1~DS

581 Kata
Patah hati. Itulah yang mendorong Sinar untuk pergi menonton konser. Ia memanfaatkan profesinya sebagai sekretaris redaksi sebuah perusahaan media cetak—Metro, agar bisa berada di backstage dan leluasa bergerak di sekitar panggung. Tempat para wartawan dan fotografer sibuk meliput. Tidak hanya itu, Sinar juga meminta name tag dari Andri, rekan kerjanya yang sekaligus ketua event organizer, agar dirinya terlihat sebagai bagian dari tim penyelenggara. “Minum, Nar.” Andri menyodorkan sebotol air mineral pada Sinar saat menghampiri gadis cantik itu di backstage. “Haus banget kayaknya.” “Hmm.” Sinar mengangguk dan menerima botol air mineral tersebut dengan ragu. Saat hendak memutarnya, ternyata tutup botolnya sudah lebih dulu terbuka. Namun, Sinar melihat sekali lagi jika air di dalamnya masih terisi penuh. “Makasih.” “Baru gue bukain,” kata Andri ketika melihat Sinar terkejut dengan keadaan tutup botolnya. “Hmm.” Sinar kembali mengangguk. Karena memang haus, ia segera meminum air tersebut hingga tersisa separuh. Ia menutupnya kembali lalu duduk pada kursi plastik yang dilihatnya baru saja kosong. “Nggak lihat Bima, Ndri?” “Sama ceweknya,” ujar Andri kembali mendekati Sinar dan berdiri di sebelahnya. “Nggak tahu, pergi ke mana tadi.” Dasar fùckboy. Sinar hanya bisa memaki dalam hati. Entah wanita mana lagi yang sedang dikencani Bima kali ini, padahal pria itu baru saja putus dengan pacarnya dua hari yang lalu. Sebenarnya, Sinar datang ke konser bersama Bima. Jadi, seharusnya ia juga pulang dengan pria itu. Namun, melihat situasinya sekarang, ia ragu Bima akan muncul tepat ketika konser selesai. Pria itu pasti akan terlambat, karena sedang menikmati waktu bersama "kekasih" barunya. “Ndri! Dicari Mike,” ujar seorang pria yang datang terburu. “Dia komplain makanan buat artisnya.” “Masa’ gue yang harus turun tangan?” Andri protes dengan keras. Ia menatap Sinar yang masih tampak tenang, dengan kaki yang bergoyang karena musik kembali dimainkan. “Cari Dita coba.” “Dia maunya elo!” Andri berdecak. Kembali menatap Sinar lalu menepuk bahu gadis itu. “Nar, gue pergi bentar. Lo jangan ke mana-mana. Tunggu gue di sini. Nggak lama.” Sinar hanya mengernyit tidak mengerti. Ia tidak mengangguk untuk mengiyakan, pun menggeleng untuk menolak. Sinar hanya bingung, karena sikap Andri barusan. Kenapa juga ia harus menunggu Andri kembali? Begitu pria itu pergi, Sinar segera mengeluarkan ponsel. Ia mencoba menghubungi Bima, tetapi tidak kunjung diangkat. Alhasil, Sinar hanya mengirimkan sebuah pesan pada pria yang sudah menjadi temannya sejak kuliah. Beberapa saat setelah pesan itu terkirim, Sinar merasakan ada yang tidak beres pada dirinya. Kepalanya mendadak berat dan matanya pun mulai berkunang-kunang. Pandangannya mengabur, suara riuh konser di sekitarnya terasa semakin jauh, seolah dunia mulai berputar pelan. Tatapannya tertuju pada botol air mineral yang masih di genggaman. Mengingat tutup botol tersebut sudah terbuka ketika diterimanya, Sinar menjatuhkannya seketika. Memaki Andri dalam hati dan merutuki kecerobohannya sendiri. Di sisa kesadarannya, Sinar memaksakan diri untuk bangkit. Dengan langkah tergesa, ia mencari jalan keluar. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya saat ini adalah menjauh dari Andri. Ia terus berjalan, berusaha menuju area parkir khusus, tempat mobil Bima terparkir. Namun, dalam perjalanannya, ia melihat bayangan seorang pria menghampiri. Entah siapa, karena kesadarannya benar-benar menipis. Pandangannya semakin kabur, langkahnya terhuyung, dan tubuhnya terasa semakin lemah. “Nar ... Sinar?” Suara itu menggema di telinga, tetapi Sinar tetap tidak mampu mengenali siapa pria yang sudah berada di dekatnya. Ia mencoba melangkah mundur, tetapi keseimbangan tubuhnya tidak lagi bisa dikendalikan. Tubuhnya limbung, dunia di sekelilingnya seolah berputar dan ... gelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN