Jun mengajak Jena ke belokan sepi yang menghubungkan koridor kelas dengan koridor aula sekolah. Cowok itu menarik tangan Jena sedari tadi, dan baru bisa melepaskan genggaman tangannya itu sekarang. Dengan segera ia menatap mata Jena lekat-lekat, lalu mulai bersuara.
"Sekarang jelasin ke gue, semuanya." Jun memasang raut seriusnya. Sama sekali tak menampilkan senyum yang biasanya ia tujukan untuk semua orang.
Jena pun memasang wajah yang sama seriusnya. Namun gadis itu masih diam. Ia mengalihkan tatapannya ke lantai, lalu menunduk. "Gue bingung jelasin dari mana awal mulanya, Jun," lirih gadis itu.
Jun menghela napas kasarnya. "Ceritain semuanya, Jen. Dari awal sampai akhir. Tentang lo yang ngelihat sosok aneh itu, terus juga omongan lo yang bilang kalau lo itu reinkarnasi dari seseorang." Jun menuntutnya. Cowok itu sekali lagi menampilkan raut seriusnya. "Menurut lo semua ini masuk akal?"
Jena mendongak seketika. "Maksud lo ... lo bilang kalau gue ini halu lagi, Jun?" sergah Jena.
Ia menatap Jun dengan geram. "Lo bilang kalau lo percaya sama gue."
"Gue percaya sama lo." Jun dengan cepat menjawab ucapan Jena. Cowok itu menatap Jena dengan tatapan yang lebih lunak.
"Gue percaya sama lo, Jena. Maka dari itu ... gue bilang lo harus jelasin dari awal sampai akhir, biar gue lebih percaya lagi sama lo. Karena gue masih merasa ini semua mustahil buat gue. Gimana bisa lo itu reinkarnasi? Apa itu masuk akal?" Jun menggebu-gebu dalam menjelaskan. Setelahnya ia mengatur deru napasnya yang tadi sempat memburu itu.
Jena mengerjap.
Benar. Memang benar yang dikatakan oleh Jun padanya itu. Tak mungkin di masa modern ini, ketika teknologi canggih ditemukan, ada yang namanya reinkarnasi. Bahkan reinkarnasi hanya ada dalam dongeng atau drama-drama fiksi, yang sama sekali tak nyata. Mustahil bagi Jun atau siapapun mempercayai ucapannya begitu saja.
Bahkan Jena pun tak mempercayainya sama sekali awalnya. Dan masih sulit untuk mempercayainya.
"Oke. Gue akan jelasin dari awal sampai akhir," putus Jena begitu saja. Gadis itu mengangkat tangannya dan membuat Jun terkejut sesaat.
Jena memberi Jun tatapan yang sangat serius sekarang. Seolah memberikan pernyataan tanpa suara, bahwa memang semua yang ia katakan itu benar, dan ia sangat serius sekarang.
Belokan sepi itu hanya sesekali dilewati oleh siswa atau guru. Itu pun dapat dihitung dengan tangan dan jaraknya terpaut jauh. Sangat sepi. Membuat Jun dan Jena berani mengatakan semuanya di sana, tanpa takut ada seseorang yang menguping pembicaraan mereka berdua. Kalau pun ada yang menguping, apakah mereka akan percaya?
"Sebenarnya ... hari itu, waktu pertama kali gue pingsan setelah sekian lamanya gue gak pingsan, gue udah lihat sosok aneh itu. Terus, gue bagai merasakan dejavu lagi ketika berdua berada di aula," jelas Jena sembari menunjuk aula di depannya yang tertutup rapat.
Jun ikut menatap aula besar itu kemudian teringat akan kejadian di mana Jena sempat kesakitan tempo hari. Ia ingat betul bagaimana ia melihat Jena yang merintih kesakitan karena jantungnya yang sakit. Bahkan mengingatnya saja membuat Jun sedih.
"Terus?" Jun masih menunggu kelanjutan kalimat Jena.
Jena tampak menerawang. "Gue gak tahu kenapa jantung gue selalu sakit setiap kali sehabis melihat sosok itu. Tetapi yang jelas, gue sosok itu adalah orang yang gue kenal di masa lalu."
Jun berkacak pinggang. Ia mendekat ke arah Jena. "Maksud lo? Sosok apa sih?" Ia mengacak rambutnya. "Sebenarnya siapa sosok yang lo maksud itu? Yang katanya dari masa lalu itu tapi mirip dengan orang di masa sekarang?" tanyanya lagi dengan frustrasi.
Jena menggigit bibir bawahnya sendiri. Ia tahu semuanya tak masuk akal bagi siapapun. Termasuk baginya sekalipun. Ia bahkan tak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Terlebih lagi, Jena takut kalau Jun tak mempercayainya lagi ketika ia menyebut bahwa sosok yang ia lihat hari itu adalah Jun. Iya. Jun yang mengenakan batik dari masa penjajahan dulu.
"Kalau gue kasih tahu orangnya ... apa lo bakal tetap percaya sama gue?" Jena bertanya dengan nada penuh harap. Gadis itu takut jika sampai Jun tak percaya padanya lagi.
Jun mengangguk dengan antusias. "Iya, gue bakal percaya sama lo." Cowok itu kini menurunkan sebelah tangannya. "Siapa sih orangnya? Apa gue kenal orangnya?"
"Em, lo sangat mengenal orang itu." Jena mengangguk pelan. Ia masih menerka reaksi apa yang akan Jun tujukan padanya ketika mendengar kelanjutan kalimatnya.
"Siapa?" Jun masih menuntutnya.
Jena merapal doa dalam hatinya sembari mengucapkan kalimat selanjutnya. Ia harap agar Jun setidaknya tak terkena sport jantung nanti.
Sekali lagi Jena menggigit bibirnya. Kemudian perlahan menutup matanya, tak berani menatap reaksi Jun, sembari berujar dengan lancar.
"Sosok itu ... lo."
***
Bayu tadinya hendak menelepon orangtuanya, ia ingin mencari tempat sepi setelah sekian kali tak menemukan tempat sepi. Cowok itu akhirnya melangkahkan kakinya menuju sebuah belokan yang menjadi penghubung antar koridor kelas dengan koridor aula sekolah.
Cowok itu masih fokus pada ponselnya, lalu sesekali memperhatikan sekitarnya. Ia tak ingin ada orang lain di sana, takut orang-orang akan mendengar percakapannya di telepon nanti.
Bayu segera mempercepat langkahnya. Namun ketika ia sudah tepat menginjakkan kaki di belokan itu, ia melihat orang lain di sana. Sepasang siswa dan siswi berada di sana. Sedang membicarakan sesuatu.
"Aduh, ada orang lagi." Bayu menggerutu pelan.
Tadinya cowok itu hendak berbalik dan kembali mencari tempat yang aman lainnya, namun ia urungkan. Cowok itu baru sadar sesuatu hal. Bahwa sepasang murid yang tengah membicarakan sesuatu di sana itu adalah sosok yang dikenalnya. Jena dan Jun.
"Jena? Jun?"
Bayu dapat melihat Jena dan Jun berbicara dengan serius. Keduanya membicarakan tentang hal yang tak ia mengerti. Namun awalnya Bayu mengira bahwa kedua orang itu ingin menyelesaikan masalah mereka tempo hari itu.
Namun jika hanya ingin menyelesaikan masalah mereka, tak mungkin keduanya memasang raut serius itu. Bahkan sempat mengatakan tentang sosok aneh. Hal yang tak ia mengerti.
"Sosok aneh?"
Bayu sebenarnya tak ingin menguping apapun. Tentu saja ia bukan tipe orang yang ingin tahu tentang banyak hal yang bukan urusannya. Namun jika hal itu menyangkut Jena, mendadak ia menjadi penasaran. Apalagi ... ada Jun juga yang terlibat.
Bayu tak fokus mendengar percakapan apa yang tengah kedua orang itu katakan, karena jaraknya yang lumayan jauh. Jika mendekat, ia bisa ketahuan.
Cowok itu makin penasaran saja dibuatnya. Kira-kira apa maksud Jena mengatakan tentang sosok aneh dan kaitannya dengan Jun itu?
Dan mengapa ... ia sangat penasaran sekarang?
Seperti bukan dirinya.
***