Pertemuan Kedua.

1144 Kata
Suasana di ballroom hotel bintang lima itu hangat, namun tidak berlebihan. Lampu kristal memantulkan cahaya lembut di lantai marmer, dan aroma kopi serta kue tart masih tersisa dari jamuan sore. Para tamu berbisik rendah, bercengkerama tentang transaksi bisnis terbaru, merger, atau sekadar mengagumi dekorasi yang rapi. Jafran Abimana berdiri di dekat meja buffet, segelas wine di tangan, menatap layar teleponnya. Ia seharusnya menghadiri acara ini hanya untuk menghormati klien lama yang kini menjadi partner baru, namun entah kenapa, suasana hatinya tak sepenuhnya fokus pada bisnis. Matanya melirik ke jendela besar, menatap kerlip lampu kota yang mulai hidup di luar, namun tetap kosong di dalam. Tiba-tiba, seorang wanita melintas di sisi ruangan. Rambut cokelat panjangnya jatuh sempurna di bahu, gaun biru navy menonjolkan lekuk tubuhnya yang anggun, gerakannya lembut tapi penuh wibawa. Jafran menatapnya, seolah magnet yang menarik pandangannya. Zumena Sanders. Ia menatap Jafran beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu—pengakuan samar, rasa penasaran, dan mungkin … sedikit ketegangan. Jafran menelan ludahnya tanpa sadar, jantungnya berdetak lebih cepat. “Sepertinya déjà vu,” gumamnya pelan, hanya untuk dirinya sendiri. Zumena tersenyum tipis, hampir tak terlihat, dan melangkah mendekat ke arah meja minuman. Jafran mengikuti langkahnya tanpa benar-benar sadar bahwa kakinya menuntun dirinya mendekat. Saat jarak mereka tinggal beberapa langkah, dunia di sekeliling seolah memudar. Percakapan orang lain, musik latar, bahkan lampu kristal yang berkelap-kelip—semuanya sirna dari kesadarannya. “Jafran Abimana, bukan?” suara lembut tapi tegas membuatnya tersadar. Ia menoleh, menatap mata cokelat gelap yang menembus. Tubuhnya seketika membeku. Ia tahu wajah ini—pada pesta Ferdy dan Zola, wanita itu dengan senyum misterius, namun menolak memberi namanya. Saat itu, ketika Jafran memberanikan diri menanyakan nama dan nomor teleponnya, wanita itu hanya menatapnya dan berkata, “Mungkin lain kali kita bertemu lagi … kamu akan tahu.” Dan sekarang, di sini, di hadapannya—semua teka-teki itu terjawab. Tanpa pikir panjang, Jafran bersuara, “Zumena … Sanders?” Wajah Zumena seketika berubah. Matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka, seperti terkejut dan sekaligus penasaran. “Kamu … bagaimana kamu bisa tahu?” Jafran mengangkat bahu, senyum tipis menyungging, tapi matanya serius. “Kebetulan … atau mungkin keberuntungan yang membantuku mengetahui namamu. Dan sepertinya, keberuntungan itu juga membawa kita bertemu lagi di sini.” Zumena menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Aku … memang tak pernah memberitahumu namaku sebelumnya. Kamu—kamu benar-benar … tahu.” “Sekarang aku tahu,” jawab Jafran, suaranya rendah, menegaskan dirinya tak akan membiarkan kesempatan ini hilang. “Ya,” jawabnya, senyum tipis tetap terukir. “Tak kusangka bertemu lagi … di sini.” Jafran mengangguk, mencoba menenangkan diri. “Begitu juga aku. Aku kira pertemuan terakhir kita hanya kebetulan di pesta Ferdy dan Zola.” Zumena tertawa ringan, namun ada nada getir yang tersembunyi di balik tawa itu. “Kebetulan, ya … tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang … belum selesai.” Kata-katanya mengalir begitu saja, dan Jafran merasakan denyut panas di dadanya. Ada sesuatu tentang Zumena yang berbeda dari wanita lain yang pernah ia temui—bukan hanya kecantikan atau wibawanya, tapi cara ia memandang dunia, seakan menantang tapi sekaligus rentan. “Kalau begitu … mungkin kita memang harus menyelesaikan sesuatu,” kata Jafran, suaranya rendah tapi tegas. Zumena menatapnya, seolah mencoba membaca maksud di balik kata-katanya. “Menyelesaikan apa, Jafran?” Ia tersenyum samar, mendekat sedikit. “Menyelesaikan … kenangan yang tersisa.” Zumena mengerutkan alisnya, ragu, namun tetap membiarkan dirinya berdiri dekat. Detik-detik itu terasa seperti tarian yang perlahan membakar, menarik mereka lebih dekat tanpa mereka sadar. “Jafran … kamu tahu aku ….” Zumena berhenti sejenak, menelan kata-katanya. “Aku tidak seperti wanita lain yang bisa kamu temui dan lupakan begitu saja.” Jafran mengangguk, mendekat, suara dalam hatinya berdesir. “Aku juga merasa begitu … sejak pertama bertemu.” Mereka berdiri di sana, berhadapan, hanya beberapa inci memisahkan. Dunia luar seolah menghilang, digantikan oleh rasa penasaran, ketegangan, dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya: hasrat yang belum diketahui batasannya. “Zumena … kamu tidak sendirian di sini, kan?” tanyanya perlahan, menatap sekeliling. “Aku di sini sendiri,” jawabnya. Nada suaranya tenang, namun ada sedikit getar yang menandakan ketegangan. Jafran tersenyum tipis, hampir tak terlihat. Ia merasakan dorongan aneh untuk melindungi wanita ini, sekaligus ingin lebih dekat, lebih menguasai, dan … memilikinya. Hasrat itu murni, liar, dan berbahaya, sama seperti kisah cintanya di masa lalu dengan Gina—yang kini ia ingin hindari agar tidak terulang. Mereka berbicara ringan, menyingkir dari keramaian, mencari sudut yang lebih sepi. Kata-kata mereka sederhana, namun setiap kalimat, setiap tawa, membawa getaran yang tak bisa diabaikan. Zumena bercerita tentang kegiatan yayasan sosialnya, sementara Jafran mendengar dengan serius, namun matanya tak lepas dari gerak tubuhnya, dari garis wajahnya, dari bibir yang sesekali tersenyum menatapnya. “Jafran … kamu tahu … aku menghargai kesempatan ini,” katanya lirih, hampir berbisik. “Aku juga,” jawab Jafran, suaranya rendah. “Setiap detik di dekatmu … seperti menyalakan sesuatu yang lama padam.” Zumena menelan ludahnya, dan tanpa sadar, ia melangkah lebih dekat. “Aku merasa … ada sesuatu yang … menarik kita, entah itu salah atau benar.” Jafran mencondongkan tubuhnya sedikit. Nafas mereka hampir bersentuhan. “Kalau begitu … kenapa kita tidak mencari tahu?” Hati Zumena berdetak kencang. Ada rasa takut, tapi juga penasaran yang menggebu. Seketika, dunia seolah runtuh di sekitar mereka. Ada energi yang membakar, gelap dan intens, yang membuat mereka lupa bahwa ada orang lain di ruangan ini, lupa bahwa norma sosial mengikat mereka. Sebelum mereka sempat terseret lebih jauh, Zumena menarik napas panjang. “Kita seharusnya … berhati-hati.” Jafran mengangguk, tetapi tatapannya tetap tajam, penuh keinginan dan tekad. “Aku selalu hati-hati … tapi denganmu … rasanya mustahil.” Mereka tertawa ringan, namun ada ketegangan di antara mereka. Ketegangan yang menjanjikan badai, rahasia, dan cinta yang mungkin akan menjadi berbahaya. Acara itu berakhir dengan Jafran dan Zumena meninggalkan ballroom dari pintu berbeda, namun pandangan mereka saling bertaut terakhir kali. Jafran tahu, ini bukanlah akhir. Dan Zumena … ia merasakan hal yang sama. Ada sesuatu yang tertinggal di udara, sesuatu yang akan membakar mereka berdua. Saat Jafran melangkah keluar, teleponnya bergetar. Sebuah pesan dari asistennya: “Tamu VIP sudah meninggalkan ballroom, laporan selesai. Kamu bisa pulang kapan saja.” Jafran tersenyum sendiri. Pulang? Tidak ada kata pulang yang tepat malam ini. Ada sesuatu yang lebih besar menunggu—api yang baru menyala, dan dia ingin menyelaminya sepenuhnya. Sementara itu, Zumena menatap jendela ballroom yang mulai gelap, merasakan detak jantungnya sendiri. Malam itu bukan sekadar pertemuan, tapi awal dari sebuah perjalanan yang akan menguji cinta, hasrat, dan keberanian mereka—dengan risiko yang sama gelapnya dengan malam yang baru saja mereka lewati. Dan di sanalah, di sudut kota yang gemerlap, dua jiwa mulai menulis cerita mereka sendiri. Cerita yang dipenuhi gairah, rahasia, dan bahaya yang tak terelakkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN