43- Pulang

1074 Kata
Bel pulang sekolah berdering nyaring tiga kali. Pada dering pertama saja sudah membuat seluruh penghuni sekolah SMA HARAPAN berhamburan ke sana ke mari, apalagi saat dering yang ketiga. Jena dan Jun berjalan bersisian, tepatnya saat ini Jun yang merangkul Jena dengan tidak berperasaan karena rangkulan cowok itu hampir menyerupai tarikan. Bahkan Jena sesekali memberontak. "Lo gak bisa kabur dari gue." Jun menarik Jena lagi sembari berjalan menyusuri koridor. Jena meronta namun akhirnya gadis itu pun pasrah. Jadi sekarang Jena hanya dapat menghela napas panjangnya dan berharap Jun segera mengakhiri main-mainnya. "Iya, gue gak kabur." Terkait kabur yang dimaksud oleh Jun itu ... sebenarnya ini karena perkataan Jena lima belas menit yang lalu sebelum bel berdering. "Gue gak akan kabur, Jun." Lima belas menit sebelum bel berdering Jena gelisah di tempat duduknya. Gadis itu sesekali melirik arlojinya menunggu bel pulang berdering, namun tak kunjung juga terdengar. Ini karena Jena yang hendak mengatakan pada Jun tentang sosok lain dari Bayu itu. Sebenarnya Jena ingin memberitahukan pada Jun sejak tadi, ketika jam istirahat berlangsung, namun tak sempat karena ramai. Lagipula Jun juga banyak mengobrol dengan Karina sehingga lama-kelamaan Jena pun lupa untuk memberitahu pada Jun. Kemudian saat jam istirahat kedua, Jun bahkan langsung mengikuti rapat dengan Ekskul Dance-nya, sehingga tak sempat bagi Jena untuk berbicara hal itu pada cowok itu. Jena jadi serba salah karenanya. "Sst ... sst ...." Jena akhirnya memutuskan untuk memanggil-manggil Jun. Ia memundurkan kepalanya yang tadi sempat terhalang oleh wajah Fina itu untuk menatap meja Jun. Orang yang Jena panggil itu menoleh sekilas sambil mencatat di buku catatannya. "Apa?" tanya Jun dengan lirih. Ia menatap papan tulis, tanpa ada niatan menatap Jena. "Nanti pulang sekolah, ada yang pengen gue omongin." Jena masih berbisik. Ia menoleh pada guru Bahasa Indonesianya yang masih mempertahankan tulisan tangan itu di depan kelas. Jun yang mendengarkan ucapan Jena itu hanya mengangguk sekali. Setelahnya, cowok itu kembali fokus menulis di buku catatannya. Seperti yang sudah dikatakan, guru Bahasa Indonesia mereka itu lebih menyukai menulis di papan tulis dibanding menggunakan proyektor. Mungkin sekaligus memamerkan tulisan tangan latinnya yang bagus itu. Jena ikut mengangguk melihat Jun mengangguk tadi. Berikutnya, gadis itu memajukan tubuhnya kembali dan memposisikan tubuhnya sejajar lagi. Ia tak ingin lama-lama bertahan dengan posisi seperti itu. "Gue boleh ikut kalian berdua pulang bareng lagi?" Baru saja Jena bernapas lega, kini ia dikejutkan oleh suara bisikan dari sisi belakangnya. Tepatnya suara Karina yang mengejutkannya. Jena sontak membalik badan, dan langsung disuguhkan oleh cengiran Karina. "Boleh?" tanya Karina lagi memastikan. Gadis itu bahkan mengedip-ngedipkan matanya lucu, seolah membujuk Jena. Jena yang mendengar permintaan Karina dan melihat ekspresi wajahnya itu, tak mungkin juga menolak gadis itu. Ia tak bisa melarang Karina untuk pulang bersama dengan mereka, ketika sebelumnya ia sendiri yang menawarkan agar Karina pulang bersama mereka. Jadi, karena tak ingin membuat Karina merasa sedih, pada akhirnya Jena mengangguk. Lalu ia kembali membalik badan ke depan setelah melihat Karina tersenyum penuh rasa terima kasihnya. Jena menghela napasnya. Tak mungkin ia membicarakan hal yang sedari tadi mengganjal itu, ketika ada Karina juga. Karina tak boleh tahu. Hal ini hanya boleh diketahui oleh Jena dan Jun saja. Kemudian setelah menimbang-nimbang lagi, akhirnya gadis itu putuskan untuk tak mengatakannya hari ini. Masih ada hari besok atau hari berikutnya lagi. Kring! Bel berdering nyaring. Guru Bahasa Indonesia di kelas Sebelas IPS 4 itu langsung menatap arlojinya dan benar saja bahwa jam sudah menunjuk di angka tiga. "Kalau begitu pelajaran hari ini saya cukupkan. Selamat sore." Tanpa menunggu balasan dari murid-muridnya, guru itu segera ke luar dari kelas Jun dan Jena itu. Kemudian segeralah para murid berhamburan ke luar kelas, meskipun masih ada yang piket kelas atau ingin menunda kepulangan mereka. Jun bersiap-siap. Kemudian cowok itu segera mendatangi meja Jena dan bertanya padanya. "Mau ngomong apaan?" Jena yang masih memberesi buku-bukunya itu pun menggeleng. "Gak jadi." Dengan santainya Jena mengucap kalimat itu. Membuat Jun menganga di depan meja Jena. "Hah?" "Iya." Jena sudah selesai memberesi tasnya kemudian beranjak bangkit. Gadis itu menggendong tasnya dan bersiap untuk melangkah. "Gue duluan aja." Melihat Jena yang hendak melenggang pergi begitu saja dan telah sukses membuatnya penasaran, Jun pun dengan cepat menarik tas gendong Jena hingga gadis itu berhenti melangkah. "Eits, mau ke mana?" *** Karina berjalan di tengah-tengah antara Jena dan Jun. Mungkin gadis itu menggandeng lengan Jena, namun tatapan matanya terus saja menatap ke arah lain selain Jena. Yaitu Jun. Jun masih terfokus pada ponselnya itu. "Nih, game kek gini seru tahu." Cowok itu menatap Karina lewat lirikan matanya dan kembali fokus pada aplikasi game yang tengah ia mainkan itu. Jena memutar bola matanya jengah. Berbeda dengan Karina yang justru antusias ikut menatap layar ponsel Jun. "Wah, iya." Karina mengangguk menyetujui. Kemudian gadis itu hanya menggumamkan kekagumannya itu pada Jun yang lain. "Dia selalu nyuekin gue gara-gara game sialan itu." Jena menginjak daun kering di bawahnya dengan geram. Karina terkekeh. "Oh, ya?" Ia beralih menatap Jun. "Jun banyak banget, ya bisanya. Benar-benar multitalent." Ia tersenyum pelan pada Jun. Mendengar Karina memuji Jun itu sontak membuat Jena terkekeh. "Mulitalent?" ulang gadis itu. "Yang ada malah multi-talenan." Setelah mengucap itu, Jena sontak tertawa keras-keras. "Gak usah didengerin, Rin. Jena emang suka sirik." Jun berujar santai sambil masih memainkan ponselnya. Meski begitu, cowok itu masih fokus pada jalanan di depannya. Jun bahkan sempat mendongak sekilas, lalu menunjuk sebuah rumah dengan jemarinya. "Rumah lo, Rin." Jun menunjuk rumah besar itu yang ia tahu adalah milik Karina. Karina dan Jena mendongak. Kemudian Karina mengangguk setelah ucapan Jun itu benar. "Iya," sahutnya. "Kalau gitu gue balik dulu." Karina melangkahkan kakinya mendekati rumah besar berpagar hitam itu. Gadis itu dengan pelan melangkah, namun ketika hampir menginjak depan gerbang, ia menghentikan langkahnya. Karina membalik badan untuk menatap Jena dan Jun. Dan ternyata benar Jena dan Jun masih memandanginya sedari tadi. "Kalian duluan aja. Gue lihatin dari sini." Ia melambaikan tangannya. Tampak mencoba mengusir kedua orang itu dengan halus. Jena dan Jun bersitatap. Kini Jun sudah sepenuhnya memasukkan ponselnya ke saku celananya. Cowok itu mengangguk dan menjawab, "Oke, kalau gitu kita pulang dulu." Karina mengangguk dan masih melambai. Ia melihat Jena dan Jun membalas lambaian tangannya kemudian berjalan menjauhi rumah itu. Kedua orang itu berjalan menyusuri jalan yang akan membawa ke rumah Jena. Dalam hati ia bersyukur bahwa ia tak ketahuan. Rasanya ia bisa terus menerus pulang bersama Jena dan Jun tanpa perlu menyembunyikan rahasia yang sebenarnya itu. "Hati-hati!" seru Karina lagi. Kemudian mulai berjalan meninggalkan rumah besar itu, untuk akhirnya menuju rumahnya. Rumah Karina yang sebenarnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN