Suasana kantin di jam istirahat memang selalu ramai, layaknya pasar. Tak ayal membuat panas menguar ke seluruh tubuh yang mengantri untuk mendapatkan jajanan favorit kesukaan masing-masing. Dari mulai stand yang menjajakan bakso, hingga siomay. Semuanya ramai oleh pembeli.
Fina dan Rehan yang kali ini mendapat jatah mengantri jajanan pesanan kawan-kawannya. Mereka sejak tadi mengobrol dengan keras, membuat beberapa orang yang melintas di depan mereka bahkan sesekali menengok untuk menatap mereka.
Pasalnya obrolan mereka berdua sangat tidak berfaedah. Seperti membicarakan tentang kucing tetangga Rehan yang tadi malam melahirkan, atau jemuran tetangganya yang menghilang. Benar-benar sangat tidak berfaedah.
"Terus, terus, anak kucingnya mau dikemanain?" Fina bertanya dengan kekehan yang masih melekat. Ia menahan sudut bibirnya yang hampir terangkat naik lagi, namun tak jadi.
"Dipelihara dong sama tetangga gue. Tapi satunya lagi dititipin ke adek gue, berhubung dia juga suka sama kucing," jawab Rehan dengan kekehan.
Fina menutup mulutnya dengan tangannya, untuk menahan tawanya. "Ada-ada aja." Gadis itu menggelengkan kepalanya kemudian membalik badannya sendiri untuk menatap antrian di depannya. Sejak tadi ia menghadap ke arah Rehan di belakangnya itu untuk mengobrol dengannya.
Rehan tiba-tiba menoel-noel lengan Fina yang tadi membalik badannya itu. Kemudian berbisik lirih.
"Karina sama Jun sejak kapan jadi dekat kek gitu?" tanya cowok itu sembari menunjuk-nunjuk ke arah meja tempat di mana mereka duduk tadi. Di meja itu sekarang hanya menyisakan tiga orang, yaitu Jena, Jun, dan Karina.
Fina kembali membalik badannya lagi, kemudian menatap ke arah yang ditunjuk oleh Rehan itu.
"Oh mereka?" Fina tersenyum penuh arti menatap meja itu. Kemudian menatap Rehan lagi. "Semenjak mereka pulang bareng cuma berdua waktu itu."
Rehan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh, gitu. Apa karena mereka berdua juga sama-sama murid pinter di kelas, ya? Jadi obrolannya nyambung gitu loh." Cowok itu terkekeh.
Fina mengedik bahunya. "Entah." Kemudian ia mengarahkan jemarinya ke depan wajahnya, lalu dibentuknya tanda bingkai yang membingkai ketiga orang dalam satu meja yang sama itu. Mata Fina menyipit sebelah menatap celah bingkai yang dibuatnya sendiri itu sembari berujar, "Gue kayak lagi lihat lead male sama lead female dan second female dalam sebuah drama."
Rehan ikut menatap lewat celah bingkai buatan Fina itu. "Maksud lo, kek lagi lihat sinetron yang cowoknya diperebutin dua cewek gitu?" tanyanya bingung.
Fina mengangguk dengan semangat. "Betul sekali!" Ia menurunkan tangannya itu lalu bersidekap. "Lihat aja mereka. Jena keknya mulai cemburu deh gara-gara Jun dan Karina makin dekat."
Rehan menatap meja tempat ketiga orang yang tengah dibicarakan itu sekali lagi. Lalu beralih menatap Fina sembari terkekeh. "Mana ada?" Rehan mengibaskan tangannya.
"Jena dan Jun 'kan sahabatan sejak kecil. Mereka mana mungkin nyimpan perasaan lebih dari itu? Lagipula Jena suka sama Bayu, 'kan," sambung Rehan lagi masih terkekeh menanggapi ucapan Fina.
Sedangkan Fina hanya mengulum bibirnya. Iya mulai mengangguk menyetujui perkataan Rehan. "Lo bener juga."
Bahkan ia tahu bagaimana Jena selama ini mengejar Bayu itu dengan tak goyah. Apalagi kini Bayu mulai menaruh perhatiannya pada Jena. Jadi tentu saja tak mungkin Jena menyia-nyiakan kesempatan untuk bersama dengan Bayu itu.
Fina akhirnya hanya mengedik bahunya, kemudian gadis itu membalik badannya lagi. Ia segera mengambil pesanan jajannya yang ia pesan sedari tadi itu. Dan tak memedulikan ketiga orang yang sejak tadi mereka bicarakan itu.
Ia tak ingin menerka-nerka sesuatu yang tak pasti. Contohnya seperti perasaan manusia.
***
Jena sedari tadi sudah bosan mendengar obrolan antara Jun dan Karina yang membicarakan sesuatu yang tak dimengertinya. Tentang mata pelajaran, atau tugas-tugas sekolah lainnya yang Jena tak ingin tahu lebih lanjut. Ia tak menanggapi banyak obrolan itu, jadi membiarkan kedua orang di meja yang sama dengannya itu untuk mengobrol dengan leluasa.
"Iya, bagus dong kalau lo suka sama Matematika, gak kek Jena." Jun berujar dengan keras.
Gadis itu menguap sedari tadi. Lalu dengan perlahan ia menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya di atas meja kantin itu. Lama-lama berada di suasana itu, ia jadi mengantuk.
"Tuh, Jen. Dengerin. Biar lo gak tanya mulu ke gue kalau ada pe-er Matematika."
Jena terdiam dan tak menggubris perkataan Jun itu. Jena mulai memejamkan matanya, dan sebentar lagi ia hampir terlelap, namun tak jadi ia lakukan. Pasalnya kini sebuah benda dingin menyentuh pipinya dengan pelan namun langsung membuatnya terkejut, bahkan terlonjak bangun. Dan saat Jena menegakkan badannya untuk melihat siapa pelakunya, ia malah kaku di tempatnya.
Ternyata si pelaku itu, yang menempelkan benda yang ternyata sekaleng minuman ke pipinya itu, adalah Bayu. Iya, Bayu yang itu.
"Eh, maaf, lo kaget, ya?" Bayu langsung memasang raut bersalahnya ketika bertemu pandang dengan Jena. Cowok itu dengan reflek bahkan hampir menyentuh pipi Jena itu, namun tak jadi.
Jena tersenyum lebar lalu menggeleng. "Enggak, kok." Ia terkekeh pelan.
Jun dan Karina ikut menoleh mendengar gerakan yang tadi spontan Jena lakukan. Kemudian mendapati bahwa Ketua OSIS mereka berdiri di samping kursi Jena.
Jun memutar bola matanya melihat wajah Bayu itu. Ia berdecak sebal kemudian menyedot es teh di depannya dengan cepat.
"Gue cuma pengen kasih lo minuman ini, biar lo gak ngantuk." Bayu tersenyum lebar kemudian menyodorkan kaleng minuman ion itu ke hadapan Jena.
Jena mengerjap berulang kali kemudian menatap Bayu tak percaya. Bagaimana bisa Bayu berubah menjadi lebih perhatian padanya? Apa perjuangannya selama lebih dari setahun ini membuahkan hasil?
"Beneran buat gue?" tanyanya.
Bayu mengangguk. Lalu ia segera pamit dari sana. "Gue gabung sama temen-temen gue dulu, ya." Ia menunjuk meja yang tak jauh dari meja Jena itu.
Tanpa menunggu balasan Jena lagi, cowok itu segera pergi dari sana, dan benar-benar mendatangi meja yang berisi teman sekelasnya itu. Bayu langsung disambut sorakan heboh dari teman-temannya itu yang langsung meledekinya. Sedangkan cowok itu hanya tersenyum sambil mengibas tangan di depan teman-temannya itu, menyuruh mereka diam.
Jena masih tersenyum-senyum sendiri di kursinya, kemudian menyentuh kaleng dingin itu dengan pelan. Gadis itu lagi-lagi tersenyum.
"Ini beneran buat gue?" tanyanya memastikan lagi. Pipi Jena sudah merona merah menandakan rasa malu yang dirasakan oleh gadis itu.
"Sini kalau gak mau buat gue aja!"
Tak Jena sangka, Jun dengan cepat mengambil alih kaleng dingin yang sejak tadi ia sentuh itu. Kemudian dengan tanpa perasaan, cowok itu langsung meneguk minuman di dalam kaleng itu hingga habis tak tersisa.
"Ih, Jun!" Jena mendelik dan dengan cepat memukul Jun hingga cowok itu hampir tersedak. "Itu 'kan buat gue! Kenapa lo minum, sih?!"
Setelah mengusap bibirnya yang basah akibat air ion, cowok itu meletakkan kaleng yang sudah kosong itu ke atas meja. Kemudian dengan cepat bersendawa tak sopan.
"Lo gak boleh minum minuman berion kek gini."
Jena memelototi Jun setelah menyadari bahwa sudah tak ada lagi sisa air di dalam kaleng itu. "Ih, kata siapa?!"
"Kata gue." Jun menyengir.
Jena sontak bangkit dan memukul lengan Jun dengan kerasnya, membuat cowok itu mengaduh berulang kali.
"Nih, rasain!"
"Ampun, Jena!" seru Jun kewalahan menghadapi pukulan Jena.
Karina yang sedari tadi melihat dua orang di depannya itu bertengkar, hanya dapat terkekeh. Kemudian sesekali meminta maaf karena mungkin saja meja di sebelah mereka terganggu. Gadis itu kini baru sadar, bahwa ia sempat melihat Bayu yang memandang ke meja mereka sekarang. Tatapannya menyorotkan rasa tidak suka ketika melihat Jena dan Jun sedang bersama itu. Hingga akhirnya Karina dan Bayu bersitatap. Hanya sebentar.
Begitulah suasana kantin siang itu yang sudah panas, malah bertambah panas. Namun tentu saja mereka senang, karena jam istirahat tentu saja tak akan mereka sia-siakan tanpa menyantap makan siang di kantin.
Suasana yang akan dirindukan ketika sudah lulus nanti.
***