Pertemuan di Lounge

1061 Kata
Suasana lounge hotel itu hangat, dengan cahaya lampu temaram memantul di permukaan meja marmer. Musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan, membentuk latar yang sempurna untuk percakapan santai, namun ada getaran halus antara dua sosok yang baru saja bertemu lagi. Jafran duduk di kursi yang empuk, gelas di tangannya berisi mocktail ringan, matanya tak lepas dari sosok wanita yang baru saja duduk di seberangnya. Zumena. Sejak momen pertama di pesta, ada rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan. Ada sesuatu pada dirinya yang membuat Jafran ingin tahu lebih banyak. Zumena tersenyum tipis, tangannya memegang cangkir teh hangat, seolah menenangkan diri dari hiruk-pikuk hotel. “Aku … teman keluarga Zola,” katanya akhirnya, memecahkan hening dengan suara lembut namun jelas. Jafran mengangguk pelan, tersenyum hangat. “Oh, begitu. Tak kusangka kita akan bertemu lagi setelah pesta kemarin. Kebetulan yang menyenangkan.” Zumena menatapnya, matanya berbicara sendiri—ramah namun waspada. “Kebetulan, atau mungkin takdir.” Jafran terkekeh kecil. “Takdir, ya? Aku biasanya tidak terlalu percaya, tapi pertemuan ini … cukup meyakinkanku.” Mereka tertawa ringan, dan sejenak dunia di luar lounge seolah hilang. Hanya ada mereka berdua, duduk berhadapan dengan jarak yang cukup untuk bersandar namun cukup dekat untuk terasa intim. “Jadi, bagaimana kamu mengenal Zola?” tanya Jafran, menegaskan percakapan ringan. Ia ingin memulai dari sesuatu yang netral, namun tetap menimbulkan rasa penasaran. Zumena menghela napas ringan, matanya berkilat. “Oh, aku sering bertemu keluarganya lewat beberapa acara sosial. Mereka baik, dan Zola … well, dia selalu tampak bahagia. Aku rasa itulah yang membuatku ingin hadir di pernikahannya.” Jafran tersenyum, menatapnya. “Sepertinya kamu memang orang yang tepat untuk menjadi teman Zola. Hangat, tapi misterius.” Zumena menahan senyum yang lebih lebar, matanya menatap tajam ke arah Jafran. “Misterius, ya? Mungkin … atau hanya aku yang tidak ingin semuanya terlihat mudah ditebak.” Mereka tertawa ringan lagi. Ada chemistry halus yang mulai muncul, rasa ingin tahu yang tumbuh dari pertemuan sebelumnya. Jafran merasa nyaman, tapi juga tertarik—ada magnet yang sulit dijelaskan, seolah setiap percakapan menimbulkan ketegangan yang menyenangkan. “Kalau begitu, kita harus saling bertukar nomor, bukan?” kata Zumena akhirnya. “Agar kalau suatu saat kebetulan membawa kita ke tempat yang sama lagi, kita bisa tetap berhubungan.” Jafran mengangguk, merogoh saku dan menyerahkan ponselnya. Zumena mengetik nomor dan menekan tombol simpan. “Siap,” katanya. “Sekarang kita resmi bisa saling menyapa tanpa harus menunggu pesta atau acara tertentu.” Mereka tersenyum, dan sejenak ada keheningan nyaman. Hanya suara musik dan desahan pelayan yang lewat, tapi ada percikan tak terlihat yang menari di antara mereka. “Jadi, selain menjadi teman Zola, apa yang biasanya kamu lakukan di kota ini?” tanya Jafran sambil menyesap minumannya. Zumena mengangkat bahu ringan. “Aku cukup sibuk dengan beberapa yayasan sosial. Panti jompo, beberapa kegiatan amal … hal-hal yang membuatku tetap merasa berguna.” Jafran menatapnya kagum. “Kamu … benar-benar tampak berbeda dari wanita yang biasanya kulihat di acara-acara bisnis. Bukan sekadar cantik, tapi juga memiliki aura yang menenangkan dan kuat.” Zumena tersenyum tipis, ada rona hangat yang muncul di pipinya. “Terima kasih. Kamu juga tampak … berbeda. Tidak seperti CEO muda yang sibuk dan kaku. Ada sesuatu yang … mengundang rasa penasaran.” Jafran tersenyum, dan tanpa sadar tangannya menyentuh gelas, seolah ingin menahan diri dari menatap mata Zumena terlalu lama, takut terjebak dalam magnet yang memikat itu. “Kalau begitu, kita mungkin harus minum lebih sering di tempat seperti ini,” kata Jafran sambil mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Biar kesempatan bicara tanpa gangguan muncul lebih banyak.” Zumena tertawa kecil. “Aku tidak keberatan. Tapi jangan sampai aku membuat kamu ketagihan … atau penasaran terlalu jauh.” Jafran terkekeh, rasa ingin tahunya semakin besar. “Kamu terlalu menggoda dengan caramu tersenyum begitu.” Senyum Zumena melebar sedikit, ada rona malu yang tipis namun menambah daya tariknya. “Itu mungkin … efek samping pertemuan kita.” Percakapan ringan itu terus berlanjut, menembus batas formalitas acara yang mereka hadiri. Mereka membicarakan hal-hal sepele: cuaca kota, rasa makanan di hotel, bahkan musik jazz yang mengalun. Namun setiap kalimat, setiap senyum, terasa seperti benih ketertarikan yang perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih intens. Jafran merasa hidupnya kembali berdetak. Ada gairah baru yang muncul, tapi juga rasa ingin tahu yang membuatnya penasaran—siapa sebenarnya wanita misterius ini? Mengapa hatinya begitu mudah terpaut pada seseorang yang baru dikenal beberapa jam lalu? Zumena sendiri tidak bisa menahan rasa penasaran. Ada aura yang berbeda dari Jafran, sesuatu yang membuatnya merasa aman sekaligus tertantang. Dia merasa ada percikan yang bisa menjadi api, tapi juga sadar bahwa dunia di luar lounge ini penuh aturan, pengawasan, dan rahasia yang belum terungkap. “Aku senang kita bisa berbicara tanpa gangguan,” kata Zumena sambil meneguk teh hangatnya. “Kalau pertemuan di pesta kemarin terasa seperti kebetulan, maka malam ini … terasa seperti kesempatan.” Jafran mengangguk, matanya fokus pada senyumnya. “Kesempatan yang akan kulakukan sebaik mungkin.” Mereka saling menatap, ada kesadaran tak tertulis yang muncul: ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ada tarik-menarik yang menantang dan menyenangkan. Ada rasa ingin tahu yang berlipat, dan tanpa disadari, mereka mulai membangun ikatan pertama—ikatan yang penuh misteri dan janji tanpa kata-kata. Malam itu, percakapan mereka berlanjut hingga beberapa jam. Lalu, sebelum berpisah, Jafran berkata dengan nada lembut tapi tegas: “Zumena … aku berharap kita bisa bertemu lagi. Tak perlu alasan, tak perlu acara khusus. Hanya … aku ingin tahu lebih banyak tentangmu.” Zumena menatapnya, mata cokelat gelap itu berkilat hangat. “Aku juga ingin. Tapi ingat, Jafran … kita baru saja kenal. Jangan terlalu berharap terlalu cepat.” Jafran tersenyum penuh arti. “Aku tidak berharap … aku hanya ingin berusaha.” Mereka berpisah di lobi hotel, namun perasaan yang tertinggal jauh lebih kuat daripada yang mereka duga. Ada janji terselubung di udara: pertemuan kedua ini akan menjadi awal sesuatu yang lebih dalam. Dan di balik senyum tipis Zumena, ada bisikan kecil yang tak terdengar oleh siapa pun: “Entah kenapa, aku merasa Jafran akan mengubah hidupku … bahkan sebelum aku siap.” Sementara Jafran berjalan keluar hotel, pikirannya penuh dengan bayangan Zumena. Ada magnet tak terlihat yang menariknya lebih dekat, rasa penasaran yang memaksa hatinya untuk menunggu dan mencari kesempatan berikutnya. Dia tidak tahu bahwa pertemuan ini hanyalah awal dari badai emosi, gairah, dan rahasia yang menunggu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN