32- Ajakan

999 Kata
Jena dan Jun memang tengah memperhatikan dan menatap ke arah layar proyektor yang menampilkan presentasi rekan-rekan sekelasnya, namun mereka tak benar-benar memperhatikan. Melainkan kedua sahabat itu tengah melamun. Memikirkan banyak hal yang sejak beberapa hari lalu hinggap ke pikiran mereka. Jadi tentu saja mereka berdua tak bisa fokus pada pelajaran yang tengah kelas diskusikan itu. Jun masih memikirkan tentang mimpi yang ia alami semalam dan tempo hari, terlebih ditambah dengan perkataan Jena pagi ini. Perkataan yang menyatakan bahwa gadis itu adalah seorang reinkarnasi dari orang lain di masa lalu. Di sisi lain, Jena memikirkan tentang perkataan neneknya pagi ini. Juga ia memikirkan tentang foto yang neneknya akui sebagai kakaknya itu. Foto yang orang di dalamnya sangat mirip dengan Jun itu. "Iya, ada yang ingin ditanyakan?" Sebuah seruan di depan kelas bergema, membuat siapapun orang yang ada di dalam kelas itu tersadar lagi dari lamunan dan bercandaannya sebelumnya. Murid yang tadi sempat mengantuk atau bahkan tertidur, kini mulai terbangun. Termasuk Jena dan Jun. "Bagaimana? Ada yang ingin ditanyakan ke kelompok lima yang siang ini berpresentasi?" Guru Sosiologi mereka berseru di depan kelas. Sekali lagi menarik perhatian murid-muridnya, namun tak membuahkan hasil. Semua murid di kelas Sebelas IPS 4 bahkan tampak acuh dan pura-pura membaca catatan masing-masing. Mereka takut jika guru itu menunjuk mereka. Bu Ani, Guru Sosiologi mereka itu tersenyum kecut kemudian menggelengkan kepalanya. Lalu dengan terpaksa ia menyuruh kelompok yang tadi melakukan presentasi itu untuk kembali ke tempat duduk masing-masing. Tepat dengan itu juga, bel jam istirahat berdering nyaring. Bel itu terdengar bagai oase di padang gersang. Bunyinya terdengar sangat merdu bagi seluruh murid, dan hal yang paling dinantikan. Bu Ani kini tersenyum dan membereskan buku-bukunya. Setelahnya ia dapat melihat seluruh murid di kelas Sebelas IPS 4 itu sudah bersiap untuk meninggalkan, tampak dari bersihnya meja mereka tanpa adanya buku-buku seperti tadi. "Kalau begitu, kelas hari ini dicukupkan. Kita bertemu lagi minggu depan." Setelah mengucapkan hal itu, Bu Ani segera melangkah meninggalkan kelas. Disusul oleh beberapa siswa yang rupanya telah bersiap pula sejak tadi. Kelas itu mendadak ramai, bagai pasar. Ada yang ke luar untuk segera ke kantin, ada yang masih mengobrol di kelas, ada yang melakukan permainan aneh khas anak cowok, pun ada yang kembali tertidur melanjutkan mimpi indah sedari tadi. Fina meregangkan tubuhnya sejenak sebelum akhirnya menumpukan kepalanya ke atas lipatan tangannya di atas meja. Gadis itu menatap Jena di sampingnya. "Gue sejak Bu Ani nyuruh kelompok itu maju presentasi, udah ngantuk. Ditambah lagi pas kelompoknya si Gita presentasi, bertambah lah ngantuk gue." Fina berujar sambil memejamkan matanya. Ia makin menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangannya sendiri. Jena hanya menggeleng kecil. "Tidur aja. Nanti gue bangunin pas mau ke kantin," balas gadis itu. Ia membereskan tasnya, lalu mengambil dompet untuk mengeluarkan uang sakunya. "Dasar Pina," ucap Karina menanggapi. Ia ikut menggeleng melihat kelakuan Fina itu. Jena membalik badannya. Kemudian memandang Karina. "Lo ke kantin?" tawarnya. Karina mengangguk antusias. "Iya." Lalu ia menunjuk ke arah Fina yang masih memejam mata itu. "Pina gimana?" tanyanya. Jena mengibas tangannya. "Gak usah peduliin dia." Fina dalam matanya yang memejam itu ikut mengibaskan tangannya. "Bener. Gak usah peduliin gue," ucapnya santai. "Gue titip aja, batagor lima ribu." Fina menyengir di akhir kalimat, masih memejam. Jena dan Karina hanya menggelengkan kepalanya. "Lo gak ikut beli seblak?" Rehan menoel-noel lengan Fina yang menelungkup itu. Lalu makin ganas lagi ketika menyenggol lengan gadis itu. Membuat Fina tak nyaman dalam memejamkan matanya. "Ish, Rehan!" Dan tentu saja Fina marah. Gadis itu kini sepenuhnya menegakkan tubuhnya untuk menggeplak lengan Rehan. "Sehari aja lo gak usilin gue, bisa enggak?" Fina masih melotot. Matanya sudah terbuka lebar sepenuhnya, tidak sesipit tadi yang mengantuk. Rehan memeletkan lidahnya. "Enggak." Fina akhirnya hanya menggerutu pelan dan tak menanggapi lagi guyonan Rehan itu. "Tauk ah." Rehan mencebik. Ia memeletkan lidah pada Fina yang membelakanginya itu. Lalu cowok itu menatap ke arah teman-temannya yang lain. "Ya udah, yuk ke kantin," ajaknya. Ia menatap Jun, Jena, dan Karina bergantian. Saat Jena hendak menjawab Rehan, Jun dengan santai menyelanya. Cowok itu melangkah mendekati Jena, lalu berujar tepat di hadapan gadis itu. "Gue sama Jena gak bisa ikut ke kantin. Kita berdua ada urusan dulu," ujar cowok itu. Kemudian tersenyum menatap Rehan dan Karina bergantian. "Kalian berdua ke kantin aja, nanti kita nyusul." Karina menatap kedua orang itu dan lebih memperhatikan ekspresi Jena sekarang. Gadis itu tampak terkejut sekarang. Sepertinya Jena tidak tahu menahu tentang ajakan yang Jun katakan itu. Sedangkan Jun, cowok itu kini menatap Jena dengan raut seriusnya. Diam-diam Karina memperhatikan keduanya, dan mendadak ia tak suka dengan urusan yang Jun maksud itu. Karina tak suka dengan kenyataan bahwa Jena dan Jun bersahabat dekat itu, bahkan sejak kecil. "Oh, ya udah." Rehan mengangguk dengan cepat. Cowok itu membiarkan Jun dan Jena. Selanjutnya ia memandang Karina yang masih terduduk di tempatnya itu. "Yuk, Rin." Rehan tersenyum singkat. Karina terkesiap pelan. Gadis itu tak punya pilihan. Tak mungkin melarang atau ikut campur dengan urusan Jena dan Jun itu. Jadi gadis itu pun hanya bisa mengangguk dan menyetujui ajakan Rehan. "Iya," jawab Karina seraya tersenyum enggan. "Udah, sana, sana." Fina menggumam tak jelas di tempatnya. Setelah mendengarkan jawaban Rehan dan Karina, Jun segera menarik tangan Jena begitu saja. Jena yang jauh lebih mungil dari Jun itu dengan mudah terbawa oleh tarikan tangan cowok itu. Dan hal itu disaksikan oleh semua murid yang masih tersisa di dalam kelas. Sebenarnya hal itu sudah biasa terjadi. Jun bahkan sudah sering menggandeng tangan gadis itu atau bahkan merangkulnya. Seisi kelas menganggapnya biasa saja, karena semuanya tahu bahwa Jena dan Jun hanya bersahabat. Namun tentu saja, semuanya terasa asing bagi Karina. Di mata Karina, persahabatan Jena dan Jun itu tak murni, ada sesuatu di dalamnya. Meskipun seisi sekolah tahu bahwa Jena menyukai Bayu, atau Jun yang tak menyukai Jena sama sekali, namun Karina terus saja merasakan sesuatu yang sangat mengganggunya ketika sepasang sahabat itu bersama. Jena dan Jun bagai dua orang yang telah ditakdirkan bersama bahkan tanpa kedua orang itu sendiri sadari. Keduanya bagai tak bisa dipisahkan. Dan ... Karina tak suka itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN