12

1120 Kata
“LO ngapain di sini?” Mata Rhea membesar. Seketika jantungnya berdetak kencang. Saking kencangnya sampai dia bisa mendengar degup jantungnya sendiri. Rhea langsung mengalihkan pandangannya ke buku. Menutupi kekagetannya, dia berdeham pelan. “Belajar.” Laskar manggut-manggut lalu duduk di samping Rhea. Dia memposisikan badannya menghadap cewek itu, sambil menopang kepalanya menggunakan tangan kanannya. “Lo gak bosen apa belajar mulu?” “Enggak.” “Belajar apa lo?” Laskar langsung menarik buku yang tengah dibaca Rhea, saat melihatnya dia segera kembalikan. “Lanjutin.” Menghela napas pelan, Rhea kembali memfokuskan dirinya belajar. Beberapa menit berlalu. Dia menggigit bibir bawahnya lalu melirik Laskar lewat sudut matanya. Cowok itu kini membaringkan wajahnya pada lipatan tangannya. Namun wajahnya menghadap arah kanan. Sebisa mungkin Rhea mengatur jantungnya yang terus berdetak kencang. Saking fokusnya Rhea mengamati Laskar hingga sadar bahwa cowok itu kini membalikkan kepalanya sehingga menghadap dirinya. Rhea mematung sesaat melihat wajah damainya Laskar saat memejamkan matanya. Perlahan Rhea melambai-lambaikan tangannya pelan di wajah Laskar, bermaksud memastikan apakah cowok itu tidur sungguhan atau hanya sekedar memejamkan mata. Namun tak mendapat respons lebih dari Laskar, Rhea kembali menarik tangannya turun lalu tersentak pelan. Astaga, apa yang sedang dirinya lakukan? Padahal Rhea sudah berjanji pada dirinya sendiri agar bersikap biasa-biasa saja jika bersama Laskar, namun tubuhnya di luar kendali otaknya. Matanya seakan ingin terus menatap wajah Laskar, dengan jantung yang berdesir aneh seakan tak ingin kalah. Beberapa kali Rhea menepuk pipinya sendiri, menyadarkan jika apa yang dia lakukan itu sangatlah tidak baik. “Ah, sial.” Mendengar desisan itu, Rhea langsung menatap Laskar yang kini menegakkan badannya. Cowok itu menggaruk tengkuknya, lalu melirik Rhea sambil menaikkan satu alisnya. “Kenapa lo?” Dengan segera Rhea mengalihkan tatapannya. “Enggak.” Beberapa saat hening. Rhea yang tak kuasa terjebak di situasi itu langsung membuka suara. Walau masih berpikir berulang-ulang kali sebelumnya. “Kalo lo?” Tanpa menatap Laskar, Rhea bertanya, “Kenapa lo di sini?” Laskar kembali menopang kepalanya sambil menatap Rhea. “Dapet hukuman.” Kepala Rhea langsung tertoleh mendengar jawaban itu. “Hukuman apa?” tanyanya kembali dengan raut wajah tak yakin. “Rapiin nih ruangan.” “Terus kenapa lo duduk di sini?” “Masalah buat lo?” Pertanyaan sarkas Laskar itu sukses membungkam mulut Rhea. Gadis itu kembali menatap bukunya sambil mengatupkan bibirnya rapat. “Lo... mau dibantu?” “Hah?” Perlahan Rhea menatap mata Laskar ragu. “Lo mau gue bantu?” “Bantu apaan?” Laskar menatap Rhea heran. Ada apa dengan cewek aneh ini? Tiba-tiba ingin memberi bantuan tak jelas kepadanya. “Bersih-bersih.” Decitan kursi terdengar begitu Rhea bangkit dari duduknya. Dia merapikan bukunya lalu menatap Laskar yang masih tak mengerti. “Tolong ambilin kemoceng, kain lap, dan tangga.” kata Rhea singkat sebelum meninggalkan Laskar menuju tempat penjaga perpus berada. Sesaat Laskar masih memperhatikan Rhea yang tengah becengkrama dengan penjaga perpus. Tiba-tiba dia terkekeh begitu penjaga perpus itu menaruh setumpuk buku di atas mejanya. Teringat perkataan Rhea tadi, Laskar langsung pergi dari sana menuju gudang. Mengambil barang-barang yang diminta cewek itu. Bibir Rhea tertarik membentuk senyuman begitu melihat Laskar keluar dari ruangan tersebut. Dia berucap terima kasih kepada penjaga perpustakaan tersebut lalu membawa setumpuk buku dan mulai menempatkannya kembali ke raknya. Beberapa menit berlalu. Sisa beberapa buku yang harus berada di atas rak. Rhea mengalihkan pandangannya, lalu menarik sebuah tangga agar dapat menjangkau rak atas. “Ini.” ujar Laskar langsung begitu sampai. Dia menaruh kemoceng dan sebuah kain di atas meja lalu mengambil alih tangga yang sedang Rhea pegang. “Gue aja.” “Lo bisa?” tanya Rhea pelan. Laskar yang sudah berada di atas merunduk menatapnya. “Lo raguin gue?” Seketika Rhea menjadi kikuk mendengarnya. Dia segera mengambil kemoceng lalu membersihkan pinggiran rak yang mulai berdebu. Sesekali matanya melirik Laskar yang sedang menaruh buku-buku di rak atas. Merasa dilihatin, Laskar menatap Rhea yang kini dengan senyuman membersihkan pinggiran rak. Cowok itu tersenyum tipis. “Thanks.” “Buat apa?” sahut Rhea sambil menatap Laskar yang perlahan turun dari tangga. Cowok itu mengambil kain lap, lalu berdiri di samping Rhea. “Menurut lo?” balas Laskar membuat Rhea mencibir pelan. “Ngomong apaan lo? Lo nyinyir gue?” Laskar menatap Rhea datar. Rhea langsung berdeham sambil menggeleng pelan sebagai jawaban. Belakangan bersama Laskar membuat rasa takut Rhea akannya sedikit berkurang. Cowok itu memang jutek dan sarkas saat berbicara, namun tak jarang juga dia menunjukkan sisi baiknya. Contohnya sekarang. Sebenarnya Rhea juga tidak tahu, kenapa dirinya mau membantu cowok itu membersihkan perpustakaan. Tunggu, memangnya saat membantu orang harus memiliki alasan? Rhea tersenyum saat pertanyaan itu muncul di benaknya. Ya, benar. Apa salahnya membantu orang lain. “Oi.” Rhea menatap Laskar sambil menaikkan satu alisnya. Cowok itu melemparkan kain lap yang sedari tadi dia pegang ke atas meja. “Mau ke kantin?” Dan seketika jantung Rhea kembali berdetak dengan cepat. *** Jam kosong yang sudah berlangsung dari jam ketiga membuat sebagian siswa-siswi memilih ke kantin untuk mengisi perut. Rhea menatap wajah Laskar yang duduk di depannya ragu. Ragu apakah dia harus duduk satu meja lagi dengan Laskar mengingat kejadian tempo hari. Bisik-bisikan pun kembali terdengar. Beberapa pasang mata menatap mereka dengan tatapan yang bervariasi. “Oh my God, kok Laskar kalo gak pake jaket tambah ganteng?” “Syuttt. Diem nanti Laskar denger,” Sepertinya Rhea harus meralat pikirannya tadi. Bukan mereka berdua yang menjadi pusat perhatian. Tetapi Laskar, hanya Laskar. Memang awalnya Rhea agak aneh melihat Laskar tanpa jaket hitamnya. Baju kemejanya yang tidak disisip, tidak menggunakan dasi, dan kancing bagian atas yang dilepas menjadi daya tariknya tersendiri. “Makanan lo kenapa gak dimakan?” Rhea tersentak pelan untuk sekian kalinya karena Laskar. Dia menatap Laskar bingung, lalu menatap bakso di depannya. “Lo keganggu sama mereka?” tanya Laskar lagi. “Atau lo mau gue tegur mereka biar diem?” “E-enggak perlu.” Rhea langsung meraih sendok dan mencicipi kuah bakso tersebut. Mengabaikan Laskar yang menatapnya terus menerus. “Nanti ngajar di rumah gue.” “Hm? Oh, oke.” “Perlu gue jemput?” Seketika Rhea tersedak mendengar itu. Dia memukul dadanya pelan lalu segera menyeruput es teh manis yang dirinya pesan. Dengan mata yang sedikit merah dan berair karena tersedak, Rhea menjawab dengan suara serak, “Gak perlu. Gue bisa sendiri.” “Emang lo tau rumah gue?” Pertanyaan Laskar sukses membuat Rhea terdiam beberapa saat. Diamnya Rhea membuat Laskar tersenyum miring. “Keputusan akhir. Gue jemput di tempat kemaren.” Yah, mau bagaimana lagi kalau Laskar sudah bersikeras ingin menjemput? Lagian Laskar benar. Rhea tidak tahu rumah cowok itu. Kalaupun Laskar memberi alamatnya, Rhea tak yakin bisa pergi ke sana sendiri karena sejujurnya, dirinya tidak begitu menghafal jalanan. “Oke.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN