39- Di Jalan Menuju Ke Rumah

1375 Kata
Jalan dari sekolah menuju rumah Karina dan Jun cukup sepi sore ini. Hanya sesekali ada motor atau kendaraan lainnya yang melintas di depan mereka. Hawanya teduh dan menenangkan, tak panas dan tak dingin. Jun berjalan pelan dengan sebelah tangannya yang masuk ke dalam saku celananya. Di sampingnya, Karina juga berjalan dalam diamnya. Gadis itu meremas tali tasnya menyalurkan kegugupannya. Rasanya berjalan hanya berdua saja dengan Jun membuatnya gugup seketika. Kecanggungan melanda mereka berdua. Sebenarnya Karina ingin memulai topik pembicaraan terlebih dahulu semenjak tadi. Namun ia bingung untuk memulai topik obrolan itu. Hingga akhirnya memilih hanya terdiam saja. Jadi berakhirlah mereka dengan hanya suara angin yang berhembus di sekitar mereka. Saat Karina masih sibuk dengan pikirannya itu, Jun tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Hal itu membuat Karina ikut menghentikan langkah kakinya. Karina membalik badannya menatap Jun yang masih berdiri di belakangnya itu dengan tanda tanya. "Ada apa?" tanya Karina dengan sorot bingungnya. Jun hanya terdiam, kemudian selang detik berikutnya, cowok itu menepuk dahinya pelan. "Oh iya!" serunya tiba-tiba. Karina mengerut dahi lebih dalam. Ia kebingungan menatap cowok bertubuh tinggi semampai itu. Apalagi saat ia melihat Jun kini mulai membawa tas ranselnya ke depan dadanya, kemudian membuka tasnya dengan segera. Jun tampak sedang mencari sesuatu dari dalam tasnya. Karina tak ingin mati penasaran lagi. Gadis itu putuskan untuk melangkah mendekati Jun dan bertanya sekali lagi pada cowok itu. "Ada apa, Jun? Ada yang ketinggalan?" tanyanya. Ia memandangi wajah Jun yang tampak masih mencari sesuatu itu. Jun menaikkan bola matanya ke atas seolah fokus terus mencari benda yang ia maksud itu. Setelah ia menemukan benda itu, Jun kemudian tersenyum misterius sembari memandang Karina. "Nih," ucap cowok itu seraya mengeluarkan benda yang dimaksud dan memberikannya pada Karina. Karina mengangkat alisnya menatap benda tersebut. Benda tersebut adalah sebuah kotak berukuran sedang dengan pita di atasnya. Dari merek yang tertulis di atasnya itu, Karina dapat menyimpulkan bahwa isi di dalam kotak itu adalah coklat. Gadis itu sontak tersenyum sumringah. "Ini ... buat gue?" tanyanya sangsi. Masih tak menyangka bahwa Jun akan memberikan sekotak coklat itu padanya. Jun tersenyum singkat saat mengangguk. "Iya. Buat lo." Karina masih tak menyangka bahwa Jun memberikannya kotak itu. Gadis itu masih tersenyum sumringah. "Makasih," ucapnya. Jun hanya mengedik bahu. "Gue dapet dari adik kelas tadi siang. Terus mau gue kasih ke Jena tadi lupa. Ya udah deh buat lo aja, ya, dimakan." Cowok itu menyengir. "Lagipula Jena udah bosen makan begituan." Sedangkan Karina hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyum yang tadi sangat lebar dan kelewat sumringah, kini mendadak mulai luntur. Harusnya ia tahu kalau Jun tak mungkin tiba-tiba memberinya sekotak coklat seperti sekarang ini. Harusnya ia tahu kalau ada Jena yang akan Jun prioritaskan menjadi penerima coklat itu. Tidak seperti dirinya yang mendadak menjadi pilihan terakhir. Dan ... harusnya ia tak boleh terlalu percaya diri serta berharap lebih pada Jun. Karina tersenyum memandang sekotak coklat di tangannya itu. Kemudian gadis itu melihat Jun yang sudah berjalan terlebih dahulu di depannya. Hingga akhirnya cowok itu membalik badan untuk bertanya padanya. "Kenapa?" Jun mengangkat alisnya. "Yuk lanjut jalan," sambung cowok itu tersenyum lagi. Karina mengangguk dan mengikuti Jun di depannya itu. Gadis itu sedikit berlari menyusul Jun. "Tungguin gue!" Meski sedikit sedih, namun Karina tak bisa tak mengumbar senyumnya. Jadi setelah menyimpan sekotak coklat itu ke dalam tasnya, gadis itu memulai percakapannya. "Lo emang sering dapet hadiah kayak gitu?" tanyanya penasaran. Sebenarnya pertanyaan itu hanya basa-basi karena Karina sudah tahu jawabannya. Jun mengangguk. "Iya. Gue selalu dapet hadiah kayak gitu sejak kelas sepuluh," ucapnya melirik Karina yang menatapnya. Karina lagi-lagi hanya mengangguk. "Terus selalu lo kasih ke Jena?" tanyanya lagi. Ia masih penasaran dengan hubungan kedua orang itu. Jun kali ini tak hanya meliriknya, namun menatapnya. "Iya. Kalau makanan manis kayak gitu selalu gue kasih ke Jena atau Fina. Tapi kalau hadiahnya berupa barang-barang yang bisa gue gunakan, pasti buat gue sendiri, dong," jelas cowok itu. "Lo gak suka makanan manis?" Karina sedikit menyerempet pada kesukaan cowok di sampingnya itu. Ia makin penasaran. Jun lagi-lagi mengangguk. "Iya. Sejak kecil gak suka makanan manis," jawabnya. "Tapi kalau dikasih, gue terima kok, gak gue buang. Kasihan aja sama orang yang udah repot-repot bawain kado itu." Karina terkekeh. "Gak lo buang tapi kasih ke Jena sama Fina. Sama aja 'kan?" Jun mengerjap. Kemudian bahwa perkataan Karina ada benarnya. Namun tetap saja ia mengelak. "Beda dong. Kalau gue buang itu ke tempat sampah, mubazir nanti. Kalau dikasih ke Jena atau Fina pasti selalu habis mereka makan. Gak mubazir." Cowok itu terkekeh. Karina terkekeh lagi mendengar jawaban Jun. "Pinter banget kalau ngeles." "Oh, lo lupa kalau gue ini ranking satu di kelas?" Jun membanggakan dirinya sambil tersenyum. Karina menggeleng. "Jun ... Jun ..." "Kenapa? Bener, 'kan?" Jun masih terkekeh. Cowok itu kini menunduk dan memandang dedaunan kering, sesekali ia injak daun-daun itu dengan iseng. Karina ikut menunduk menatap aspal. "Bener." Menjadi seorang Jun itu memang menyenangkan. Cowok itu mendapatkan banyak hadiah bahkan makanan yang tak ia minta. Bahkan tanpa perlu bersusah payah, ia sudah terlahir dengan wajah tampannya dan otak cerdasnya. Ditambah lagi cowok itu tak dingin bahkan tak sungkan untuk menyapa orang lain terlebih dahulu, benar-benar ramah. Sungguh beruntung siapapun gadis yang Jun sukai itu. Karina kini mendongak, ia menatap Jun lagi dari samping. Tiba-tiba ia terpikirkan sebuah pertanyaan yang mendadak membuatnya penasaran. "Terus ... lo pernah ditembak sama salah satu cewek yang kasih lo hadiah-hadiah itu, gak?" Jun melirik Karina dari sudut matanya. "Maksud lo ... cewek yang nyatain perasaannya ke gue, gitu?" tanya cowok itu balik bertanya. Karina mengangguk. "Iya." Ia menanti respon Jun selanjutnya. "Ada?" tanyanya lagi. Jujur ia makin penasaran. Jun kini menghentikan langkah kakinya, membuat Karina tak sadar ikut menghentikan langkahnya. Cowok itu menatap Karina sembari berujar, "Bukannya dengan mereka kasih gue hadiah seperti itu, artinya mereka lagi nyatain perasaannya ke gue?" Karina mengerjap. Bibirnya membulat ingin mengucapkan sesuatu, namun tak jadi. Ia bingung menanggapinya. "Cewek-cewek itu kelihatan kalau lagi nyatain perasaan mereka ke gue," sambung Jun. Ia menatap Karina dengan serius. Jun kini melangkahkan satu kakinya ke depan, dan mulai mengikis jaraknya dengan Karina. Gadis di depannya itu lebih tinggi dari Jena sehingga Jun tak perlu menunduk terlalu jauh, bahkan Karina termasuk jajaran gadis tinggi di kelasnya. Jun menatap Karina dengan serius. Kemudian menarik sudut bibirnya sambil memperhatikan ekspresi wajah Karina. Karina mengerjapkan matanya berulang kali, tampak gugup karena tiba-tiba Jun memajukan tubuhnya. Jika ada cermin, mungkin ia sudah melihat wajahnya mendadak merona sekarang. Jun masih menarik sudut bibirnya saat melanjutkan kalimatnya. "Gue ... tahu dari tatapan cewek kalau cewek itu sedang nyatain perasaannya ke gue." "Apa?" Karina mengerjap berulang kali. "Iya, gue bilang kalau gue tahu cewek yang lagi suka sama gue dari tatapan matanya. Cewek itu selalu mandang cowok yang dia sukai dengan cara yang berbeda. Dan ... gue bisa tahu itu." Jun tersenyum dengan sorot mata serius. Karina membelalakkan matanya. "Apa? Lo ... lo tahu?" Gadis itu terbata. Apa Jun juga tahu kalau ia menyukai cowok itu? Secepat itukah? Jun masih tersenyum dengan sorot seriusnya itu hingga akhirnya cowok itu terkekeh. Jun memundurkan tubuhnya sembari tertawa keras-keras. "Lo serius banget!" seru cowok itu masih tertawa. Karina mengerjapkan matanya. Ia berusaha mencerna apa yang barusan terjadi padanya. Apa Jun baru saja mengerjainya? "Gue bercanda!" Jun masih tertawa. Kemudian ia menepuk perutnya yang mendadak sakit. "Aduh, perut gue sampai sakit." Karina kini sadar sepenuhnya. Dengan cepat ia mendelik pada Jun. "Lo barusan ngerjain gue?" Jun mengangguk berulang kali. "Lagian lo tanyanya gitu amat." Ia mengusap sudut matanya yang mendadak berair itu. "Mana ada gue tahu mereka tahu sama gue atau enggak," ucapnya. Ia melanjutkan langkahnya sambil membalik badannya. "Mungkin aja mereka lagi beramal kasih gue hadiah." Kemudian setelah mengucapkan kalimat itu, cowok itu melangkah kembali untuk menyambung perjalanannya menuju rumahnya. "Udah, yuk. Buruan, gue udah laper." Karina kini ikut terkekeh. Ia ikut tertawa bersama Jun di depannya. Gadis itu memandang punggung Jun itu. Diam-diam Karina dapat kembali bernapas dengan lega setelah sedari tadi menahan napasnya itu. Ia tadi sangat takut kalau Jun sampai tahu tentang perasaannya. Mau ditaruh di mana mukanya itu. Syukurlah Jun tak benar-benar mengetahui tentang perasaannya itu. Karina kini dapat kembali tersenyum lebar. "Tungguin gue!" Sore itu Karina tersenyum lebar, bahkan jauh lebih lebar dari biasanya. Gadis itu rasanya ingin terus seperti ini. Yaitu pulang ke rumah hanya berdua dengan Jun saja. Tanpa Jena. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN