Jun lagi-lagi bermimpi semalam. Meski samar, namun cowok itu masih dapat melihat bagaimana mimpinya itu terjadi. Lagi-lagi mimpi yang sama dengan mimpi aneh yang tempo hari hadir padanya. Jun bingung apa yang terjadi padanya, namun ia jelas-jelas ingat betul bagaimana mimpi itu sama persis. Ia merasa dejavu ketika mimpi itu hadir lagi tadi malam.
Lagi dan lagi dalam mimpinya ia melihat tanah hitam yang sudah dipenuhi oleh banyak darah yang seolah mengubah warna hitam tanah itu menjadi merah pekat. Pun ada dua sosok yang telah tergeletak tak berdaya di atas tanah itu. Kedua sosok itu bersimbah darah yang merah pekat, mengubah warna bajunya menjadi merah pula.
Jun juga ingat bahwa dua sosok itu adalah sepasang pemuda dan wanita. Namun ia tak mengenali sosok wanita dalam mimpinya itu. Bahkan untuk mengingat mimpi itu kembali, membuat cowok itu begitu merinding. Saking menakutkannya.
Hal lain yang membuatnya lebih merinding lagi yaitu, bahwa sosok pemuda yang ia lihat dalam mimpinya tadi malam adalah dirinya sendiri.
"Apa itu mimpi tentang bagaimana gue meninggal nanti, ya?"
Jun bertanya sendiri di tengah jalan yang sepi. Cowok itu menunduk, memandang aspal jalanan yang akan mengantarnya menuju rumah Jena.
Ya, seperti biasa cowok itu akan menjemput Jena untuk berangkat bersama ke sekolah. Seperti biasa pula, ia harus melawan arah, karena seharusnya ia tak perlu menjemput Jena terlebih dahulu. Seharusnya Jena lah yang menyamper ke rumah Jun karena arah rumah Jun yang sama dengan jalan menuju ke sekolah mereka.
Jun kini mendongak, menatap langit pagi yang agak mendung pagi ini. Beruntung ia membawa payung lipatnya, sehingga bagaimanapun cuacanya, ia selalu siap dengan payung yang ia miliki. Payung itu tak ia gunakan untuk dirinya saja, namun juga ia gunakan untuk melindungi Jena, karena gadis itu paling malas membawa payungnya sendiri.
"Tapi kalau gue ingat-ingat ... di mimpi itu suasananya masih asri. Banyak juga rumah-rumah jadul kayak yang sering gue lihat di buku sejarah masa penjajahan." Jun masih menggumam seorang diri.
Ia menurut pada kakinya yang membawanya menyisiri jalanan. Meskipun ia tak sadar kakinya akan membawanya ke mana. Tetapi yang pasti yaitu ... menuju rumah Jena.
"Pakaian yang orang itu pakai dalam mimpi gue semalam ... juga kelihatan seperti pakaian masa penjajahan dulu," gumam Jun lagi. Lalu ia meraba dagunya pelan. "Aneh. Gue ngerasa seumur-umur baru mimpi aneh kayak gitu," sambungnya seraya mendecak kesal.
Cowok itu sesekali menginjak dan menendang dedaunan kering yang tergeletak di jalanan. Ia sengaja melakukan hal itu untuk mengalihkan pikirannya. Namun tak jua bisa.
Ia masih terpikirkan mimpi semalam yang sangat aneh itu. Memang benar, dalam mimpi itu, Jun melihat dirinya sendiri telah meninggal dunia dengan bersimbah darah yang sangat banyak. Meski samar, namun Jun dapat ingat betul bahwa dalam mimpinya itu ia mengenakan pakaian batik tradisional, yang bahkan coraknya tak pernah ia jumpai di manapun sekarang. Menandakan bahwa batik itu adalah model lama yang bahkan telah lama tak diproduksi di masa sekarang.
Benar-benar mimpi yang sangat aneh.
Namun yang terus ia pikirkan sekarang yaitu bagaimana bisa ia memimpikan hal itu setelah tujuh belas tahun hidupnya? Pun ia penasaran siapa wanita yang tergeletak bersimbah darah pula yang jaraknya tak jauh darinya?
Jun masih memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang ia pikirkan tentang mimpi anehnya tadi malam, ketika ia melihat Jena yang berjalan menuju arahnya sekarang. Jena berjalan terburu, tak memperhatikan jalan. Bahkan gadis itu tak mendengar bahwa Marlina memanggil-manggil namanya sedari tadi.
Jun mengangkat alisnya bingung. Cowok itu mengerjap bingung, apalagi ketika Jena mulai melangkah menuju arahnya tanpa menatapnya sama sekali. Jena menunduk dengan pandangan yang tampak gusar. Hal itu membuat Jun bertanya- tanya.
"Jena kenapa?"
Jun mulai melangkah mendekati Jena itu. Ia percepat langkahnya untuk mendekati gadis itu. Lalu saat Jena hendak melintas di hadapannya, segera tangannya meraih lengan Jena, mencengkramnya erat. Cowok itu mencegah Jena berjalan menjauhinya.
"Jen, Jena!"
Jun menarik tangan Jena agar gadis itu berhenti melangkah. Susah payah ia menghentikan langkah Jena yang tengah kalut itu.
"Jen, lo kenapa?" tanya Jun dengan panik. Cowok itu menangkap kedua bahu Jena kemudian menyuruhnya untuk menatap matanya.
Jena pada akhirnya mau mendongak untuk menatap mata Jun. Dari sorot matanya, Jun dapat melihat ada sirat ketakutan terpancar dari sana. Hal itu membuat cowok itu mendadak melemaskan cengkraman tangannya di bahu Jena.
Jena masih terdiam menatap Jun. Lalu sambil bergetar, ia mengucapkan kalimat yang membuat Jun ikut terkejut.
"Jun ... gue takut ..."
Jun mengernyit bingung. Tak tahu hal apa yang membuat gadis itu terlihat sangat terguncang sekarang. "Takut? Takut kenapa?" tanyanya.
Jena kesulitan membuka bibirnya. Lalu kembali bergetar ketika melanjutkan kalimatnya. "Jun ... gue takut ... kalau gue ini reinkarnasi seseorang dari masa lalu."
Mata Jun melebar. "Apa?"
Jun masih menatap Jena dengan raut bingung. Sepagi ini dan ia sudah dikejutkan oleh berbagai macam hal. Belum jua ia menemukan titik terang tentang mimpinya semalam, kini ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa Jena berbicara tak masuk akal.
"Reinkarnasi?" Jun mengernyit. "Maksud lo?"
Jun hendak menuntut dengan pertanyaan yang ia akan sampaikan lagi, namun tak jadi ia lakukan. Cowok itu menunda pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Jena. Jun tak tega melihat Jena yang tampak ketakutan itu.
Lalu dengan senyum yang menenangkan, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Jena, kemudian mengelus bahu Jena pelan sembari berkata, "Lo gak perlu takut apapun, ada gue di samping lo."
Jena mendongak menatap Jun. Ia tak bisa tersenyum, namun setidaknya ia sudah sedikit melupakan kekalutannya.
Benar, Jena punya Jun di sisinya. Dan bagaimana pun juga, ia bersyukur atas hal itu.
"Bukannya gue bilang kalau gue akan selalu percaya sama semua perkataan lo?" Jun kembali menyambung kalimatnya. Cowok itu tersenyum sekali lagi.
Berikutnya ia mengelus pelan rambut Jena di depannya dan menyambung kalimat lagi.
"Gue bilang kalau gue percaya sama lo, Jen. Jadi, lo gak perlu takut sama apapun. Ada gue." Jun mengatakan kalimat itu sembari mengumbar senyum lebar.
Kini Jena dapat sepenuhnya tersenyum. Ia membalas senyuman Jun. Kemudian mengangguk berulang kali.
"Iya," ucap gadis itu.
Jun kini kembali menegapkan tubuhnya. Kemudian tangannya yang masih berada di bahu Jena itu kini sepenuhnya merangkul gadis itu. Jun membawa Jena kembali melangkah.
"Kita cerita nanti lagi. Sekarang kita berdua udah telat," kekeh cowok itu. "Bisa-bisa kita dihukum sama Pak Bagus. Masa gue anggota OSIS juga ikutan telat?"
Jun tersenyum merangkul Jena kemudian kembali berceloteh banyak hal lain.
Jena kadang berpikir bahwa Jun akan dengan mudah membuat orang lain jatuh cinta padanya. Bahkan tanpa cowok itu melakukan apapun, cukup dengan tersenyum. Karena senyuman Jun, adalah kekuatan baginya.
Dan Jena syukuri itu.
***