yang sangat menggiurkan. Lalu, Bara melirik ke arah rumah Airin yang pastinya ada ibunya di dalam sana. Bara lebih tahu diri.
“Mungkin nanti, tidak sekarang.” Suara Bara berubah serak.
”Sampai nanti,” ucap Airin sembari mengecup pipi Bara sekilas.
Bara kembali menjalankan mobilnya saat Airin sudah masuk ke dalam rumahnya.
Di dalam rumah, Airin bertemu dengan ibunya yang masih terjaga. Mengingat ajakan Bara tadi, Airin pun mengambil duduk di sofa tunggal yang berseberangan dengan ibunya.
“Ma,” panggilnya pada sang ibu. Elsa menoleh menanggapi panggilan putrinya. “Mama beneran mau rujuk sama Papa?” tanyanya meyakinkan ibunya.
“Iya. Kamu kan dengar sendiri Papa yang bilang.”
“Kalau begitu, Airin mau pindah ke Jakarta, mau kerja di sana sembari ganti suasana.”
“Eh, apa? Kamu mau pindah ke Jakarta?!” Elsa tampak terkejut.
Airin mengangguk, mengiyakan.
“Mama kan sudah sama Papa, Airin mau cari suasana baru. Boleh kan?”
Elsa tampak bimbang dengan permintaan putrinya. Walau selama ini hubungan mereka tidak pernah baik, bahkan jauh dari kata keluarga harmonis tetap saja Elsa sangat tidak ingin jauh dari putri satu-satunya.
“Ada Sandra di sana, dia nawarin kerjaan buat aku.”
“Mama pikir kamu mau ikut Bara pulang ke sana, dia dari Jakarta juga kan?”
“Iya. Tapi, kok, Mama bisa kepikiran soal Bara?” tanyanya heran.
“Nebak saja. Tapi, benar kan?”
Airin mengangguk. “Jadi, aku boleh, Ma?” tanyanya lagi.
Elsa membuang napas panjang. Putrinya sudah dewasa, ditambah dia sudah banyak membebaninya. Mungkin sudah saatnya dia membebaskan Airin dari belenggu yang selama ini selalu menuntut putrinya itu bekerja terlalu keras demi memenuhi kebutuhan mereka. Akhirnya dengan berat hati Elsa pun memberinya izin.
“Mama izinkan, tapi Airin harus bisa menjaga diri.”
Gadis itu mengangguk mantap. Lalu dia berpamitan untuk masuk ke kamarnya. Airin akan melakukan video call dengan teman-temannya.
***
Di sinilah Airin dan Bara berada di pesawat yang akan membawa mereka ke tanah Jakarta. Saat Airin mengungkapkan niatnya untuk pindah ke Jakarta pada teman-temannya, dia menerima pro kontra. Mona tentu saja yang pertama melarang Airin untuk mengambil langkah untuk pindah. Devika dan Mila malah setuju dan memberikan dukungan. Sandra senang bukan main, karena dia akan punya teman di Jakarta.
Airin pun mencoba memberi pengertian pada Mona, sahabat yang selalu memberi nasihat positif untuknya. Dia berjanji akan menjaga diri dan baik-baik saja di sana.
“Apa sih, alasan kamu pindah sebenarnya? Kamu gak kuat LDR atau karena ada satu hal lainnya?” tuntut Mona kala itu. “Padahal kalian belum pernah ngerasain LDR, seenaknya saja dia ngajak kamu ikut pulang ke Jakarta.” Mona masih misuh-misuh dengan keputusan Airin yang pindah kota.
“Aku cuma mau cari suasana baru saja, Mon.”
“Kamu bosan di Surabaya?!” potong Mona dengan raut sebal.
“Gak begitu, Mona Sayang. Aku trial deh satu minggu, kalau aku gak betah di sana aku balik.”
“Janji?” Mona mengangkat jari kelingkingnya. Airin pun ikut menyatukan jari kelingkingnya untuk membuat janji pada sahabatnya itu.
Setelah satu jam tiga puluh menit, pesawat yang ditumpangi oleh Airin dan Bara mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta siang itu.
Mereka memilih mencari hotel lebih dulu untuk tempat menginap Airin. Gadis itu menolak saat Bara memintanya untuk menginap saja di rumah orangtuanya. Oleh sebab itu Airin memilih untuk sementara waktu di hotel dulu, barulah setelah itu dia tinggal dengan Sandra di tempat kosnya.
Bara sudah mendapat kunci kamar hotelnya, dan mereka akan diantar Bellboy ke kamar.
“Terima kasih,” ucap Bara pada Bellboy sembari memberi uang tip dan menutup pintunya kembali.
Airin sudah duduk di atas ranjang dengan wajah innocent-nya. Melihat itu, Bara langsung mengingat tawaran Airin saat malam dia mengantar gadis itu pulang.
“Aku boleh minta sekarang?” tanya pria itu yang masih berdiri di belakang pintu kamar hotel.
Airin sangat paham dengan ucapan Bara yang mengarah ke mana.