"Lo agak aneh sejak cuti kemarin." Aji menatap penuh selidik.
"Aneh gimana? Kayaknya biasa aja. Emangnya kalian jarang cuti?" Selidik Lana.
"Gimana ya," Aji memegang dagunya.
"Kerja disini tuh gaji lumayan, tapi salah satu kekurangannya itu, jarang ngasih cuti ke karyawannya." Jelasnya. Langkah mereka beriringan keluar dari lift.
"Tapi, Lo yang masih dibilang karyawan baru langsung dapat izin cuti dengan mudah. Sedangkan gue, Lala dan Nata aja susahnya minta ampun."
Lana hanya mengangguk samar. Sejujurnya ia pun tidak tau menahu soal cuti yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Dika. Lana hanya mengikuti instruksi yang sudah diberikan Dika, termasuk alasan cuti.
Bisik-bisik mereka terhenti begitu Dika keluar dari ruangan kerjanya bersama seorang wanita. Seharusnya Lana tidak perlu terkejut dengan pemandangan seperti itu, mengingat Dika memang memiliki kebiasaan yang sudah diketahuinya sejak awal bertemu. Tapi rasanya sedikit aneh melihat lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya keluar dari ruangan bersama wanita lain.
Sarah, wanita itu tersenyum manja, saat ia dan Dika hendak berpisah. Sepertinya Sarah tidak ikut bersama Dika.
Dika, Aji dan Lana beriringan masuk ke dalam sebuah ruangan, dimana dua orang lelaki sudah berada di dalamnya. Lana mengenal kedua lelaki itu, termasuk si lelaki yang tersenyum saat menyadari kehadirannya.
Lana membuang muka karena malu. Ia masih belum bisa berhadapan secara langsung dengan lelaki yang dituduhkan sebagai penjahat yang hendak menculiknya. Bahkan lebih parahnya lagi lebam di wajah Andra masih terlihat, meski sudah berlalu beberapa hari.
"Dia Bos besar kita." Aji menyikut lengan Lana.
"Saingan terbaru gue." Lanjutnya. Aji nampak khawatir, begitu juga dengan Lana. Bagaimanapun juga mereka pernah bertemu dan sialnya pertemuan itu tidak mengenakan apalagi di pertemuan pertama.
Lana berharap Andra tidak mengenalnya dengan baik, tapi sayangnya lelaki itu seperti memiliki ingatan yang baik, sebab Andra tersenyum samar sambil menunjuk lebam di wajahnya. Seolah mengingatkan Lana akan kejadian beberapa hari lalu.
Meeting dengan divisi marketing berjalan baik.
"Terima kasih, untuk meeting hari ini saya rasa cukup." Ucap Andra, suaranya menggema memenuhi seisi ruangan.
"Tim Pak Dika selalu bisa diandalkan. Kami selalu bekerja sama dengan baik." Ucap Aji yang terkesan sangat percaya diri.
"Tentu. Saya sudah percayakan sepenuhnya pada kalian." Balas Andra.
Dari pembawaannya, Andr seperti memiliki jiwa bijaksana yang lebih manusiawi dibanding lelaki yang kini ada di hadapan Lana. Iya, lelaki itu Dika. Lelaki yang sesekali menoleh, menatapnya dengan tatapan sinis. Entah alasan apa yang membuat Dika menatapnya seperti itu. Apakah Sarah tidak memuaskannya seperti biasa, sehingga dia uring-uringan?
Entahlah.
Lana melihat Dika dan Andra secara bergantian, meski saat rapat tadi mereka berbicara sangat formal dan sopan, tapi saat rapat selesai mereka justru terlihat seperti teman. Sepertinya mereka sudah kenal lama. Bukan layaknya rekan kerja. Lana tidak begitu peduli dengan hubungan di antara dua lelaki tampan itu. Lana hanya perlu bekerja dengan baik dan memastikan rekeningnya tetap terisi agar kehidupannya bisa terjamin apalagi setelah nanti, saat ia sudah menyandang status janda. Lana bergidik saat membayangkan status yang akan disandangnya nanti. Menjadi janda di usia muda tentu saja tidak pernah terbayang dalam benaknya.
Jam makan siang tiba, Lana dan ketiga temannya bersiap untuk mencari makan siang. Rencananya mereka hendak makan di luar gedung kantor. Lala sudah terlebih dulu menyebutkan nama restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari gedung kantor, wanita itu juga menyebutkan beberapa menu andalan yang menurutnya sangat enak dan wajib di coba.
"Tahan liftnya!" Terdengar suara seseorang, ketika Nata hendak menekan tombol lobi.
Andra dan Dika menyusul masuk.
"Pak Andra, Pak Dika." Senyum Lala merekah indah, melihat dia keindahan terpampang nyata di hadapannya. Hal tersebut membuat Aji dan Nata berdecak kesal.
Sementara Lana hanya bisa menurunkan kepalanya, untuk menutupi rasa malu dan trauma akibat kejadian di lift, beberapa waktu lalu. Lana tidak mau kejadian itu kembali terulang, ia pun memilih bergeser dan berada di belakang punggung Nata. Setiap hari Lana akan bertemu, pastinya kejadian itu akan sangat memalukan meski Andra tidak akan mengungkitnya lagi.
"Pak Andra, wajahnya kenapa?" Suara Lala memecah keheningan.
"Ini?" Tunjuknya pada pelipis wajah yang masih terlihat memar. Lana tidak menyangka bahwa pukulannya akan sekeras itu.
"Iya. Kayak lebam gitu."
"Seseorang membuatnya sebagai ucapan salam perkenalan." Balas Andra. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu marah, ia justru tersenyum dan mengusap wajahnya.
"Salam kenalannya ekstrim ya." Balas Aji.
"Kenalan aja bisa sampe lebam, apalagi udah kenal lama. Bisa-bisa," kalimat Aji tertahan saat pintu lift terbuka. Hal tersebut membuat Lana menghela lemah, setidaknya ia tidak akan berada dalam satu lift lagi bersama Andra dan Dika.
"Gue ke lobi," terdengar suara Dika, saat ia hendak keluar lift.
"Nggak makan siang bareng?" Tawar Andra.
"Nggak, nanti aja. Ada urusan penting." Dika menolak. Interaksi kedua lelaki itu jelas menunjukan bahwa mereka memang berteman dekat.
"Iya. Yang sudah beristri, pasti makan siang bareng istri."
"Apa?"
"Istri?!"
Suara riuh dan gaduh terdengar saling bersahutan dari dalam lift. Hanya Lana yang memilih diam. Ternyata Andra tau, Dika sudah menikah.
Saat pintu lift kembali tertutup, Aji, Nata dan Lala tidak akan membiarkan Andra pergi tanpa penjelasan. Sebab mereka baru saja ketinggalan gosip yang menurut mereka sangat penting dan serius.
"Pak Andra gak salah bicara kan?" Nata menggeser tempatnya berdiri lebih dekat.
"Pak Andra bilang Pak Dika sudah menikah?" Lanjutnya.
"Iya, saya tidak salah bicara. Memangnya kalian tidak tau?" Andra balik bertanya.
"Tidak." Ketiga orang itu serempak menjawab.
"Saya kira, kalian tau dan diundang." Andra pun nampak terheran.
"Seorang Dika menikah? Wow,, wanita mana yang bisa membuat dia akhirnya mau berkomitmen." Seru Aji.
"Gue penasaran, wanita seperti apa yang mampu meluluhkan hati seorang Dika yang tidak pernah mau menjalin hubungan serius."
Kedua lelaki kepo itu saling bersahutan satu sama lain.
Sementara Lala justru menunjukan wajah kecewa.
"Saya juga penasaran, wanita seperti apa yang berhasil memenuhinya syarat kriteria wanita idaman Dika. Sebab Dika memiliki standar yang cukup tinggi, hingga bisa membuat egonya terkalahkan." Andra pun sepertinya sangat penasaran pada sosok istri Dika itu, yang sebenarnya ada dalam satu lift bersama mereka.
Meski pada akhirnya ada orang yang mengetahui pernikahan Dika dan Lana, tapi Lana masih bersyukur sebab Andra tidak tau siapa sosok wanita yang kini menyandang status sebagai istri Dika. Rahasia masih terjaga aman.
Andra ternyata bergabung bersama Lana and teh geng. Lelaki itu benar-benar mudah berbaur dan tidak merasa canggung sedikitpun bergabung bersama karyawannya. Padahal Andra bisa memilih makan siang bersama petinggi lainnya di cafetaria yang disediakan khusus di gedung kantor, seperti yang sering dilakukan Dika. Tapi Andra justru memilih bersama mereka dan menikmati makanan siang bersama.
Dalam perjanjian kontrak pernikahan yang sudah disepakati Lana dan Dika, tidak ada acara antar jemput saat berangkat dan pulang kantor, meski mereka bekerja di satu kantor yang sama. Keduanya tetap memilih berangkat atau pulang dengan kendaraan masing-masing. Lana yang lebih menyukai sepeda motor, dan Dika yang memilih menggunakan mobil mewah berwarna hitam miliknya.
Rentang waktu yang dibutuhkan Dika dan Lna untuk pulang dan berangkat tentu saja berbeda. Lana lebih cepat sampai rumah, karena menggunakan kendaraan roda dua. Ia bisa menyalip dan mengambil jalan alternatif, sehingga bisa sampai di rumah dalam waktu tiga puluh menit saja. Sementara Dika memerlukan waktu lebih lama, bahkan hampir setiap harinya sampai ke rumah pukul delapan malam.
Lana langsung masuk kedalam kamar untuk membersihkan diri, setelahnya ia akan menghangatkan makanan yang sudah terlebih dulu di belinya. Beruntung ia tidak perlu memasak, karena menang dasarnya Lana tidak suka masak atau lebih tepatnya tidak bisa masak.
Saat Lana tengah menghangatkan makanan, tiba-tiba ia mendengar suara pintu terbuka, dimana Dika muncul di balik pintu. Seperti sebelum, lelaki itu akan segera masuk kedalam kamarnya dan tidak akan keluar sampai pagi. Meski tinggal dalam satu atap yang sama, mereka tidak pernah saling bicara satu sama lain.