"Jen, ada Jun! Kapan kamu mau turun ke bawah?!"
Teriakan mamanya membahana ke sepenjuru rumah. Hal itu membuat Jena mau tak mau mencebik bibirnya. Ia sudah tahu bahwa Jun pastinya akan menjemputnya berangkat ke sekolah seperti biasanya. Namun tetap saja ia tak dapat menyembunyikan segala hal yang dirasakannya saat ini.
Sebenarnya Jena masih dilema. Dilema untuk mengatakan semua hal yang dilihatnya hari itu kepada Jun. Tentang Bayu, dan sosok misterius yang mirip Bayu itu.
Setelah pulang ke rumah masing-masing kemarin, Jena pada akhirnya lupa tak mengatakan apapun kepada Jun. Pun semalaman gadis itu juga tak sempat membuka chat atau membalas pesan dari Jun, karena semalam ia tidur lebih cepat dari waktu sebelumnya. Kini ia bingung untuk memulai percakapan itu dari mana, apalagi pasti Jun sudah sangat penasaran dengan hal yang katanya ingin disampaikan Jena itu.
"Jena, ih!"
Teriakan Mamanya lagi-lagi menggelegar. Jena mau tak mau terkesiap dan dengan cepat meraba jantungnya yang berdegup kencang. Ia baru saja terkejut oleh teriakan mamanya. Padahal mamanya itu sering berteriak di mana-mana namun tetap saja ia tak terbiasa.
Jena dengan segera menggelengkan kepalanya dan menepis semua lamunannya itu.
"Iya, Ma!" sahut Jena dengan cepat.
Ia segera mengambil tas ranselnya. Kemudian dengan langkah cepat kakinya segera mengarah menuju ambang pintu kamarnya.
Tangan sebelah kanan Jena terus memegangi dadanya, ia bahkan membisikkan sesuatu. "Jantung, kamu harus kuat, ya! Ayo, bertahan!"
Jena tersenyum dengan lebar sembari terus melangkah menyusuri lorong lantai dua rumahnya itu. Kemudian gadis itu segera melangkah menuruni anak tangga. Dan alangkah terkejutnya Jena melihat pemandangan yang sangat jarang dilihatnya kini.
Jun tengah mengobrol kecil dengan neneknya yang terduduk di kursi ruang tengah itu. Cowok itu berjongkok rendah, tampak menyejajarkan dirinya dengan nenek Jena yang duduk di kursi itu. Mata cowok itu membentuk garis melengkung ketika tersenyum, ia tampak masih berceloteh pada nenek Jena yang juga tersenyum itu.
Anehnya, saat ini Jun tampak sangat ganteng di mata Jena.
"Tunggu, apa gue barusan mikir kalau Jun itu ganteng?!" batin Jena menjerit sembari kepalanya yang menggeleng.
"Gila kali lo ya, Jen!"
Dan saat Jena masih sibuk dengan gelengan kepalanya itu, Jun seketika mendongak lalu memandang Jena di anak tangga.
"Akhirnya lo turun juga." Jun berceletuk seraya bangkit dari jongkoknya itu. Tangan kirinya ia masukkan ke saku celananya seraya masih menatap Jena. "Nungguin lo turun serasa kayak lagi nungguin Bang Toyib balik ke rumah."
Jena mencebik. "Enak aja gue disamain sama Bang Toyib yang tiga kali lebaran tiga kali puasa gak balik-balik," gerutunya.
Jun terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Kemudian cowok itu kembali berjongkok dan menatap nenek Jena itu.
"Jun sama Jena berangkat ke sekolah dulu, ya, Nek."
Nenek Jena itu tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Ia melambaikan tangannya itu. "Hati-hati di jalan!"
Jun tersenyum sekali lagi sebelum kemudian bangkit berdiri.
"Apa?! Kalian berdua abis ngomong apaan sih?! Kok bisik-bisik?" Jena menatap Jun dan Neneknya itu bergantian, ditambah dengan tatapan curiganya.
Jun yang mendapatkan pertanyaan itu dari Jena kemudian dengan cepat melangkah menuju gadis itu. Lalu dengan sekali hentak, ia sudah membalikkan tubuh Jena dan mendorong gadis itu menjauhi neneknya. Jun segera merangkul pundak Jena agar berjalan mengikutinya.
"Ayo kita berangkat, takut telat!" ujar Jun dengan kekehan kecil di bibirnya.
Jena terkesiap kemudian memberontak dan hendak bertanya kepada neneknya itu, namun lagi-lagi dihalangi oleh Jun.
"Eh tunggu, kalian berdua abis ngomongin apaan?! Jun!"
***
"Jadi, sebenarnya apa sih yang mau lo omongin ke gue kemarin tapi gak jadi itu." Jun langsung memberondong gadis yang masih ia rangkul itu dengan pertanyaan.
Sesekali Jun melirik Jena yang terdiam di rangkulannya itu. Lalu ia kembali mengalihkan tatapannya ke arah lain.
"Heum? Apa yang mau lo omongin Jen?" Jun masih menanti jawaban Jena. "Plis, jangan bikin gue penasaran, ya! Semalaman gue tidurnya kebangun terus karena penasaran."
Kini Jun merajuk. Ia bahkan melepas rangkulan tangannya di pundak Jena itu kemudian menghentikan langkah kakinya.
Sontak langkah kaki Jena juga terhenti. Gadis itu mengembuskan napasnya jengah.
"Lo juga gak mau ngasih tahu tadi ngomongin apaan sama Nenek." Jena mengedik dagunya kesal.
Jun yang mendengar hal itu pun tergelak. Cowok itu menatap Jena dengan raut tak percayanya. Ternyata Jena begitu penasaran dengan hal yang dibicarakan olehnya dan nenek Jena itu. Padahal tak ada yang spesial.
"Oh itu, tadi gue cuma nanya ke Nenek dia tidur nyenyak gak? Terus dia jawab, katanya bisa tidur nyenyak. Abis itu gue cerita kalau semisal gak bisa tidur nyenyak, nenek bisa meluk guling terus mikirin hal-hal baik selama hidupnya, terus bisa deh tidur nyenyak." Jun menjelaskan semua yang terjadi tadi pagi.
"Apa? Gitu doang?" Jena mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Lo random banget sih, Jun!"
Mendengar gerutuan Jena tentu saja Jun langsung tertawa keras-keras. "Ya emang begitu doang." Ia mendekat ke arah Jena sembari melirik jam tangan di tangan kanannya. "Buruan lo kasih tahu ke gue dalam lima menit sebelum kita sambung jalan lagi."
Jena yang tadinya memasang raut wajah kesalnya ketika menatap Jun, kini mengerjap dan mulai berdeham. Ia berganti ekspresi dengan serius.
"Dengerin gue baik-baik, ya, Jun. Jangan nyela sebelum gue selesai cerita." Jena mengucapkan kalimat itu dengan serius.
Dan ajaibnya, Jun menurut. Cowok itu benar-benar diam dan hanya menganggukkan kepalanya itu. Jun juga tak menyela sama sekali tak seperti biasanya.
"Lo tahu 'kan kalau gue sama Bayu nonton pementasan drama ekskul Teater di sekolah tetangga?" tanya Jena dan seketika Jun mengangguk. Masih tak bersuara.
"Nah hari itu gue juga ngalamin hal aneh, Jun. Kejadiannya persis kayak waktu gue yang kesakitan di koridor pas pertama kali Karina pindah ke sekolah kita." Jena menjeda kalimatnya.
Ia sengaja menunggu reaksi dari Jun. Namun karena cowok di depannya itu masih terdiam dengan raut penasaran, Jena pada akhirnya melanjutkan kalimatnya.
"Sama seperti hari itu gue yang ngelihat lo dengan pakaian Jawa khas orang-orang dahulu, gue juga ngelihat Bayu dengan pakaian seperti itu."
"Apa?!" Jun pada akhirnya tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya itu. Ia pun tak bisa terus diam.
"Apa? Lo lihat Bayu ... pakai pakaian khas Jawa juga? Serius?" tanyanya dengan nada keras. Benar-benar sangat terkejut.
Jena menganggukkan kepalanya dengan penuh keyakinan. Ia tak gentar ditatap Jun, yang menandakan bahwa ia tak main-main dengan ucapannya.
"Iya. Bayu pakai pakaian Jawa itu. Dia bahkan berkumis." Jena mengingat kembali apa yang dilihatnya hari itu. "Wah, kalau gue ingat lagi, Bayu tampak kelihatan lebih dewasa dan lebih ganteng pas pakai baju bangsawan Jawa itu."
"Tunggu, Jen!"
Pada akhirnya Jun tidak bisa tidak menyela ucapan Jena.
"Jadi maksud lo ... tunggu, ini gak masuk akal! Maksud lo ... Bayu juga reinkarnasi juga?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Kepala Jun tiba-tiba pusing. Ia bingung dengan semua kenyataan yang menghampirinya itu. Ditambah lagi dengan perkataan Jena barusan.
Ia saja masih tak percaya bahwa dirinya dan Jena adalah reinkarnasi dari sosok di masa lalu. Dan kini ditambah dengan Bayu?
Tiga orang bereinkarnasi sekaligus?
Apa ada hal lain lagi yang tak masuk akal?
"Iya. Bayu itu juga reinkarnasi dari orang di masa lalu."
***