"WOI, Rhea."
Berkali-kali Laskar menyerukan nama Rhea, namun sayangnya sia-sia. Cewek itu masih bergeming tanpa berkedip, dengan bibir yang sedikit terbuka, menatapnya dengan pandangan kosong.
"Lo mati sambil berdiri?" sarkas Laskar yang langsung menghentakkan Rhea dari lamunannya.
Mata cewek itu mengerjap beberapa kali, lalu bergumam, "Hah?"
"Lo sadar gak sih kalo sekarang kita udah buang waktu banyak?"
Mendengar nada Laskar yang sangat dingin membuat Rhea menunduk. Entah kenapa cowok itu selalu membuatnya takut. "Yaudah, ayo."
Seolah tahu langkah Rhea yang begitu lambat, langsung saja Laskar meraih pergelangan tangannya dan menarik cewek itu menuju motornya berada.
Rhea yang ditarik seperti itu mau tak mau harus menyamakan langkahnya dengan langkah lebar Laskar. Dia mencibir dalam hati, kenapa juga dia bisa mengenal cowok ganas ini?
Setibanya di depan motornya, Laskar berbalik sambil menyodorkan helm berwarna hitam. "Gue sukanya cewek yang gercep, bukan lola kayak lo." katanya membuat Rhea tercengang.
"Maksud lo?"
Laskar mendengus kasar. Bukan hanya karena perkataannya yang tidak Rhea mengerti, tetapi juga karena helm yang disodorinya belum diambil.
"Lupakan." desisnya lalu memakaikan helm tersebut di kepala Rhea, membuat cewek itu membatu untuk kesekian kalinya hari ini.
Setelah memakai helmnya sendiri, Laskar menaiki motornya lalu mengode Rhea untuk segera naik ke jok belakang.
Tak ingin mendengar celetukan pedis yang keluar dari mulut Saka lagi, Rhea menurut untuk naik. Melihat Rhea yang sudah siap, Laskar langsung menyalakan motor dan melajukan motornya.
Membutuhkan waktu dua puluh menit untuk mereka sampai di sebuah mall. Dan kini, keduanya sudah sampai di toko buku yang ada di dalam mall tersebut.
Rhea berjalan meninggalkan Laskar untuk segera mendekati rak bagian buku pelajaran. Di sana dia sibuk memilih lalu mengambil beberapa jenis buku pelajaran Fisika. Padahal bagi Laskar, isinya pasti akan sama saja.
Laskar berjalan mendekat lalu berdiri tepat di belakang cewek itu. Karena tinggi mereka yang tidak sama, Laskar harus merundukkan kepalanya agar bersejajar dengan Rhea.
"Lo yakin bisa pelajari semua itu?"
"Astaga!" Rhea langsung berjengit kaget begitu mendengar suara Laskar yang tepat di sampingnya. Posisi mereka pun sangat dekat membuat Rhea sedikit bergeser, memberi ruang di antara mereka.
"K-kenapa lo di situ t-tadi di belakang-"
Bingung dengan apa yang dikatakan Rhea, Laskar segera menyela, "Lo mau ngomong apa, hm?"
Rhea mengulum bibirnya. Dadanya terasa bergemuruh hebat, hampir saja jantungnya copot tadi. Setelah menarik napasnya pelan, Rhea akhirnya menjawab, "Kenapa lo bisa ada di belakang gue?"
"Karena gue punya kaki."
Seketika cewek itu menatap Laskar datar. "Gak lucu lo." ujarnya pelan lalu membawa buku-buku yang dia pilih menuju kasir.
Melihat Rhea yang marah membuat Laskar terkekeh lucu. Ternyata kalau Rhea marah jatuhnya kayak anak kecil.
"Ah, gue lupa sesuatu."
Laskar yang baru saja menyusul langsung mendengar lontaran Rhea itu saat hendak membayar di kasir. Cewek itu langsung meliriknya dan memberi syarat untuk mendekat.
"Laskar, tolong jagain bentar. Gue mau beli buku lagi." Tanpa mendengar jawaban dari Laskar, Rhea segera pergi dari sana.
Mengedikkan bahunya, Laskar mengeluarkan kartu ATM dari dompet dan menyerahkannya ke kasir. "Bayar buat buku ini sama buku yang nanti cewek tadi kasih."
Tak harus menunggu waktu yang lama untuk menunggu kedatangan Rhea. Cewek itu menaruh dua buah novel di atas buku pelajaran yang dia ambil tadi.
"Semuanya berapa?" tanya Rhea yang sudah mengambil dompet dari tas selempangnya.
Setelah menotalkan seluruh buku tersebut, penjaga kasir itu menggesek kartu ATM Laskar, menyimpan buku-buku tersebut di dalam totebag, lalu menyerahkannya pada Rhea beserta kartu ATM tersebut.
"Ini, Mbak. Terima kasih sudah membeli."
Dengan ragu Rhea menerimanya. Keningnya mengerut bingung. "Loh? Saya kan belum bayar. Lagian ini kartu bukan milik saya."
Gemas melihat Rhea yang terus merasa belum membayar, Laskar mengambil kartu dan totebag tersebut, lalu menarik Rhea agar segera pergi dari sana.
"Bacot lo. Orang di belakang kita pada antre panjang." cetus Laskar membuat Rhea melirik ke arah kasir. Dan benar saja, beberapa orang kini tengah membayar buku-buku mereka.
"Tunggu."
Langkah Laskar terhenti saat Rhea menarik paksa tangannya agar terlepas dari genggaman cowok itu.
Dengan pandangan menuduh, Rhea bertanya, "Lo yang bayarin buku-buku gue?"
"Lo bawel banget sih." Laskar menyugar rambutnya, membuat Rhea terdiam beberapa saat melihat itu.
Tersadar, Rhea menggelengkan kepala untuk menyadarkan dirinya sendiri. "Gue kan gak enak."
"Ya anggap aja itu sebagai ucapan terima kasih karena udah mau jadi tutor gue." balas Laskar dengan tatapan datarnya.
"Terus dua novel gue ini juga termasuk?"
Laskar menggaruk belakang kepalanya. "Anggap aja bonus."
"Gue gak butuh bonus. Gue juga gak mau punya utang budi sama lo lagi." sahut Rhea dengan berani.
Kening Laskar berkerut, memandang Rhea yang semakin ke sini, Rhea semakin cerewet. Padahal awalnya Rhea sangat kaku, bahkan berbicara saja masih tergagu-gagu.
Beberapa saat kemudian Laskar menyeringai. "Kalo gitu ganti sama makanan. Ayo, gue laper." Dan Laskar pun kembali menyeret Rhea yang hanya bisa menghela napas pasrah.
Hanya untuk membeli buku pelajaran, Rhea menghabiskan waktu hingga dua jam lamanya. Ralat, bukan hanya untuk membeli buku pelajaran, tetapi untuk menemani Laskar makan-makan yang pada akhirnya setengah dari biaya makan tersebut ditanggung Laskar.
Dan sekarang, Rhea baru saja turun dari motor Laskar lalu segera melepaskan helm yang dia kenakan.
"Em, makasih." kata Rhea pelan sambil mengembalikan helm tersebut.
Dengan santai Laskar menerimanya, lalu menyahut, "Satuy. Gue pergi."
Terus memandangi motor Laskar yang melaju menjauh, Rhea tersenyum tipis lalu segera menggelengkan kepalanya.
Ya Tuhan, kenapa dia tersenyum? Pasti dirinya sudah gila. Pikirnya sambil bergedik ngeri dan segera masuk ke dalam rumah.