"Bisa gak sih, berhenti bersikap ceroboh!" Sentak Dika.
Lana menoleh ke arahnya dengan tatapan sengit. Kenapa lelaki itu masih saja memarahinya hanya karena Lana tidak sengaja memukul Andra.
"Aku tidak sengaja memukulnya. Keadaan yang membuatku melakukan itu. Bayangkan saja,"
"Lusa, kamu ikut ke ruang pak Andra dan minta maaf." Potong Dika.
Lana hanya menghela lemah dan menggumam pelan. Jika Dika mengantarnya hanya untuk menuntaskan omelannya, lebih baik Lana pulang sendiri menggunakan ojek online.
Sepanjang perjalanan lelaki itu tidak hentinya membahas insiden pemukulan di lift.
Lana memang tidak sengaja memukul Andra hanya karena sugesti yang sudah tertanam dalam benaknya akibat ulah Aji. Saat masuk kantor, Lana harus membuat perhitungan dengan lelaki itu.
"Kamu gak usah ikut turun," ucap Lana ketika Dika sudah terlebih dulu turun.
Lana berdecak kesal. Kenapa lelaki itu harus repot-repot turun dan kemungkinan besarnya dia akan bertemu Ibu.
"Ibu udah tidur, kamu gak usah masuk." Lana mengikuti langkah Dika, yang jauh lebih besar dari langkahnya.
"Itu Ibu kamu." Tunjuk Dika pada sosok perempuan yang berdiri diambang pintu sambil tersenyum.
"Jangan bilang kamu gak lihat atau gak sengaja. Berhenti bersikap tulalit."
Jika menjambak Dika merupakan perbuatan legal, tentu saja Lana akan melakukannya dengan senang hati. Lelaki itu mulutnya lebih pedas dari seblak level sepuluh.
"Bu," Dika menghampiri Ibu dan mencium punggung tangannya.
"Maaf, Lana pulang malam. Di kantor lagi banyak pekerjaan." Ucapnya dengan sopan.
Dika memang harus minta maaf, karenanya lah Lana harus pulang larut malam.
"Saya akan memastikan Lana pulang dengan aman, kalau sewaktu-waktu lembur lagi." Lanjutnya.
"Iya. Terimakasih Nak Dika. Masuk dulu." Ibu membuka pintu lebih lebar, untuk mempersilahkan Dika masuk. Tapi lelaki itu langsung menggelengkan kepalanya.
"Sudah malam, Bu. Ibu dan Lana harus istirahat. Besok saya kesini lagi."
"Baiklah, hati-hati di jalan."
"Baik, Bu." Dika kembali mencium punggung tangan Ibu dan pamit pulang.
"Aku pulang dulu, ya." Dika mengusap lembut puncak kepala Lana lalu ia kembali menuju mobilnya.
Lana akhirnya mengerti mengapa Ibu begitu menyukai Dika. Lelaki itu memiliki kepribadian ganda. Dia akan menunjukan sikap terbaiknya di depan orang tua, dan akan bersikap sebaliknya di hadapan Lana.
Seperti janjinya, Dika kembali datang ke rumah Lana untuk menjemputnya. Ceritanya Dika akan mengajak Lana jalan-jalan sambil nonton layaknya sepasang kekasih. Kalau diingat-ingat mereka berdua belum meresmikan apapun.
"Oke, karena saat ini hanya kita berdua, sebaiknya kita bahas perihal pernikahan yang akan kita jalani." Tanpa basa-basi, Dika langsung mengutarakan niatnya mengajak Lana.
"Memangnya aku setuju? Kamu belum tanya, udah mau nikah aja." Gerutu Lana. Sejujurnya ia merasa kurang setuju atau lebih tepatnya tidak setuju dengan rencana perjodohan tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan Lana selanjutnya setelah menikah dengan lelaki menyebalkan seperti Dika.
"Memangnya ada pilihan lain?" Dika menaikan satu alisnya.
"Ibumu dan keluargaku sudah setuju." Lanjutnya.
"Memangnya yang mau menikah Ibu?" Lana tidak mau kalah. Ia tidak boleh bersikap lemah di hadapan Dika, kalau tidak lelaki itu akan kembali menindasnya.
"Jadi, kamu mau nolak?" Dika melipat kedua tangannya di bagian depan tubuhnya.
"Aku nggak mau menikah dengan seorang lelaki yang tidak mencintaiku."
"Menunggu lelaki yang mencintaimu datang akan membutuhkan waktu lama, sementara penyakit Ibumu harus segera diobati."
"Penyakit? Ibu nggak sakit." Lana bersikeras.
"Kamu sok tau!"
Dika menegakkan tubuhnya dan menatap serius ke arah Lana.
"Sepertinya kamu memang benar-benar belum tau, kalau ibumu mengidap penyakit ganas."
Kepala Lana menggeleng, "Nggak! Ibu nggak sakit." Ia tetap bersikeras.
Beberapa waktu lalu, Lana baru mengetahui penyakit yang diderita oleh Ibu. Penyakit yang disembunyikannya dengan sangat rapi, hingga Lama tidak menyadarinya.
"Jelas kamu tidak punya pilihan lain, selain menikah denganku. Dengan begitu, Ibu akan segera diobati."
Kemiskinan yang dirasakannya benar-benar membuat Lana tidak mempunyai pilihan. Jika saja ia memiliki banyak uang, tentu saja Lana akan membawa Ibu berobat ke Dokter spesialis terbaik di negri ini. Tapi lagi-lagi kendala ekonomi yang membuat Ibu harus menahan sakit selama hampir dua tahun. Waktu yang tidak sebentar dan Ibu harus merasakan sakit setiap harinya.
"Kamu akan mendapat sebagian gajiku setiap bulannya, itu tidak termasuk yang belanja. Kamu bisa menggunakan uang tersebut untuk pengobatan Ibu." Jelas Dika.
"Aku bisa merekomendasikan Dokter terbaik di negri ini. Aku punya kenalan dan kebetulan kami berteman baik."
Tawaran yang sangat menggiurkan. Menyangkut kesehatan Ibu adalah hal terpenting dalam hidup Lana.
Jika ia bisa menukar jiwanya untuk keselamatan Ibu, tentu saja ia akan melakukannya dengan suka rela. Apalagi me ujar kebahagiaannya untuk Ibu. Ibu adalah segalanya untuk Lana.
"Apa saja syaratnya?" Tanya Lana, setelah beberapa saat menimbang dan memikirkan segala resiko terburuk yang akan terjadi.
Hidup bersama lelaki menyebalkan seperti Dika tidak akan terlalu menakutkan daripada ia harus kehilangan Ibu.
"Syaratnya mudah, kamu hanya perlu jadi istriku saja. Istri sah secara agama dan negara. Hanya istri di atas kertas saja. Selebihnya kamu bisa hidup bebas seperti yang kamu mau. Kamu bisa menjalin hubungan dengan lelaki yang kamu sukai, begitu juga denganku." Tutur Dika.
"Tidak ada ikatan emosional diantara kita. Kamu hanya perlu bersikap baik di depan orang tuaku, begitu juga sebaliknya. Aku akan menjadi menantu idaman untuk Ibumu."
"Satu lagi," kali ini giliran Lana bicara.
"Tidak ada kontak fisik, apa lagi hubungan badan."
Dika tersenyum samar. "Baiklah. Kecuali kalau terjadi karena tidak sengaja." Ucapnya sambil tersenyum, tapi Lana akan selalu memastikan ketidak sengajaan itu tidak akan pernah terjadi.
Saat kembali, Lana melihat Ibu menyambutnya di ambang pintu. Seperti yang selalu dilakukannya setiap hari, saat Lana keluar rumah.
Senyum lebar terpancar di wajahnya yang sudah keriput, namun bisa membuat Lana ikut merasa bahagia. Senyum paling indah yang pernah dilihatnya.
"Kenapa Ibu belum tidur?" Tanya Lana, sesaat setelah ia mengecup punggung tangan Ibu.
"Ibu menunggumu pulang." Balasnya.
"Bersamaku, Lana pasti aman. Ibu tidak perlu khawatir." Ucap Dika.
"Ibu percayakan Lana pada Nak Dika, jaga dia baik-baik." Seolah sudah memberikan kepercayaan penuh, Ibu tidak segan menitipkan Lana pada Dika.
"Saya akan menjaga Lana dengan baik." Janji Dika.
Janji yang mungkin hanya diucapkan agar Ibu semakin percaya padanya, bukan janji yang sesungguhnya ia ucapkan tulus dari hatinya.
Kebahagiaan setiap manusia tidak bisa disama ratakan, terkadang apa yang menurut kita hal biasa, justru menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang lain. Begitu juga sebaliknya.
Jika letak kebahagiaan Lana ada ada ibunya, maka ia akan melakukan apapun agar sang Ibu merasa bahagia. Termasuk menyetujui perjodohan antara dirinya dan Dika.
Siapa tau ternyata Dika dan keluarganya mempercepat acara pertunangan, bahkan mereka sudah menentukan tanggal pernikahan. Lana tidak begitu terlibat dalam proses perencanaan pernikahan, ia lebih menerima apapun yang akan terjadi padanya.
Momen yang seharusnya menjadi momen paling bahagia dalam hidupnya yaitu ketika statusnya berubah dari seorang gadis menjadi istri seseorang. Ibu tidak pernah melepas senyum di wajahnya. Wanita itu nampak bahagia meski terlihat menangis saat ijab kabul berkumandang dan seorang lelaki paruh baya menikahkan Lana. Lelaki itu bukan Ayah kandung Lana, tapi wali yang dipercayakan pada Paman atau adik ayahnya.
Pernikahan sakral yang hanya dihadiri keluarga terdekat saja. Tidak ada pesta mewah seperti awal rencana karena Lana menolak dengan alasan terlalu merepotkan jika harus mengadakan pesta besar. Akhirnya keluarga Dika pun setuju, dan terjadilah pernikahan antara Dika dan Lana.