Jena dan Bayu masih fokus menonton pementasan drama itu. Gadis itu sesekali memperhatikan hiasan dan interior panggung yang digunakan untuk melengkapi jalannya drama.
Jena kembali melihat adegan tiap adegan yang disajikan oleh pementasan drama Ekskul Teater itu. Dari mulai pengantar awal, kemudian pengenalan karakter tokoh masing-masing, hingga puncaknya pada saat konflik dimulai.
Suatu hari hiduplah sepasang suami istri di sebuah desa kecil. Sang suami yang bernama Udin itu merupakan seorang pekebun yang hanya memiliki sebidang tanah yang ia tanami dengan sayur mayur serta palawija di depan rumahnya. Sedangkan sang istri yaitu Minah, hanya ibu rumah tangga biasa. Mereka hidup sederhana dan hanya mengandalkan hasil dari kebun itu.
Suatu hari musim kemarau datang. Seluruh sungai dan irigasi mengering mengakibatkan kebun dan sawah ikut mengering. Seluruh penduduk desa kesusahan mencari air. Satu-satunya cara yaitu dengan menimba di sumur yang airnya hampir menyentuh dasar tanah itu.
Kebun dan sawah yang mulai mengering itu pun membuat seluruh tanaman yang tadinya hendak dipanen, menjadi gagal panen. Semua penduduk desa mulai kebingungan mencari pencaharian lain.
Namun anehnya, kebun milik Udin dan Minah itu masih tetap tumbuh subur. Bahkan kebun mereka dapat melanjutkan panen mereka. Banyak sayuran yang berhasil dipanen hingga membuat semua penduduk desa terheran-heran.
Pasalnya, dari seluruh kebun dan sawah milik warga desa itu, hanya kebun milik Udin lah yang tak terpengaruh oleh musim. Tanahnya tetap gembur dan subur.
Suatu hari orang Belanda mendengar kabar tentang kebun ajaib milik Udin dan Minah itu. Maka berbondong-bondong lah mereka menuju kebun tersebut untuk melihat dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka tak percaya jika belum melihat sama sekali. Dan benar saja, hanya kebun milik Udin lah yang dapat tetap panen. Tak terpengaruh oleh musim sama sekali.
Orang Belanda mulai menaruh rasa iri pada kebun milik Udin itu. Mereka kini berusaha membujuk Udin dan Minah untuk menjual tanah beserta kebun itu. Namun tetap saja Udin dan Minah tak pernah mau menjual tanah tersebut. Mereka bersikeras mempertahankan tanah tersebut. Tak terpengaruh oleh bujuk rayu penjajah Belanda itu.
Puncaknya, ketika para penjajah Belanda itu mulai tak segan-segan mencelakai keluarga Udin dan Minah. Mereka tak segan untuk membuat Udin dan Minah seolah tak betah di rumah sendiri. Bahkan sempat mereka hampir membakar kebun dan rumah Udin itu. Mencoba mengusir paksa Udin dan istrinya itu. Namun tetap saja para orang Belanda itu tak berhasil. Nyatanya Udin dan istrinya itu tetap bertahan di rumah mereka itu.
Suatu hari, ketika Udin sedang pergi jauh membeli kebutuhan untuk kebun mereka, penjajah Belanda itu datang ke rumah mereka. Hari itu hanya ada Minah di rumah mereka, dan hal itu yang membuat penjajah Belanda itu leluasa menyelakai Minah. Namun Minah tetap bertahan hidup dengan susah payah.
Tetangga mereka tak dapat berbuat apa-apa. Tentu saja bagi penduduk desa yang lemah seperti mereka, tak bisa melawan para orang Belanda yang bertubuh besar dengan berbekal senjata itu. Jadi berakhir lah mereka menjadi penonton saja.
Udin yang hari itu pulang membawa banyak perlengkapan kebun mereka, terkejut melihat istrinya telah tak berdaya dan hampir terenggut nyawanya itu. Berbekal tubuhnya yang kecil jika dibandingkan tubuh orang Belanda itu, ia mencoba untuk melawan. Namun akhirnya ia tak berhasil.
Mungkin hari itu hari malangnya. Kedua suami istri itu tak berdaya dan hampir terenggut nyawanya begitu saja.
Jena dan semua penonton wanita yang ada di dalam aula pementasan drama itu bahkan sejak tadi meneteskan airmatanya melihat bagaimana perjuangan sepasang suami istri itu. Namun Jena lah yang paling kencang menangis. Entah mengapa ia menjadi terbawa emosi seperti itu. Bayu bahkan sejak tadi memberinya tisu, mencoba menenangkan Jena yang masih menangis itu.
Ternyata akting si pemeran utama pria dan wanita dalam pementasan drama kali ini benar-benar sangat bagus. Tak main-main dalam menuangkan semua emosinya. Buktinya hampir seluruh penonton di dalam aula itu terbawa suasana. Dan rata-rata sudah menangis seiring tangis sepasang suami istri itu.
Jena menyedot ingusnya, dan kembali fokus menonton. Di sampingnya, Bayu hanya terkekeh memandang gadis itu yang tampak menggemaskan sekarang. Mendengar kekehan Bayu itu, Jena sontak menoleh.
"Gue cengeng banget, ya," ucap Jena menatap Bayu dari samping. Ia menyedot ingusnya sekali lagi sembari mengucapkan kalimat itu.
Bayu menggeleng masih terkekeh. "Enggak, kok. Lo gak cengeng, tapi terbawa suasana aja," balas cowok itu.
Jena mengelap airmatanya dengan tisu di tangannya sebelum akhirnya kembali fokus menonton. Diikuti oleh Bayu yang kembali fokus menonton pula.
Kini adegan k*****s mulai ditampilkan. Para penjajah Belanda itu mulai bertambah marah tatkala Udin dan Minah itu masih bersikeras mempertahankan tanah dan kebun mereka itu. Sepasang suami istri itu bahkan tampak tak takut mati. Mereka masih tak gentar menantang para penjajah Belanda itu bahkan meski dengan banyak luka lebam di wajah.
Pada akhirnya, saking marahnya dan dengan pikiran kalut, para penjajah Belanda itu mulai mengeluarkan senjata mereka dan mengarahkan pada pasangan suami istri itu. Senjata itu yaitu senapan laras panjang yang jika pelatuknya ditarik sekali saja dapat langsung membunuh orang itu di tempat.
Jena dan seluruh penonton yang ada di dalam aula besar itu mulai menahan napas masing-masing. Dalam hati, mereka berdoa agar ada pahlawan atau siapapun yang dapat menyelamatkan sepasang suami istri malang itu. Namun sayangnya tak ada apapun yang terjadi.
Hingga akhirnya penjajah Belanda itu menembakkan senjata itu tepat ke arah kepala dan d**a Udin serta Minah itu. Suami istri itu akhirnya jatuh tak berdaya, tergeletak begitu saja di atas tanah yang mereka pertahankan itu.
Tak ada yang tahu, bahwa Jena sejak tadi membelalak lebar begitu peluru mengarah tepat ke kepala Udin dan d**a Minah itu. Gadis itu mendadak mencelos. Darahnya berdesir dan jantungnya berdegup dengan cepat. Bahkan airmatanya tak berhenti menetes, dan kian deras.
Jena menarik napas kuat-kuat. Mengapa saat melihat Minah ditembak itu ia merasa seperti peluru itu tepat menghujam ke jantungnya?
Jena bagai merasakan dejavu.
Jena kini menyentuh d**a kirinya, masih terasa degupnya yang sangat kencang dari balik seragamnya. Gadis itu tiba-tiba merasa bagai jantungnya yang tadi ditembak itu. Namun anehnya, kali ini ia tak merasakan kesakitan apapun.
Ketika Jena masih mencerna apa yang baru saja terjadi, semua orang di dekatnya bertepuk tangan dengan kencang. Mereka bahkan berdiri yang menandakan bahwa pementasan dramanya berjalan baik dan bagus. Mereka puas akan berjalannya pementasan drama. Ternyata Jena tak sadar bahwa sekarang pementasan drama itu sudah berakhir.
Lampu di dalam aula mulai dinyalakan kembali hingga terang benderang. Seluruh orang di dalam aula itu mulai bersiap meninggalkan aula. Kemudian satu per satu mulai beranjak pergi dari aula itu.
Bayu menoleh pada Jena di sampingnya itu. Cowok itu melihat ekspresi Jena yang mendadak pias, tampak terkejut menatap panggung yang sudah ditutupi tirai merah itu. Namun Bayu tak tahu karena apa. Sontak cowok itu mendadak khawatir.
"Jen?" Bayu menyentuh pundak gadis berambut panjang di sampingnya itu.
Jena menoleh pelan. Ia menatap Bayu masih dengan matanya yang memerah itu. "Heum?" gumamnya.
Bayu makin khawatir. "Lo kenapa? Kok pucat gitu?" tanyanya. Ia menyentuh pundak Jena lagi.
Jena menggeleng pelan. Ia baru sadar kalau dirinya ternyata tampak mengkhawatirkan di mata Bayu saat ini. Dengan cepat ia tersenyum.
"Gak apa-apa, kok." Ia berbohong untuk menutupi rasa terkejutnya itu.
Kini gadis itu mendongak lagi dan memperhatikan sekitarnya yang mulai sepi karena semua orang di dekatnya sudah beranjak meninggalkan aula.
Kemudian ia beralih kembali menatap Bayu. "Yuk, kita ke luar juga," sambung Jena lagi mencoba tersenyum lebih lebar.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Jena bangkit dari duduknya. Gadis itu membenarkan posisi tasnya dan mulai melangkah mendahului Bayu. Jena melangkah menyusuri tribun itu disusul Bayu di belakangnya.
"Jen, tunggu." Bayu menahan lengan Jena. Cowok itu masih menatap Jena dengan khawatir. "Lo yakin lo gak apa-apa?"
Jena mengangguk dengan cepat. Ia tersenyum lebih lebar lagi. Berpura-pura seperti Jena yang biasanya. "Gak apa-apa." Gadis itu meremas tali tasnya. "Mungkin gue sempat terbawa suasana tadi. Masih belum terima kalau Udin dan Minah itu meninggal." Ia mencoba mencari alibi.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini merasa lega setelah mendengar jawaban Jena. "Oh gitu. Oke."
Bayu mulai melepas tangannya yang sedari tadi memegang lengan Jena itu. Lalu sembari tersenyum ia mengucap, "Ya udah, yuk balik. Udah malem."
Jena mengangguk dan mengikuti langkah Bayu. Gadis itu berjalan sembari menunduk memandang lantai aula yang putih itu. Ia mendadak terpikirkan apa yang baru saja terjadi.
"Gue baru pertama kali nonton pementasan drama ekskul Teater mereka, tapi udah langsung terkesan." Bayu yang berjalan di depan Jena itu memulai topik pembicaraan.
Cowok itu tersenyum pelan mengingat-ingat adegan demi adegan yang membuatnya terkesan itu. "Gak nyangka akting mereka benar-benar keren. Gue seolah lagi nonton kisah nyata. Padahal itu 'kan fiksi."
Mereka kini berjalan di koridor yang mengarah ke parkiran. Gedung aula pementasan drama itu mulai sepi, sehingga sedari tadi Jena hanya melihat beberapa orang saja.
Gadis itu kini mulai mendongak menatap Bayu yang masih berjalan di depannya itu.
"Iya, fiksi ya. Tapi kenapa gue ngerasa kayak kisah nyata, ya." Jena mengangguk menyetujui.
Bayu kini menghentikan langkahnya, dan membalik badannya. Ia tersenyum memandang Jena yang kembali menatap lantai. "Menurut lo gimana pementasan drama tadi? Bagus, 'kan?" tanyanya.
Mendengar pertanyaan Bayu itu, Jena sontak menjawab sembari mendongak kembali. Namun sebelum ia benar-benar menyelesaikan jawabannya untuk Bayu, ucapannya terpotong.
"Bagus-"
Jena membelalakkan matanya lebar. Gadis itu melihat Bayu yang ada di hadapannya itu berubah menjadi sosok lain. Bayu yang ia lihat mengenakan pakaian khas bangsawan Jawa dulu, semasa penjajahan Belanda. Bahkan Bayu mengenakan blangkon juga. Yang membuat Jena makin melebarkan matanya yaitu Bayu mendadak memiliki kumis tebal di wajahnya.
"Bay- Lo-"
Jena mengerjapkan matanya berulang kali memastikan penglihatannya sekarang. Namun tetap saja sosok itu tak hilang. Bayu dalam wujud lain.
Kejadiannya sama persis sewaktu ia melihat Jun dalam sosok lain hari itu.
"Jen? Jena?"
Bayu mengibaskan tangannya di depan wajah Jena. Apalagi saat gadis itu tampak terkejut tanpa ada alasan yang jelas.
"Kenapa?" tanya cowok itu lagi.
Jena menggelengkan kepalanya dengan cepat, dan kini seiring gelengan kepalanya, sosok itu menghilang. Yang ada hanya Bayu yang biasa ia lihat itu. Tak seperti ketika ia melihat sosok Jun dari masa lalu, kini ia merasa jantungnya baik-baik saja. Tanpa rasa sakit apapun.
"Oh?" Jena mengerjap. Ia menggeleng berulang kali. Meski ia masih bingung, namun ia dapat tetap menjawab pertanyaan Bayu.
"Gue gak apa-apa, Bay," sahutnya cepat.
Bayu masih bingung menatap Jena. "Lo aneh dari tadi. Yakin gak apa-apa?"
Jena dengan cepat mengangguk. "Iya, gak apa-apa." Ia menoleh ke kanan dan kirinya dengan bingung, lalu kembali menatap Bayu. "Yuk, balik. Udah malem."
Setelah mengucap kalimat itu, Jena melangkah dengan cepat menuju parkiran diikuti Bayu di belakangnya.
Namun, seiring langkah kaki Jena itu, pikirannya kian mengarah ke mana-mana. Terutama pada sosok yang tadi dilihatnya itu. Ia bertanya-tanya dalam hati siapa sosok yang baru saja dilihatnya.
Mengapa bisa ada sosok lain yang menyerupai Bayu juga?
"Barusan ... gue lihat siapa?" batinnya.
***