2~DS

1045 Kata
Sinar mengerang pelan, tubuhnya menggeliat tanpa membuka mata. Ia kembali membungkus dirinya rapat-rapat dengan selimut, berusaha menghalau hawa pendingin ruangan yang menembus pori-porinya. Kepalanya terasa berat, sedikit pusing, hingga masih enggan membuka mata. Seingat Sinar, ini adalah hari Minggu. Hari di mana ia bisa berlama-lama bergelung di kasur yang begitu nyaman. Ia menghirup dalam-dalam aroma asing yang entah kenapa terasa menenangkan. Namun, sedetik kemudian, Sinar terkesiap. Matanya terbuka lebar dan mulai menelusuri ruang asing yang ditempatinya. Di mana ini? Pikirannya berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Begitu potongan-potongan ingatan mulai tersusun di kepala, matanya langsung membulat sempurna. Sinar buru-buru bangkit. Duduk sambil mengerang pelan dan memegangi kepalanya yang masih terasa pening. Refleks, Sinar menatap tubuhnya sendiri, mengamatinya dengan seksama. Napasnya akhirnya meluruh lega, saat menyadari pakaiannya masih lengkap. Hanya jaketnya yang terlepas dan kini terlipat rapi di nakas, di samping tempat tidur. Sneakernya pun sudah tersusun rapi di lantai. Namun, tetap saja Sinar bertanya-tanya, di mana sebenarnya dia berada? Suara siapa gerangan yang menggema di telinga, sebelum akhirnya ia tidak sadarkan diri? Namun, aroma masakan yang tercium begitu nikmat, membuat Sinar melupakan banyak pertanyaan di kepala. Ia beranjak perlahan keluar kamar dan mendapati punggung tegap seorang pria sedang berkutat di dapur. Sinar berdehem pelan. Meski sempat terkejut, tetapi Sinar justru semakin lega. Ternyata, suara pria yang sempat di dengarnya adalah suara Bintang, redaktur pelaksana di tempatnya bekerja. Pria pertama yang dijumpainya di Metro, sekaligus orang yang mewawancarainya ketika melamar pekerjaan. “Sudah bangun.” Bintang hanya memutar kepala sebentar dan tersenyum. “Sudah, Pak,” jawab Sinar canggung. “Teh, s**u, atau kopi?” tawarnya kembali beralih pada wajan di kompor. “Nggak usah repot-repot, Pak,” ucap Sinar semakin tidak enak hati. “Mau mandi dulu atau sarapan?” Bintang kembali mengajukan pertanyaan. “Saya sudah siapkan peralatan mandi buatmu. Ada di kamar mandi dalam, di wastafel.” “Mandi dulu.” Tidak nyaman dengan kondisinya, Sinar berpamitan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Ia kembali ke kamar dan bergegas mandi dengan peralatan yang sudah disiapkan oleh Bintang. Setelah selesai, ia kembali keluar dan mendapati dua piring omelet sudah tersaji di meja bar. “Ayo sarapan,” ajak Bintang menarik stool bar kosong di sampingnya. “Dan cerita ke saya, semalam kamu kenapa?” Sinar menurut, meski rasa segan masih bergelayut di dalam d**a. Ia duduk di samping Bintang dan menatap pria tampan itu dengan debaran jantung yang tidak biasa. Tidak ... Ini tidak boleh terjadi. Bintang sudah memiliki istri dan anak. Jadi, tidak seharusnya jantungnya berdebar seperti sekarang. Lagi pula, Sinar baru saja patah hati dengan cinta pertamanya yang telah kembali pulang ke negaranya. Untuk itu, tidak boleh ada perasaan yang tumbuh sedikit pun. Tidak sekarang, tidak pula untuk seseorang seperti Bintang. “Sepertinya ada yang nyampurin minuman saya sama obat tidur.” Sinar tidak bisa berterus terang, karena ia sendiri yang akan langsung mengkonfrontasi hal tersebut pada Andri. “Tapi karena kemarin lagi rame-rame, saya nggak tahu siapa yang sudah berniat jahat sama saya.” “Lain kali hati-hati.” Bintang menghela sambil menunjuk piring Sinar. “Sarapan dulu.” “Iya, Pak, makasih,” ucap Sinar segera mengambil sendok yang sudah tersedia di piring dan mulai memakan omeletnya. “Ibu ke mana, Pak?” “Ada di rumah,” jawab Bintang santai. “Pak Bin nggak pulang semalaman?” “Saya lebih sering ada di apartemen daripada di rumah.” “Kenapa?” Sinar mulai merasa ada yang tidak beres. Kenapa Bintang lebih sering berada di apartemen, sementara istrinya berada di rumah? Bukankah hal tersebut adalah sesuatu yang aneh? “Habiskan sarapanmu,” titah Bintang kembali menunjuk piring Sinar dengan sendoknya. Ia mengabaikan pertanyaan Sinar, karena merasa tidak perlu menjawabnya dan memberi penjelasan. Sinar spontan menekuk wajahnya. Menunduk dan langsung memakan omelet di hadapan tanpa bicara. Sepertinya, Bintang memang menyembunyikan sesuatu. Namun, saat sebuah ingatan kembali menyeruak, Sinar pun kembali melontarkan pertanyaan. “Bukannya Pak Bin cuti?” tanya Sinar. “Bilangnya mau pulang kampung ke tempat istri. Tapi, kenapa masih ada di Jakarta?” “Apa harus saya jawab?” tanya Bintang tetap bersikap santai sejak tadi dan terus menyantap sarapannya. “Nggak, sih.” Sinar menggeleng dengan kekehan hambar. “Itu, urusannya Pak Bin.” Bintang menatap Sinar dengan senyum kecil. “Bule yang datang nemui kamu waktu itu, pacarmu bukan?” “Bukan.” Begitu mengingat cinta pertamanya yang tidak akan mungkin bersatu, kesedihan kembali menyelinap di hati Sinar. Ia menunduk, jemarinya perlahan meletakkan sendok di atas piring. “Dia... cuma teman.” Bintang mendesah dan ikut meletakkan sendoknya di piring. “Kalau cuma teman, mukamu nggak mungkin ditekuk seperti itu.” “Kami ... berbeda.” “Kamu produk lokal, sementara dia—” “Kami beda agama,” putus Sinar lalu menghela panjang. Setelah menunduk beberapa saat, Sinar akhirnya mengangkat kepala. Menatap Bintang. Mengangkat kedua bahu dan kembali mengambil sendoknya. “Begitu rupanya.” Bintang manggut-manggut. “Nggak usah cemberut,” sambung Bintang. “Kamu masih muda. Nanti pasti akan ada penggantinya. Yang terbaik.” “Susah kayaknya,” jawab Sinar pesimis. “Dia itu ... cinta pertama saya.” Kali ini, Bintang geleng-geleng. “Senyum, Nar.” “Nggak bisa, Pak.” Sinar menepuk-nepuk dadanya sendiri. “Di sini, tuh, sakiiit banget kalau ingat dia. Jadi, gimana bisa senyum?” “Bisa, bisa,” kata Bintang sambil memutar stool bar-nya ke arah Sinar. “Coba sini.” Tanpa pikir panjang, tangan Bintang meraih wajah Sinar agar menatapnya. Dengan kedua telunjuk, ia menarik sudut bibir gadis itu ke atas, membentuk sebuah lengkungan. “Nah, gini, kan, cantik,” ucapnya tanpa sadar dengan senyum yang mengembang di wajah. Jantung Sinar seperti diobrak-abrik. Ia bahkan harus menahan napas karena sentuhan Bintang. Sejak awal, ia memang mengagumi pria tersebut. Selain tampan, Bintang juga sangat pintar dan baik pada semua orang. Karena itulah, Sinar merasakan sebuah getaran yang tidak biasa ketika mereka berada dalam posisi seperti sekarang. Tatapan mereka bertemu, terjebak dalam diam yang begitu mengikat. Bintang tidak langsung melepas sentuhannya. Justru, perlahan ibu jarinya bergerak, mengusap pipi gadis itu dengan lembut. Sinar terpaku, tubuhnya membeku. Hingga akhirnya, ia menyadari wajah Bintang semakin dekat. Dekat sekali. Dan saat bibir mereka akhirnya bertemu dalam pagutan lembut, Sinar hanya bisa memejamkan mata. Pasrah pada getaran aneh yang kini menguasainya dan melupakan cinta pertamanya ... Angkasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN