Malam itu, kamar apartemen Jafran terasa terlalu sunyi. Lampu kota yang menyala dari balik jendela kaca tinggi hanya menambah kontras dengan gelapnya ruangan. Tapi anehnya, sunyi itu tak menenangkan. Sebaliknya, ia merasa terganggu. Pikiran tentang Zumena Sanders terus menghantuinya.
Ia merebahkan diri di ranjang, tubuh lelah akibat hari panjang, namun pikirannya seperti diputar pada satu lingkaran tak berujung: wajah Zumena, senyum tipisnya, suara lembutnya, dan tatapan mata cokelat gelap yang seakan membaca setiap rahasia Jafran.
“Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan wanita itu?” gumamnya pelan, suara sendiri memenuhi ruang kosong.
Pertemuan di pesta Ferdy-Zola dulu hanya sebentar, namun meninggalkan kesan yang aneh—sebuah magnet yang tak bisa ia jelaskan. Dan malam ini, di lounge hotel, pertemuan mereka kembali menegaskan hal itu. Ada sesuatu dalam diri Zumena yang membuat Jafran merasa … hidup.
Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri. Namun setiap kali ia mencoba, bayangan Zumena muncul lagi. Cara dia meneguk teh, gerakan tangannya yang anggun saat berbicara, bahkan rona hangat yang muncul di pipinya ketika ia tersenyum. Semua itu menempel di pikirannya seperti aroma yang tak bisa dihapus.
Jafran bangkit, berjalan ke jendela. Kota di bawahnya gemerlap, namun tak ada yang menarik perhatian selain satu sosok yang kini menempati pikirannya: Zumena. Ia menggigit bibir, menyadari bahwa rasa penasaran ini bukan sekadar ketertarikan fisik. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang membuat hatinya berdetak lebih cepat dan pikirannya kacau.
“Dia berbeda … jauh berbeda dari wanita yang pernah aku temui,” bisiknya sendiri. “Misterius, kuat, tapi juga … ada sisi rentan yang membuatku ingin melindunginya.”
Jafran duduk kembali di kursi dekat jendela, memegang gelas kosong yang sebelumnya berisi minuman. Tangannya gemetar sedikit—bukan karena lelah, tapi karena dorongan ingin tahu yang menguasainya. Ia ingin tahu siapa sebenarnya Zumena. Apa yang membuatnya begitu menarik? Apa rahasia di balik aura tenang yang dipancarkannya?
Ia teringat ketika Zumena menyebut bahwa ia teman keluarga Zola. Itu informasi yang tampak sederhana, namun cukup untuk membuatnya penasaran lebih jauh. Bagaimana mungkin seorang wanita dengan aura seperti itu bisa muncul di lingkaran yang ternyata dekat? Ada ketenangan yang membungkusnya, tapi juga kesan bahwa dia tidak sepenuhnya terbuka.
Jafran menunduk, menyadari sesuatu: ada rasa ingin memilikinya yang tumbuh lebih cepat daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia bukan pria yang terbiasa terpikat hanya oleh senyum atau percakapan singkat, tapi Zumena berbeda. Setiap kata yang keluar dari mulutnya, setiap gerakan kecilnya, membuat Jafran ingin lebih dekat, ingin mengetahui lebih banyak, bahkan ingin menjadi bagian dari dunianya—meski ia belum tahu risiko yang menanti.
Ia menatap layar ponselnya, hampir tergoda untuk mengirim pesan pertama. Namun, ia berhenti. Ada rasa hormat yang membungkus ketertarikan itu; ia tidak ingin terburu-buru. Ia ingin pendekatan yang lebih perlahan, yang membuat Zumena merasa nyaman dan bukan terpojok.
Namun malam itu, kesabaran Jafran diuji. Setiap bayangan, setiap suara kecil dari lorong apartemen, seolah mengingatkannya pada Zumena. Ia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ada sensasi aneh: campuran penasaran, gairah, dan ketertarikan yang tak bisa diabaikan.
Ia berdiri, berjalan ke meja kerjanya, menyalakan laptop, mencoba menyibukkan diri. Tapi layar putih yang terbuka di hadapannya tidak membantu. Bahkan dokumen bisnis dan laporan proyek tidak bisa menyingkirkan bayangan wanita itu. Ia berhenti mengetik, menatap layar kosong, lalu menutup laptop dengan frustrasi.
“Kenapa aku seperti ini? Kenapa satu pertemuan dan beberapa jam percakapan bisa membuatku … gila?” gumamnya, tangannya menepuk meja dengan lemah.
Ia kembali ke ranjang, berbaring, menatap langit-langit. Setiap detail Zumena seolah menempel di retina mentalnya: senyum tipis, tatapan mata yang hangat namun misterius, cara dia meneguk teh dengan anggun, bahkan kata-kata ringan yang ia ucapkan tentang Zola dan acara sosial. Semua itu menciptakan citra Zumena yang sempurna dalam pikirannya—dan setiap kali ia mengingatnya, jantungnya berdegup lebih cepat.
Jafran menutup mata, mencoba memanggil kembali rasa dingin dan tenang yang biasa ia miliki. Namun itu sia-sia. Zumena telah meninggalkan jejak, dan jejak itu membekas terlalu dalam. Ia merasa ada magnet yang menariknya semakin dekat, dan ia sadar: malam ini, ia telah terjebak.
Terjebak dalam daya tarik yang tidak bisa ia jelaskan, dalam rasa ingin tahu yang mendesak, dan dalam ketertarikan yang bisa jadi berbahaya—tapi tetap membuatnya tidak ingin menjauh.
Ia menarik selimut lebih rapat, mencoba tidur, tapi pikirannya terus berputar. Bagaimana bisa seorang wanita membuatnya merasa begitu hidup hanya dengan beberapa jam percakapan? Dan bagaimana ia bisa tetap tenang jika ia tidak tahu apa yang menanti di balik senyumnya yang misterius itu?
Saat jam di meja samping berdetak pelan, Jafran merasakan ketegangan yang aneh: campuran keinginan, penasaran, dan ketertarikan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Malam itu, ia tidak hanya terjaga oleh bayangan Zumena, tapi oleh dorongan untuk mengetahui lebih banyak, untuk mendekat, untuk mengerti siapa wanita ini sebenarnya.
Di ujung kesadaran, Jafran tersenyum tipis sendiri. Ia tahu malam ini hanyalah awal. Awal dari sesuatu yang lebih besar, yang bisa mengubah hidupnya—dan mungkin juga hidup wanita itu. Ia merasa terikat oleh magnet tak terlihat, dan entah bagaimana, ia tidak ingin melepaskannya.
Sebelum akhirnya mencoba memejamkan mata, satu pikiran terakhir memenuhi benaknya: “Aku harus mengenalmu lebih jauh, Zumena. Aku harus mengetahui segala sesuatu tentangmu … bahkan jika itu berisiko.”
***
Paginya, kantor Abimana Group dipenuhi suara mesin kopi, ketukan keyboard, dan deru AC yang stabil. Namun bagi Jafran, semuanya terasa seperti latar belakang yang samar. Pikirannya tidak berada di ruang kerja yang rapi dan modern itu. Ia duduk di belakang meja besar, menatap dokumen laporan keuangan, namun matanya kosong.
“Pak Jafran, laporan kuartal ini sudah selesai, mau saya bawa ke ruang rapat?” tanya Asisten pribadinya, Nadia, suara lembut tapi penuh perhatian.
Jafran menoleh sebentar, menatap wajah Nadia yang profesional. Ia tersadar bahwa Nadia menunggu jawaban darinya. “Ah … iya, bawa saja. Nanti aku akan periksa lagi sebelum rapat,” jawabnya sambil tersenyum tipis, namun senyum itu tidak sepenuhnya tulus.
Begitu Nadia meninggalkan ruangannya, Jafran menunduk lagi pada dokumen, mencoba fokus pada angka dan grafik. Tapi bayangan Zumena Sanders terus menghantuinya. Setiap gerakan anggun, senyum tipis, bahkan suara lembutnya di lounge hotel semalam terus berulang di kepalanya.
Ia menepuk meja dengan frustrasi, menarik napas panjang. “Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?” gumamnya sendiri, suara hampir tenggelam oleh deru AC.
Pikirannya melayang ke momen saat mereka bertukar nomor di lounge hotel. Jafran masih ingat rasa dingin yang menyusup ke punggungnya ketika ia menekan tombol ‘kirim’ di ponsel, mengirim pesan pertama yang sangat netral tapi penuh harap. Ia tidak ingin terburu-buru, tapi ada dorongan dalam dirinya yang ingin segera mendengar balasan.