bab 10

1017 Kata
Mengapa pada akhirnya Lana menerima perjodohan dengan Dika? Lelaki yang jelas-jelas tidak mencintainya. Jawabannya hanya satu, yaitu karena Ibu. Dika menepati janjinya, lelaki itu memberikan sebagian uang gajinya yang lumayan cukup besar padanya. Selain itu Dika juga memberikan beberapa uang tunjangan lainnya. Sayangnya jangankan mencintai, sekedar memberi perhatian saja tidak. Dika benar-benar menjalankan tugasnya sebagai suami kontrak dengan baik. Awalnya Lana mengira setelah waktu berlalu, sikap dingin Dika perlahan akan berubah. Ternyata tidak. Sampai setelah satu bulan pernikahan, sikap Dika masih sama. Mereka jarang bicara, bahkan bertukar pesan saja bisa dihitung jari. Dika sibuk dengan dunianya. Setiap akhir pekan lelaki itu selalu menghabiskan waktu bersama teman, atau mungkin kekasihnya. Lana tidak tau pasti, karena Dika minim informasi. Sementara Lana menyibukan diri dengan membersihkan apartemen, tempat mereka tinggal atau berkunjung ke rumah Ibu. Alasan Lana menikah dengan Dika memang tidak logis, mungkin jika ibu tau alasan tersebut bisa dipastikan wanita itu akan kecewa. Tapi lagi-lagi, Lana tidak mau melihat ibu kecewa dengan menolak perjodohan konyol antara dirinya dan Dika. Sarah dan Ibunya benar-benar menjadi cupid yang merancang perjodohan Lana dan Dika. Keputusan sudah diambil dan tidak ada tempat untuk penyesalan. Meski Lana tidak pernah tau kemana dan kapan ujung pernikahan mereka akan berakhir. Dika memang memberitahukan batas pernikahan mereka tidak lebih dari satu tahun, tapi siapa yang tahu. Mungkin bisa kurang dari satu tahun, atau justru lebih. "Besok kita ke rumah Mamah." Suara Dika membuyarkan lamunan Lana. Ia menoleh dan mendapati lelaki itu berada tak jauh dari tempatnya berada. "Iya." Jawab Lana singkat, lantas ia kembali membersihkan meja dan pot hiasan kecil di meja dekat TV. Dika tidak mewajibkan Lana membersihkan rumah, tapi Lana tetap bersikukuh dan mengerjakannya setiap akhir pekan seperti ini. "Pakaiannya sudah disetrika, tinggal di rapikan kedalam lemari." Lana menunjuk tumpukan pakaian yang sudah disetrikanya. "Tolong rapikan, aku mau keluar sebentar." Lana mengangguk. Dika lantas pergi, saat Lana mulai merapikan pakaian di kamarnya. Selama menikah hanya dua atau tiga kali saja Lana memasuki kamar Dika. Kamar yang bernuansa putih abu-abu itu terkesan klasik dan rapi. Lana tidak pernah membereskan kamar Dika, lelaki itu cukup mahir membersihkannya sendiri. Untuk urusan cuci-mencuci tentu saja bayarannya lain lagi. Sama halnya dengan mencuci baju di laundry, Lana pun meminta bayaran untuk setiap pakaian Dika. Karena pernikahan mereka hanya sebuah bentuk simbiosis mutualisme saja, siklusnya hanya saling menguntungkan satu sama lain. Dika pergi hanya sebentar,tidak berapa lama lelaki itu kembali dengan membawa kantong plastik berlogo kopi shop terkenal. "Kalau kamu mau makan saja." Ucapnya sambil meletakan kantong tersebut. "Aku sudah sarapan." Balas Lana. Meski Lana tidak pernah masak atau menyediakan makanan untuk Dika, tapi Lana selalu membiasakan diri sarapan atau makan malam di rumah. Bagi Lana menghemat pengeluaran sudah menjadi kebiasaannya. "Jam satu siang kita ke rumah Mamah." Ucapnya lagi, atau lebih tepatnya seperti sebuah perintah. Drama akan dimulai saat mereka hendak menemui salah satu keluarga. Entah keluarga Lana, atau keluarga Dika. Selama perjalanan, mereka masih tetap diam satu sama lain. Tapi saat mobil yang dikendarai Dika memasuki area parkiran, tentu saja lelaki itu akan bersikap manis. Dika mengulurkan tangan, sejak ia menginjakan kaki di area kediaman orang tuanya. Meskipun belum terlihat tanda-tanda kehadiran Mamah Sarah, tapi sebagai antisipasi dan menghindari kecurigaan, Lana pun mengulurkan tangan dan membalas genggaman tangan Dika. Genggaman tangan Dika terasa hangat, lembut. Sayangnya genggaman tangan itu tidak untuk Lana. Itu hanya akting semata. "Sayang!" Baru saja beberapa langkah menginjakan kaki di halaman rumah, Lana dan Dika disambut antusias oleh Sarah. Iya, nama Mamah Sarah sama dengan nama seorang wanita yang memiliki hubungan spesial dengan Dika di kantor. Entah jenis hubungan seperti apa, Lana tidak tau persis. "Kenapa jarang sekali berkunjung ke rumah Mamah?" Keluh Sarah. "Kami punya kesibukan, Mah. Yang penting kamu baik-baik saja." Balas Dika, tanpa melepaskan genggaman tangannya. "Lain kali, kalau kami sibuk, Mamah berkunjung ke rumah." Lana memberi solusi, meski kunjungan orang tua ke rumah sangat tidak diharapkan. Bukan karena tidak mau, tapi Lana tidak mau mereka mulai sadar kalau ternyata Dika dan Lana menempati kamar yang berbeda. "Tentu, Mamah dan Puri akan berkunjung." Sejak awal menikah, baik Ibu atau pun Mamah Sarah, keduanya tidak pernah berkunjung ke tempat tinggal Lana. Sebelum kedua orang tua itu datang, Dika selalu terlebih dahulu mengunjungi salah satunya dan kali ini giliran Mamah Sarah, setelah minggu kemarin ke rumah Ibu. Sarah tentu saja tidak akan membiarkan Lana dan Dika pulang cepat. Wanita itu memiliki seribu alasan untuk menahan keduanya. Sampai akhirnya Lana dan Dika pun terjebak, dan terpaksa menginap. Rasanya masih canggung saat berada dalam satu ruangan yang sama bersama Dika. Apalagi ruangan itu di dalam kamar. "Kamu tidur saja duluan, aku mau keluar sebentar." Dika mengatakan hal yang membuat Lana merasa lega. Dika menggunakan kesempatan untuk berbincang dengan sang Ayah agar Lana tidak terlihat semakin panik. Lana tau konsekuensi dari persetujuan menikah dengan Dika. Mau tidak mau, suka tidak suka, berada dalam satu ruangan bernama kamar pasti terjadi. Tapi mereka sepakat sejak awal, tidak ada kegiatan bercinta selama salah satu pihak tidak menyetujuinya. Tapi Lana tau, hal tersebut mungkin saja terjadi padanya. Hanya soal waktu yang akan menjawab kapan belah duren itu terjadi. Sarah tentu saja sudah mengisyaratkan sebuah keinginan. Keinginan yang diharapkan orang tua pada anak dan menantunya. Yaitu berkembang biak. Iya, kalimat tersebut terlalu kasar, tapi pada kenyataanya salah satu tujuan menikah memang seperti itu bukan? Bercinta dengan dasar suka saling suka hanya terjadi pada pasangan suami istri yang sudah saling menautkan hatinya di hadapan penghulu dan kenyataanya hal tersebut tidak berlaku untuk Lana dan Dika. Jadi untuk saat ini tidak ada agenda bercinta dalam daftar pernikahannya. Situasinya masih terasa canggung karena mereka menikah dengan cara seperti itu. Pernikahan berbalut kasih sayang dan saling memuja satu sama lain ternyata tidak terjadi dalam kehidupan rumah tangga Lana. Tapi tidak apa-apa karena setiap keputusan memang butuh konsekuensi. Dan Lana tengah menerima konsekuensinya saat ini. Pagi sekali, setelah membujuk Sarah ratusan kali, akhirnya Dika dan Lana berhasil pulang. Tentu saja alasan pulang yang mereka gunakan, yaitu kerja. Senin pagi, mereka harus kembali beraktivitas seperti biasa. Lana yang terbiasa menggunakan kendaraan umum, sementara Dika menggunakan kendaraan pribadi. Dika tidak pernah menawarkan berangkat bersama, meski hanya sekedar basa-basi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN