Jena menyantap sarapannya dalam diam. Di depannya ada Mamanya dan Papanya yang juga diam menyantap sarapan. Mamanya sibuk memakan roti selainya dalam diam, sedangkan Papanya sibuk memantau pekerjaan lewat ponselnya sepagi ini sambil sesekali mengunyah.
Pemandangan yang sangat biasa di mata Jena. Bagaimana pagi harinya memang dimulai dengan pemandangan seperti itu.
Jena kini menelan rotinya sebelum meneguk susunya. Gadis itu sesekali melirik ke arah luar ruang makan. Ia mengecek barangkali ada yang melintas, namun tak ada siapapun yang melintas. Sangat mustahil jika Jena mengharapkan Neneknya berjalan seorang diri ke arah dapur.
Karena dilanda rasa penasaran. Akhirnya Jena memberanikan diri untuk bertanya.
"Nenek gak makan sarapannya, Ma?" tanyanya menatap Mamanya.
Marlina yang sedari tadi menunduk, kini mengangkat kepalanya untuk memandang putrinya itu. Ia meminum s**u sebelum menjawab, "Kamu mau bawain makanan Nenek ke kamarnya?"
Marlina tak menunggu respon Jena lagi, wanita itu segera bangkit dan mengambil bubur yang biasa ia siapkan ibunya itu. Ia menyiapkan nampan yang di dalamnya ada sebuah mangkuk berisi bubur hangat kemudian segelas teh tawar yang hangat pula. Tanpa menunggu lagi, segera ia sodorkan nampan itu ke hadapan Jena.
"Ini, tolong kamu anterin ke kamar Nenek." Marlina menyuruh anak gadisnya itu. Ia tersenyum lebar. "Suapin Nenek kamu, ya."
Jena mengerjap. Ia belum mengatakan apapun, bahkan hanya mengucapkan kalimat tanya itu, dan sekarang Mamanya itu langsung menyuruhnya begitu saja. Jena menurunkan sendok yang tadi sempat diemutnya. Ia melirik jam tangannya, dan menyadari bahwa ia masih memiliki banyak waktu.
"Oke, Ma. Jena suapin Nenek dulu," ucap gadis itu. Ia mengangguk seraya mengumbar senyumannya.
Gadis itu segera beranjak dari duduknya dan mengambil nampan berisi makanan dan minuman untuk sang Nenek itu. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar Neneknya dengan perlahan. Menjaga keseimbangan agar isi dalam nampan itu tak jatuh.
Begitu sampai di depan kamar Neneknya, Jena mengetuk pelan sebelum akhirnya mendorong pintu itu. Pintu kamar Neneknya selalu mudah terbuka hanya dengan satu dorongan saja, memudahkan siapapun masuk ke dalam.
"Nek ... Jena bawain makan."
Jena perlahan memasuki kamar Neneknya. Kemudian dengan cepat mendekati ranjang Neneknya. Sang Nenek tengah berbaring membelakangi pintu. Dengan cepat Jena meletakkan nampan yang ia bawa itu ke atas nakas di samping ranjang.
"Nek, bangun." Jena menepuk pelan lengan Neneknya.
Dan tanpa menunggu lama, Neneknya itu membuka mata. Wanita renta itu tersenyum tipis, lalu beranjak bangun dengan bantuan Jena yang menyokong tubuhnya.
"Terima kasih, Andjani," ucapnya.
Nawang, Nenek Jena itu tersenyum saat Jena mendudukkannya agar bersandar ke kepala ranjang.
Jena mengerjap kecil begitu mendengar nama itu dipanggil oleh Neneknya lagi. Ia hendak menanyakan lebih lanjut, namun tak ingin membuat Neneknya merasa terbebani lagi. Jena merasa sudah cukup karena ulahnya terakhir kali itu yang membuat Neneknya mendadak mengingat masa lalu.
Jadi, setelah tersenyum, Jena menggeleng pelan untuk menepis pikiran itu. Segera ia mendudukkan dirinya di samping tubuh Neneknya.
"Nek, Jena suapin, ya," ucap Jena lagi seraya tersenyum.
Gadis itu segera mengambil mangkuk berisi bubur untuk Neneknya itu dan mulai menyendokkan satu suap untuk neneknya.
"Ini, Nek. Buka mulutnya, aaa ..."
Nawang tersenyum pelan, lalu membuka mulutnya, membiarkan bubur hangat itu mengaliri rongga mulutnya. Ia mengunyah perlahan.
Lalu terus menatap Jena di depannya. Cucunya itu tumbuh sangat cantik hingga ia merasa pangling. Kecantikan itu yang mengingatkannya akan seseorang.
"Andjani ..." Nawang menyebut nama sosok yang diingatnya itu.
Jena mendongak, ia baru menyadari jika Neneknya itu sedari tadi memandanginya.
"Kenapa kamu bisa sangat mirip dengan Andjani?" Nawang bertanya pada dirinya sendiri. Tanpa tahu sudah membuat Jena makin dibuatnya penasaran.
Namun Jena hanya terdiam. Hingga Nawang kembali bersuara.
"Andjani ... apa kamu terlahir kembali?"
Mata Jena mengerjap pelan mendengar pertanyaan Neneknya yang aneh itu. Ia kini tak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Ia harus bertanya lebih lanjut.
"Andjani ... terlahir kembali?" tanya Jena dengan lirih.
Takut-takut ia menunggu respon neneknya. Namun neneknya itu hanya tersenyum.
Jena kini menyadari sesuatu, bahwa Neneknya tak akan menangis atau bahkan menjerit seperti biasanya.
Tanpa diduga, Nawang mengangguk.
"Em. Pasti Andjani terlahir kembali menjadi kamu," ucapnya lagi.
Kemudian tangan Nawang terangkat menyentuh dahi Jena itu. Menyisiri rambut panjang Jena itu dengan lembut.
"Syukurlah kamu terlahir kembali."
Jena tak mengerti apa yang dikatakan neneknya sekarang ini, namun ia hanya diam, tetap membiarkan neneknya berbicara lagi.
"Tapi tunggu dulu!" seru Nawang tiba- tiba.
Jena terkejut mendengar seruan neneknya itu yang mendadak bergema di telinganya. Tanpa ia sangka, neneknya akan berseru yang membuatnya terkejut seperti itu. Bahkan neneknya mulai melebarkan pupil matanya yang sudah mengecil dimakan usia itu.
Jena makin penasaran sekarang. Agaknya apa sebenarnya yang hendak dikatakan neneknya padanya itu?
Nawang tiba-tiba menggenggam tangan Jena yang masih memegang sendok itu. Hal itu membuat sendok di tangan Jena itu terlempar hingga menimbulkan bunyi keras. Jena semakin terkejut.
Sebenarnya ia takut saat ini, namun ia tak bisa kabur ke mana-mana ketika neneknya menggenggam tangannya dengan sangat erat. Lagipula ia pun penasaran dengan kelanjutan kalimat neneknya.
"Andjani ... yang terlahir kembali ... bukan hanya kamu saja. Tetapi juga pembunuh itu." Nawang mendelik lebar sambil menarik Jena agar mendekat ke arahnya. Ia menatap lekat-lekat mata Jena.
Jena terkejut untuk ke sekian kalinya mendengar kalimat dari neneknya itu. "Maksud Nenek? Siapa ... pembunuh itu?" tanya Jena.
Nawang menggeleng kuat-kuat. "Kalau ada pembunuh itu, lebih baik kamu pergi! Lari!" serunya dengan keras. Ia menggenggam tangan Jena kian erat, hingga kuku-kukunya menyentuh kulit Jena, menimbulkan goresan kecil.
Jena tak mengerti. Ia makin penasaran meskipun kini merasakan perih menjalar ke tangannya.
"Siapa, Nek? Siapa pembunuh itu?" tanyanya lagi.
Nawang kini mulai meregangkan genggaman tangannya pada Jena. "Tetapi tenang saja, dia juga terlahir kembali untuk melindungimu." Ia tersenyum pada Jena. Lalu melihat tangan Jena yang tampak memerah itu, dan segera menyentuh bekas goresan kukunya.
"Maaf. Pasti sakit, ya?" tanya Nawang dengan raut khawatir.
Jena memundurkan tubuhnya. Ia tarik tangannya sendiri dari genggaman neneknya itu. Napas Jena mendadak memburu. Ia mengerjap berulang kali lalu menyadari bahwa jantungnya kini berdegup begitu cepat.
Jena tak mengerti apa yang telah ia dengar barusan adalah kenyataan atau bukan. Namun ia mengerti mengapa Neneknya tak menjawab semua pertanyaannya, karena neneknya itu tadi tak sadar akan apa yang telah ia katakan. Pasti semua perkataan yang tadi neneknya ucapkan itu hanyalah bagian dari halusinasinya seperti biasa.
Iya. Pasti yang baru saja neneknya katakan tadi itu hanya bagian dari halusinasinya.
Jena berusaha meyakinkan dirinya sekarang. Tak ingin memusingkan dirinya terlalu jauh.
Ia segera ke luar dari kamar neneknya. Bergegas kembali ke ruang makan, dan mengambil tasnya.
"Loh, Nenek kamu udah disuapin?"
Marlina terkejut melihat Jena yang terburu mengambil tasnya itu.
Jena mengabaikan pertanyaan mamanya itu. "Udah telat. Jena berangkat dulu, Ma, Pa," ucapnya terburu.
Gadis itu segera melangkah meninggalkan ruang makan. Langkahnya melaju cepat menuju ruang tamu hingga berakhir di depan pintu rumahnya. Jena berjalan cepat hingga tak menyadari bahwa mamanya sedari tadi memanggil namanya.
Pikiran gadis itu kalut.
Ia mendadak bingung melangkah, sampai akhirnya berpapasan dengan Jun yang berjalan ke arah rumahnya.
"Jen?"
Jun menarik tangan Jena agar gadis itu berhenti melangkah. Susah payah ia menghentikan langkah Jena yang tengah kalut itu.
"Jen, lo kenapa?" tanya Jun dengan panik. Cowok itu menangkap kedua bahu Jena kemudian menyuruhnya untuk menatap matanya.
Jena sontak mendongak menatap mata Jun. Lalu sambil bergetar, ia mengucapkan kalimat yang membuat Jun ikut terkejut.
"Jun ... gue takut ..."
"Takut? Takut kenapa?"
"Jun ... gue takut ... kalau gue ini reinkarnasi seseorang dari masa lalu."
Mata Jun melebar. "Apa?"
***