Jena berjalan pelan di belakang Jun. Cowok bertubuh tinggi di depannya itu berjalan sembari terus memainkan ponselnya itu, dan tak sadar bahwa Jena tertinggal jauh di belakangnya.
Baru setelah ia kalah dalam permainan ponselnya, dan sempat mengumpat, cowok itu membalik badannya. Ia mendapati Jena yang berjalan sambil melamun itu. Bagai raganya saja yang berjalan namun nyawanya melayang entah ke mana.
"Jen!" teriak Jun dengan keras. Ia memanggil Jena alih-alih mendatangi gadis itu.
"Buruan!" Cowok itu melambaikan tangannya menyuruh Jena agar mendekat padanya.
Jena yang tadi sempat terkejut oleh teriakan Jun yang tiba-tiba kini mendelik sebal. Ia menggerutu sembari menghentak kakinya. Gadis itu mulai melangkah dengan cepat, berjalan mendekati Jun itu.
"Bisa gak sih gak usah ngagetin!" Gadis itu menggerutu lagi begitu sampai di depan Jun.
Tentu saja bukan Jun namanya kalau menurut pada Jena. Bukannya mengikuti perkataan Jena, cowok itu malah mendekatkan bibirnya ke telinga Jena. Kemudian berseru di dekat telinga gadis itu.
"Gak mau!" serunya.
Lalu detik berikutnya, adegan yang tersaji hanyalah Jena yang mencoba mengejar namun tak bisa. Jena takut menyakiti jantungnya jika terlalu capai berlari.
Jadi Jena hanya dapat mengumpati dan menyumpahi Jun agar cowok itu mau bertobat.
"Ish! Awas ya lo!" seru Jena sembari mengacungkan bogeman tangannya ke udara.
Sedangkan Jun hanya dapat memeletkan lidahnya, berulang kali meledek Jena. "Wle!"
Jena mengumpat dengan matanya. Kemudian ia mengatur napasnya berulang kali untuk menetralkan detak jantungnya. Berdekatan dengan Jun memang membuatnya selalu naik darah. Cowok itu selalu iseng padanya. Dan Jena sudah harus menerima keisengan cowok itu selama lebih dari tujuh belas tahun ini. Bayangkan bagaimana sabarnya Jena selama ini menghadapi Jun. Menyebalkan!
"Lagian lo kek orang linglung, jalan sambil ngelamun gak jelas." Jun bersidekap menghadap Jena. "Lo 'kan harusnya seneng setelah kemarin abis kencan berdua sama si Ketua OSIS itu," cibir cowok itu sambil memutar bola matanya ke atas.
Jena masih menahan emosinya dan hanya terdiam. Jelas saat ini Jena masih memikirkan kencan yang Jun maksud kemarin itu. Namun bukan saat menonton di aula pementasan drama itu yang Jena pikirkan, melainkan penglihatannya pada sesosok yang sangat mirip Bayu itu. Sosok berbaju bangsawan dari tanah Jawa itu.
Jena bahkan tak nyenyak tidur semalam. Ia selalu terbangun dan berakhir dengan memikirkan tentang sosok itu. Sosok aneh.
Siapa sebenarnya sosok itu?
Dan, harusnya Jena memberitahukan hal ini pada Jun juga?
"Jun! Jena!"
Jena sontak mendongak dan menemukan seseorang tengah berdiri di depan sebuah rumah besar. Orang itu adalah Karina. Ia melambaikan tangannya, tampak menunggu Jun dan Jena yang tengah berjalan ke arah Karina itu.
"Hei, Rin." Jun menyapa balik gadis itu. Ia melirik jam tangannya dan melanjutkan kalimatnya. "Udah nunggu lama?" tanyanya.
Jena mengangkat alis kanannya. "Emang lo janjian buat berangkat bareng sama kita berdua?" Ia bingung.
Jun melirik Jena sekilas. Kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Lo gak baca chat di grup berarti," balasnya. Ia menunjuk-nunjuk Jena. "Itu pasti karena lo chat mulu sama si Ketua OSIS itu."
Sedangkan Karina hanya terkekeh melihat interaksi keduanya.
Jena mengerjap. Kemudian ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Seingatnya semalam ia sudah tak fokus membaca chat-chat di grup itu, ditambah lagi memikirkan tentang sosok yang mirip Bayu itu. Jadi tentu saja ia tak tahu menahu tentang isi grup chat mereka.
"Ya udah, yuk berangkat." Karina tersenyum dengan cerah. Kemudian berjalan mendahului kedua temannya itu.
Jun yang pertama kali berjalan menyusul Karina. Kemudian mereka berakhir dengan bersejajar. Jena lalu menyusul kedua orang itu, dan berjalan di belakang mereka. Dari belakang, Jena bahkan dapat melihat bahwa Jun dan Karina sesekali mengobrolkan sesuatu. Meskipun lebih banyak yang berbicara itu Karina.
Jena mengernyit dahinya dalam-dalam. Ia baru saja melupakan sesuatu. Bahwa ada banyak hal yang terjadi kemarin sore dalam perjalanan pulang kedua orang di depannya itu. Yang pasti kini ia tahu bahwa Jun dan Karina makin dekat saja.
Namun, mengapa mendadak Jena merasa tak suka akan kenyataan itu?
Bukankah harusnya ia senang dengan fakta bahwa Jun dan Karina makin dekat, bukan sebaliknya. Ya, 'kan?
***
Begitu sampai di dalam kelas, Fina langsung menyambut ketiga temannya itu yang hari ini berangkat bersama. Namun Fina lebih mendahulukan untuk menyambut kedatangan Jena itu. Fina menarik Jena dengan semangat dan langsung memberondong gadis itu dengan berbagai pertanyaan.
"Gimana? Gimana kencan kemarin sama Pak Ketua OSIS? Lancar? Lo gak ngelakuin hal-hal aneh yang bikin doi ilfeel 'kan?" tanya gadis berambut hitam kecoklatan itu dalam sekali tarikan napas. Matanya mendelik antusias menunggu respon dari Jena.
Sedangkan gadis yang diberondong pertanyaan itu justru menguap lebar di tempat duduknya. "Apaan? Gue ngantuk."
Fina melunturkan senyumnya itu dan langsung menggeplak lengan Jena. "Lo ditanyain malah gitu! Gue udah doain lo tahu sejak semalam, berdoa supaya Bayu terbuka matanya lebar-lebar dan siapa tahu ada kesempatan jalan lainnya." Fina menjelaskan dengan menggebu.
Jena mengusap bekas geplakan Fina itu dengan malas. "Gue beneran ngantuk, Pin. Semalem gue gak bisa tidur." Ia menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya di atas meja. "Udah, jangan ganggu gue!"
Jena membuat gerakan mengusir Fina itu dengan tangannya. Kemudian gadis itu mulai memejamkan matanya. "Kalau udah ada guru, bangunin gue."
Fina memutar bola matanya jengah. "Ish! Ogah!" serunya di dekat telinga Jena. Kemudian melipat tangan di depan dadanya. "Gue lagi ikut seneng karena lo akhirnya bisa jalan berdua sama Bayu, eh malah lo-nya kek gitu."
Jena mengangguk-anggukkan kepalanya dalam diam. Ia masih memejam. "Iya nanti gue cerita pas istirahat."
"Udah gak penasaran kalau jam istirahat." Fina menggelengkan kepalanya. Kemudian membalik badannya untuk memandang Karina yang sejak tadi hanya tersenyum itu.
"Kalau lo gimana kemarin pulang bareng sama Jun?" tanya Fina dengan mata mengedip-ngedip. Ia ingin meledek Karina. Meskipun Karina masih belum sadar tentang Fina yang sudah mengetahui isi hatinya.
Sesuai dugaan, Karina mengernyit. Kemudian terkekeh. "Gimana apanya? Cuman pulang berdua doang. Kayak biasanya," jawab gadis itu.
Semburat merah menampakkan dirinya di pipi Karina, namun samar. Meski begitu, Fina dapat melihatnya dengan jelas. Ia tahu kalau Karina sedang malu sekarang.
"Cie, Karina," ledek Fina lagi. Ia menaik turunkan alisnya sembari tersenyum miring. "Gak apa-apa, pepet terus." Ia sengaja meledek Karina karena ekspresi gadis itu yang tampak lucu sekarang.
Karina mengeluarkan buku paketnya dalam diam, masih tersenyum malu-malu. Kemudian ia mengingat sesuatu tentang Jun kemarin. Gadis itu sekarang malu-malu menanyakan sesuatu pada Fina.
"Memangnya Jun sering dapet hadiah ya?" tanyanya.
Fina mengangguk sambil mengulum bibirnya. "Kenapa?"
Karina kini mengeluarkan sekotak coklat yang sejak kemarin tersimpan di tasnya. Bahkan belum ia makan satu pun. Rasanya sayang untuk memakan coklat pemberian Jun itu.
Mata Fina berbinar menatap kotak coklat itu. Kemudian dengan meenggebu ia bertanya. "Dari Jun?"
Karina menganggukkan kepalanya malu-malu. "Katanya dia dikasih sama adik kelas. Terus ini dikasih ke gue."
Senyum Fina sedikit luntur namun ia masih mempertahankan senyumnya. "Oh, iya. Jun memang sering dapet hadiah. Tapi kalau coklat kek gitu dia gak pernah kasih ke gue atau Jena. Pasti buat kakaknya." Ia menaikkan alisnya. "Makanya gue kaget ternyata lo yang dikasih coklat itu."
Karina melebarkan matanya. "Oh, ya? Kata Jun selama ini dia selalu kasih hadiah pemberian ke lo atau Jena."
Fina kini malah salah fokus pada jawaban yang Karina berikan itu. Artinya, Jun dan Karina banyak mengobrol kemarin.
"Kalian udah makin dekat semenjak pulang ke rumah bareng kemarin, ya?" tanyanya dengan nada menggoda.
Mendengar kalimat itu dari Fina, Karina langsung merona. Disentuhnya kedua belah pipinya itu yang sudah menghangat itu.
"Apa, sih, Pin." Karina terkekeh sambil menepuk pelan lengan Fina.
Berikutnya, bel pertanda berjalannya jam pelajaran pertama berdering berbarengan dengan guru Bahasa Inggris mereka memasuki kelas. Fina langsung membalik badannya kembali menghadap ke depan.
Namun ia terkejut oleh Jena yang sudah menegakkan tubuhnya itu.
"Eh, lo udah bangun?" tanya Fina bingung. Ia mengedik bahunya sembari masih bingung memandang Jena. Lalu fokus mengeluarkan buku tugas dan buku paketnya.
Sedangkan Jena hanya menggumam. Ia tersenyum kemudian ikut mengeluarkan buku-bukunya itu dari tasnya.
Sebenarnya, sejak tadi Jena mendengar obrolan antara Karina dan Fina itu. Ia tak jadi tidur karena suara kedua gadis itu sangat keras. Ditambah lagi Jena mendengar tentang kedekatan antara Karina dan Jun itu. Membuatnya mendadak kehilangan rasa kantuknya.
Jena tak tahu apa yang terjadi pada dirinya saat ini.
Mengapa ia sangat tak suka mendengar kedekatan Jun dan Karina itu?
"Apa gue ... barusan cemburu?" batin Jena bergejolak.
Dengan cepat Jena menggelengkan kepalanya kemudian menyelipkan rambutnya ke daun telinganya dengan kuat. Gadis itu berusaha menepis perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar ke hatinya.
Iya, harusnya ia fokus pada Bayu sekarang.
Bukan Jun.
Jelas-jelas Jun hanyalah sahabatnya sejak kecil. Tidak lebih dari itu.
***