bab 5

1105 Kata
Perjodohan antara Ilana dan si lelaki tua semakin hari kian santer terdengar. Tak Jarang mereka membahasnya disetiap kesempatan. Di ruang meeting, di pantry, bahkan di sela bekerja pun mereka masih membahas perihal masalah perjodohan konyol itu. Awalnya Lana mengira, gosip tersebut tidak akan membuat huru-hara di kantor, terutama di lingkup kerjanya. Tapi ternyata Lana salah. "Lo masih berhubungan baik dengan lelaki tua itu?" Tanya Aji. Orang paling tidak terima pas mengetahui perjodohan Lana dengan lelaki tua itu. "Masih." Jawab Lana cepat. Kedua matanya tengah fokus pada layar komputer dimana ia harus segera menyelesaikan beberapa pekerjaan. "Lo mau di jodohin sama lelaki tua?" Tanya Aji lagi dengan raut penasaran. "Ya,, mau gimana lagi. Kan udah jodoh." Jawab Lana. "Kenapa gak nolak aja sih?!" Protesnya lagi. "Iya, nanti aku protes sama yang maha kuasa, kenapa jodoh Lana aki-aki tua." Lana beranjak dari tempat duduknya, dan merapikan beberapa berkas yang akan dibawanya ke ruang kerja Dika. Iya, lelaki itu memintanya datang langsung ke ruang kerjanya untuk membahas perihal proyek terbaru yang akan mereka kerjakan. "Aku mau ke ruang Pak Dika dulu, ya. Ngerumpinya nanti lagi." Lana segera menuju ke ruangan Dika, dimana Aji menatapnya dengan tatapan tidak terima. Lana berada di depan pintu, berdiri mematung dan belum mengetuknya meski ia sudah ada di tempat itu beberapa waktu lalu. Belum lama, baru dua menit. Lana tidak langsung mengetuk, meski ia tau Dika ada di dalam sana. Perlahan ia menghembuskan nafas pelan, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu. "Masuk." Terdengar suara Dika dari dalam sana. "Permisi Pak, saya mau antarkan ini." Lana menghampiri meja kerja Dika, dimana lelaki itu tengah menatapnya tajam. Ingin rasanya Lana mengumpat dengan sikap Dika yang seolah menganggapnya bahaya. Selain menatapnya tajam, Dika juga sering melihatnya seperti serangga aneh. Padahal yang aneh kan dia. "Semuanya sudah kami selesaikan dan hanya tinggal persentasisaja." Lelaki itu masih saja menatapnya aneh, salah hal yang tidak disukainya dari Dika. Setelah beberapa saat Dika menatap Lana, akhirnya ia pun meraih dokumen yang dibawa Lana dan memperhatikannya dengan seksama. "Nanti sore kamu ikut saya, kita persentasi bersama." Dika merapikan dokumen dan menyimpannya tepat di sampingnya. "Kalau begitu saya permisi." "Tunggu!" Langkah Lana terhenti, dan ia kembali menoleh ke arah Dika. "Iya pak, kenapa?" Tanya Lana. Sebisa mungkin ia bersikap sopan saat di kantor, sebab posisi Dika lebih tinggi dibanding dirinya. Dia ketua tim, dan Lana harus menghormatinya Dika beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri Lana yang tengah berdiri tak jauh dari pintu keluar. "Sepertinya ada yang harus kita perjelas disini." Lengan Dika mengulur, melewati tubuh Lana membuat keduanya saling bersentuhan singkat. Tanpa Lana duga, ternyata Dika mengunci pintu dan memasukkan kunci tersebut kedalam kantong celananya "Pak Dika," Lana menatap horor ke arah Dika. Lelaki itu tidak lagi menatapnya sinis, tapi tersenyum. Senyum menakutkan yang membuat bulu kuduk Lana merinding. "Sebenarnya aku tidak peduli dengan apa yang kalian omongkan. Tapi, rasanya sedikit menggangu ketika lelaki yang dijodohkan denganmu adalah seorang tua Bangka bau tanah." Langkah Dika kian dekat, membuat Lana semakin waspada. "Aku tidak tau lelaki yang dimaksud itu siapa, bisa juga kamu di jodohkan lebih dari satu laki-laki. Tapi, kalau sebutan itu untukku, sepertinya kamu butuh cermin besar atau kamu butuh suatu pembuktian agar kamu yakin aku ini bukan lelaki tua Bangka bau tanah." Lana mudur hingga punggungnya menyentuh pintu. Udara kian terasa dingin, apalagi saat tatapan Dika tertuju tajam ke arahnya. Rasanya ia seperti akan di satap bulat-bulat oleh seorang lelaki bernama Marvel Dika Pratama. Kali ini Lana sudah hafal nama lengkapnya. "Pak Dika sepertinya salah paham. Kami gak ngomongin Bapak. Serius!" Lana mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah. "Jadi, ada lelaki lain yang dijodohkan denganmu selain aku?" Lana bisa mencium aroma tubuh Dika dalam radius sangat dekat. Wangi, menyengat dan sangat menakutkan. "Iya! Bapak jangan GeEr dulu. Dan tolong, jangan deket-deket begini," Lana hendak mendorong tubuh Dika, namun tangannya terlebih dulu dipegan Dika. "Tapi sepertinya aku yang mendapat restu dari Ibumu." Kalimat Dika terdengar mengejek, tapi Lana tidak akan mudah terpancing sebab kondisinya saat ini dalam bahaya. Dika si pemangsa semangka ada di hadapannya, dan bisa saja berbuat yang tidak-tidak, secara track record dia sangat ahli dalam bercocok tanam bersama para wanita. "Mungkin. Jangan terlalu percaya," belum sempat Lana menuntaskan ucapannya, Dika sudah terlebih dulu mendekatkan wajahnya yang membuat Lana menahan nafas. "Kita akan bertunangan, dan akan menikah dalam waktu dekat. Jaga sikap, jangan bicara sembarangan dan jangan beritahu siapapun tentang hubungan kita." Lana mengerutkan kening, "Jadi kamu anggap pernikahan hanya main-main." Akhirnya Lana memberanikan diri bertanya, bahkan ia berusaha menahan gugup yang kini mulai melanda hatinya. "Jangan harap pernikahan kita sungguhan, kita hanya menjalankan tugas masing-masing." "Lain kali kita bahas bagaimana cara mainnya." Dika menjauh perlahan. "Sekarang kamu boleh keluar dan jangan pernah bicarakan masalah lelaki tua itu lagi." Lana menelan ludah, sepertinya ada beberapa hal yang harus mereka bicarakan sebelum perjodohan itu benar-benar terjadi. Tapi bukan di kantor. Mereka harus membicarakannya lagi, karena Lana jelas tidak akan menerima perjodohan itu jika hanya dianggap main-main saja. Meskipun mereka berdua tidak saling mengenal bahkan tidak saling mencintai untuk saat ini, tapi Lana tidak mau jika pernikahannya hanya dianggap sebagai mainan semata. Pengalaman pahit karena dilahirkan dari keluarga broken home, membuat Lana memimpikan mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia. Tapi jika impiannya itu akan dihancurkan oleh lelaki bernama Dika, tentu saja Lana akan menolak. Seperti yang diucapkan Ibunya, ia pun berhak bahagia. Hampir tengah malam saat Lana keluar dari ruang kerjanya. Hebat. Ia benar-benar menjadi salah satu pegawai teladan versi Aji dan Nata, sebab Lana bisa menghandle pekerjaannya dan juga pekerjaan Lala. Seperti yang sudah diinstruksikan oleh Dika, sore harinya Lana menghadiri meeting untuk proyek pekerjaan selanjutnya. Seharusnya selesai lebih awal, tapi lagi-lagi karena harus menunggu seseorang datang, akhirnya meeting molor bahkan tidak selesai dan tidak menemukan kesepakatan hari itu juga. "Kenapa Bos selalu bersikap seenaknya begitu sih?!" Keluh Lana sebab alasan meeting kali ini gagal pun karena menunggu sosok Bos besar yang mereka tunggu, tapi tidak kunjung datang. "Capek nunggunya, daripada meetingnya." Balas Aji sambil menguap. "Sabar ya Lana, Bos memang seperti itu." Aji mengusap pundak Lana dan mengacungkan ibu jarinya. "Yang di atas memang suka seenaknya, yang penting enak buat sendiri gak peduli yang di bawah keenakan atau kesakitan." Balas Nata yang juga ada dalam rombongan mereka. "Nata ini ya, pikirannya jorok Mulu ih!" "Dih, siapa yang jorok aku gak bahas coberan ko." Balas Nata sambil tersenyum. "Jangan terlalu tegang gitu dong santuy aja. Meski yang tegang jauh lebih enak," Aji ikut menimpali. "Ternyata kantor ini bukan kantor sungguhan, tapi lebih ke praktek prostitusi berkedok kantor." Cibir Lana. Aji dan Nata tertawa terbahak-bahak. "Nah, itu kamu ngerti. Makin lama Lana makin pinter." Aji mengacak-acak rambut Lana dengan gemas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN