bab 6

1186 Kata
Lana menepuk bagian depan tubuhnya saat menghadap cermin. "Kamu hebat! Luar biasa!" Ucapnya dengan bangga. Tentu saja bangga pada diri sendiri. Lana memang sangat mencintai pekerjaannya, ia benar-benar pekerja te-la-da. Hebat! Ini bukti dedikasi, bahwa ia benar-benar membutuhkan uang dan menempatkan pekerjaan dalam prioritas utama hidupnya. Bahkan kalau perlu ia tidak usah pulang. Menggelar tikar dan membawa bantal selimut, merupakan ide yang lumayan untuk di praktekan nantinya. Tapi tinggal di kantor dengan jam lembur di luar nalar tetap saja bukan keinginannya, apalagi di malam akhir pekan seperti ini. Seharusnya dia sudah berada di rumah berdandan cantik, menunggu sang kekasih datang. Sayangnya Lana harus tetap berkutat dengan sejumlah dokumen dan tugas yang membuatnya kesal. Salahkan saja Dika, untuk segala kesialan yang terjadi padanya hari ini. Sebab lelaki itu yang menyuruhnya lembur, sementara teman satu tim lainnya sudah pulang satu jam lalu. Kini hanya tinggal Lana dan beberapa rekan dari divisi lain yang masih terlihat. Beruntung ia tidak sendirian, sebab banyak desas-desus yang mengerikan tentang kantor ini. Salah satunya cerita horor yang pernah ia dengan dari Lala. Lala memang tidak menceritakan secara gamblang kisah mistis yang pernah dialaminya, tapi dari pengalaman Lana bekerja di kantor ini selama beberapa waktu sudah cukup membuatnya yakin bahwa di kantor ini benar-benar ada kisah mistis. Mungkin salah satunya ketika melihat Dika dan wanita itu bercocok tanam di toilet. Ya ampun! Kenapa Lana harus melihat adegan itu. Ralat! Bukan melihat, tapi mendengar. Meski tidak melihat secara langsung, tapi Lana masih memiliki pendengaran yang bagus, ia bisa mendengar dengan jelas bagaimana wanita dan lelaki itu mendesah, saling bersahutan. Lana bergidik sendiri.. Lelaki mata keranjang itu calon suaminya! Iya, masih calon dan Lana masih memiliki kesempatan untuk menolaknya. Saat Lana tengah menuju lift, ia mendengar sebuah notifikasi pesan masuk. Ia bergegas membuka dan melihat nama aji muncul di layar ponsel. Ternyata dari ketiga temannya itu, Aji merupakan salah satu teman yang paling perhatian padanya setelah Lala tentu saja. "Masih di kantor?" Bunyi pesan dari Aji. "Iya. Otw pulang." Balas Lana. "Hati-hati." "Ok!" Perhatian yang cukup membuat Lana merasa dianggap seperti teman. Tapi selang beberapa detik, Aji kembali mengirimnya pesan yang akan membuat Lana menyesal karena telah memujinya sebagai teman perhatian. "Hati-hati, jam segini kadang ada orang misterius yang tiba-tiba muncul. Lelaki berpakaian serba hitam yang akan menculik dan menyekap wanita cantik." Lana hanya berdecak kesal. Ia tidak berniat membalas pesan Aji dan jika lelaki itu mengirimnya pesan singkat lagi, Lana tidak akan membukanya sebelum sampai ke rumah. Dasar, lelaki itu memang kurang kerjaan. Beraninya dia menakuti Lana. Lift yang ditunggu akhirnya terbuka. Lana masuk dengan langkah sempoyongan. Kantuk mulai menguasainya. Ia segera menyandarkan tubuhnya pada dinding lift, keseimbangannya mulai goyah. Awalnya Lana tidak menyadari seseorang ada di dalam lift bersamanya, hingga beberapa saat kemudian ia menoleh dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Dari segi penampilan, lelaki itu tidak terlihat baru pulang kerja seperti dirinya. Tidak ada tanda-tanda wajah lelah sehabis lembut habis-habisan. Dia juga tidak terlihat seperti OB, bahkan wajahnya tidak begitu familiar. Lelaki itu berdiri tepat di depan Lana. "Pakaian hitam." Guam Lana pelan. Tiba-tiba saja ia teringat akan pesan singkat yang dikirim Aji padanya. Lelaki berpakaian serba hitam yang akan menyekap dan menculik wanita. Lelaki di depannya itu memiliki satu kriteria yang disebut Aji. Jangan-jangan dia memang.. Ya ampun! Lana dalam bahaya! Lelaki itu menoleh, mungkin karena merasa diperhatikan oleh Lana. Lana tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya, sebab ia mengenakan masker. Hanya sekilas, lelaki itu kembali berbalik. Sorot matanya yang tajam membuat Lana kian merinding. Apa yang direncanakannya, tidak ada yang tau. Mungkin saja lelaki itu merencanakan sesuatu padanya, atau lebih buruknya ia akan di culik, di sekap, lalu di.. Membayangkannya saja sudah membuat Lana merinding dan takut. Dia masih perawan ting ting, sangat disayangkan kalau dia mati begitu saja tanpa merasakan nikmatnya surga dunia yang sering diceritakan oleh Aji dan Nata. Lana mungkin terlalu berlebihan, bisa saja orang tersebut adalah petugas listrik yang datang untuk membetulkan sesuatu. Atau tukang AC. Tapi penampilannya tidak mencerminkan sebagai pekerja. Pakaian yang dikenakannya terlalu bagus karena Lana bisa melihat merk kecil yang terselip di saku belakang, dekat bokongnya. Oke, tidak bisa dipungkiri postur tubuhnya tinggi tegap dan memiliki b****g seksi. Ya ampun! Aji dan Nata benar-benar sudah merusak otaknya, hingga ia bisa menganalisa b****g orang lain. Perlahan, Lana mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Opsi pertama untuk jaga-jaga, jika saja lelaki itu berbalik dan menyerangnya, Lana akan menggunakan ponsel sebagai alat memukul lelaki itu. Tidak apa-apa ponselnya rusak, karena nyawanya jauh lebih berharga dari harga ponsel. Tiba-tiba saja listrik mati. Lift berhenti mendadak. Gelap. Lana tidak bisa melihat apapun. Tanpa sadar ia berteriak sekencang mungkin. "Tolong!!" Teriaknya. Lana berjalan sembarang, ia bisa merasakan tubuhnya bersentuhan dengan lelaki itu yang membuatnya semakin ketakutan. "Tolong! Siapapun di luar tolong aku, ada penculik disini!!" Teriak Lana, dengan kedua tangan menggedor pintu lift sekeras mungkin. Pintu besi itu tidak akan bereaksi apapun hanya karena pukulan Lana, yang ada tangannya akan terluka karena melawan benda keras. "Tenang! Jangan berteriak." Lana bisa mendengar suara lelaki itu. Suara yang terdengar lebih tenang, seolah tidak merasa panik seperti dirinya. Jelas saja tidak panik, lelaki itu memang berniat jahat dan kesempatan listrik padam tidak akan disia-siakan. "Tolong!" Lana tidak memperdulikannya, ia harus menyelamatkan diri dari predator wanita apapun caranya. "Bisa diem dulu gak?! Saya sedang menghubungi seseorang, supaya kita bisa keluar dari tempat ini secepatnya!" Suaranya yang tenang kini berubah kesal. "Tolong jangan sakiti saya." Lana memohon. "Saya masih perawan, saya masih mau hidup." Lana pun menangis. Jika saja listrik dalam keadaan hidup, Lana tidak akan segan menyembah kaki lelaki itu. Memohon agar ia tetap diberikan kesempatan hidup. "Saya masih punya Ibu, kasihan dia kalau saya mati sia-sia." Lanjutnya sambil meraung. "Saya terjebak di lift, cari bantuan sekarang!" Lelaki itu menghubungi seseorang, mungkin saja itu sekutu yang akan membantunya untuk mencelakai Lana. Tidak lama, lampu kembali hidup. Kini Lana bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas. Cukup tampan untuk seseorang yang berprofesi sebagai penjahat. Posisi Lana yang masih terduduk di lantai, membuat lelaki itu menghampirinya. "Sebentar lagi bantuan akan datang." Ucapnya. Dalam posisi cukup dekat, Lana tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung melayangkan ponsel di tangannya untuk memukul wajah lelaki itu. Lelaki itu merintih kesakitan. "Dasar lelaki m***m! Beraninya kamu menculikku." Lana bangkit, hendak memukul lelaki itu lagi. Disaat yang bersamaan tiba-tiba pintu lift terbuka. Lana harus bergegas melarikan diri, tapi saat menoleh Lana melihat beberapa orang tengah berada di depan pintu lift. Salah satunya Dika. "Pak Andra." Ucap seseorang yang ada di samping Dika. "Maaf kami terlambat." Lanjutnya dengan sopan. "Bapak baik-baik saja, kan?" "Iya. Saya baik-baik saja, sebelum seseorang memukul saya." Andra, nama lelaki itu. Ia berjalan melewati Lana dengan sebelah tangan memegang wajahnya. Tapi tidak ada ekspresi marah dari lelaki itu. Ia justru tersenyum ke arah Lana. "Hati-hati, terima kasih untuk pukulannya." Ucap Andra, lantas lelaki itu pergi meninggalkannya. "Apa yang kalian lakukan di dalam lift?" Pertanyaan Dika membuat Lana menoleh. Dika tengah menatapnya dengan tatapan kesal. "Kamu memukulnya? Kamu tau, dia adalah bos besar yang membiayai proyek kita. Dan kamu memukulnya? Ya ampun! Kenapa kamu bodoh sekali." Apa? Dika menyebutnya bodoh. Ya ampun, lelaki itu sepertinya butuh ruqyah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN