(++) Malam Yang Liar.

1190 Kata
“Ahhh … Jafran ….” Suara Zumena serak, penuh campuran malu dan gairah. Jafran tersenyum tipis, mencondongkan tubuh, bibirnya nyaris menempel di telinga Zumena. “Rasakan ini … setiap detik aku di sini, hanya untukmu, Mena,” bisiknya, suaranya serak dan menggoda, napas hangatnya menelusup ke kulit lehernya. Zumena menelan ludah, jantungnya berdegup kencang, tubuhnya hampir tak bisa menahan diri dari sentuhan yang semakin dekat itu. “Jafran … jangan … ahhh ….” Suara yang hampir putus, tapi ia tidak menolak. Malah menutup mata, menyerah pada dorongan yang membara. Jafran memejamkan mata ketika dia menghisap puncak bukit kembar milik Zumena. Suara rintihan wanita itu menjadi alunan yang paling seksi dan membakar gairahnya. Zumena menggeliat, desahan lebih terdengar sekarang. “Ahhh … Jafran … aku ….” Suara putus, tubuhnya bergetar hebat. Detik demi detik, mereka semakin liar. Zumena mulai menggenggam kemeja Jafran, menarik tubuhnya lebih dekat. Jafran mencondongkan diri, lidahnya kembali menjelajah leher dan bahu, tangannya meraba pinggang, lalu perlahan turun ke pinggul sampai mengusap area sensitif yang sejak tadi sudah basah. Jemari Jafran bermain lincah di sana membuat sang empunya tidak bisa menahan suaranya. "Ahhh ... Jafran ... Aku—” Zumena ridak bisa meneruskan kalimatnya, tubuh meliuk-liuk mengikuti permainan tangan Jafran. Jafran menarik tangannya yang sudah basah dan menunjukan pada Zumena cairan yang menempel di jari Jafran. Jafran menatapnya, mata tajam namun hangat. “Kamu sudah basah, Mena,” jawabnya, panggilan itu membuat Zumena terpaku. Tubuhnya bergetar, ia menyerah sepenuhnya pada Jafran. Lambat tapi pasti, tangan Jafran menelusuri bagian dalam paha Zumena. Zumena terkejut sebentar, tapi napasnya memburu, tubuhnya menekan lebih erat ke dadanya. “Jaf … ahhh … di sini …,” desahnya, setengah malu, setengah menikmati. Jafran mencondongkan tubuh lebih jauh, bibirnya meninggalkan jejak panas ke tulang selangka, lalu turun ke d**a. Tangan kiri menahan kepala Zumena, tangan kanan terus menjelajah, perlahan menyentuh bagian paling sensitif di bawah rok mini. Zumena menekannya, tubuhnya bergetar hebat. “Aku … tidak bisa … tahan … Jafran …,” desah Zumena kini penuh gairah, gemetar hebat. Jafran tersenyum tipis, mendengar desah itu membuatnya semakin ingin menguasai malam. “Aku akan membuatmu merasakan semuanya … aku ingin kamu milikku,” bisiknya, sebelum akhirnya memposisikan tubuhnya dengan hati-hati. Dengan sedikit gerakan, Jafran masuk ke dalam Zumena—lambat, penuh kendali, membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Zumena menjerit pelan, menahan desahan yang hampir pecah. Napas mereka berpadu, tangan saling meraba, bibir saling menempel. “Ahhh … Jafran … lebih … ahhh ….” Zumena tak bisa berkata banyak, tubuhnya gemetar hebat. Gerakan demi gerakan, mereka terhanyut. Setiap hentakan di mobil sempit terasa intens, setiap sentuhan makin membakar. Zumena menggenggam bahu Jafran, menahan tubuhnya saat gelombang kenikmatan datang, tapi Jafran tetap memimpin dengan d******i yang halus namun jelas. “Mena … aku ingin kamu merasakan semuanya … milik ku,” bisik Jafran, napas berat menyentuh wajahnya. Zumena menekannya lebih dekat, erangannya semakin tak tertahan. Tubuh mereka bergetar bersamaan, napas memburu, detak jantung berpacu. Mobil menjadi saksi malam liar yang penuh gairah dan kehangatan, setiap sentuhan, setiap ciuman, setiap desahan—mereka membakar satu sama lain. Akhirnya, klimaks menghampiri mereka hampir bersamaan. Zumena menjerit pelan, tubuhnya menggeliat di d**a Jafran. Jafran merasakan gelombang itu, menahan diri sebentar, lalu mereka berdua jatuh ke pelukan masing-masing, tubuh masih menempel, napas tak teratur. Zumena menunduk, menyandarkan kepala ke d**a Jafran, mendengar detak jantungnya yang menenangkan. “Aku … aku takut,” bisiknya, suara lembut tapi masih gemetar. Jafran mengusap rambutnya lembut, menenangkan. “Tak ada yang perlu kau takutkan, Mena. Aku di sini … hanya untukmu.” Detik-detik berlalu dalam keheningan hangat. Tubuh mereka masih lengket, tapi perasaan kini bercampur antara gairah dan kedekatan emosional yang baru lahir. Zumena menoleh, tersenyum tipis. “Aku … aku ingin kamu dekat … tapi kita harus hati-hati.” Jafran menatapnya, memeluk lebih erat. “Aku akan selalu ada untukmu … Mena,” ucapnya, suara berat tapi lembut, memastikan malam ini tak akan terlupakan. Mobil yang sempit tetap menjadi saksi malam liar mereka—bukan hanya dari tubuh, tapi juga dari hati yang mulai menaut. Dua jiwa yang saling tertarik, kini menemukan satu sama lain dalam campuran hasrat, ketegangan, dan kehangatan yang tak akan pernah mereka lupakan. *** Setelah beberapa menit membiarkan tubuh mereka rileks, napas mulai stabil, Zumena perlahan menarik napas dalam dan menata kembali pakaiannya. Jafran, di sisi lain, juga menyesuaikan jas dan kemejanya, menyeka sedikit keringat di dahi, tapi matanya tak lepas dari Zumena. Ada kehangatan tersisa yang tak mudah hilang, getaran yang masih terasa di udara sempit mobil itu. “Sudah … cukup tenang?” tanya Jafran, suaranya berat tapi lembut, hampir seperti ingin memastikan Zumena baik-baik saja. Zumena mengangguk, menatap lurus ke depan, rambutnya masih sedikit berantakan tapi menambah pesona yang membuat Jafran tak bisa berhenti menatap. “Ya … aku rasa sudah,” jawabnya, suaranya halus tapi tegas, memberi batas yang jelas sekaligus tetap hangat. Jafran menarik napas panjang, menyalakan mesin mobil. Lampu interior menyinari wajah mereka sebentar, menciptakan bayangan lembut di sekelilingnya. Ia memutar stir perlahan, memastikan jalanan aman, sebelum mulai mengendarai mobil keluar dari hotel. Zumena duduk tegak, tangannya di pangkuan, masih menahan gairah yang tersisa. Ada rasa panas yang menyelimuti tubuhnya, tapi juga ketenangan karena tahu Jafran menghormati batasnya sekarang. Setiap kali matanya bertemu dengan tatapan Jafran, ada percikan yang sama seperti malam tadi—panas, liar, tapi juga penuh pengertian. Mereka melewati jalanan kota yang sepi, hanya lampu jalan yang memantul di aspal basah. Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah, dan udara dingin yang masuk dari ventilasi mobil sedikit menenangkan ketegangan yang masih tersisa. Jafran menoleh sebentar ke Zumena. “Kamu ingin … sesuatu untuk diminum? Kopi atau air?” tanyanya, nada suaranya ringan, mencoba mengalihkan ketegangan. Zumena tersenyum tipis, sedikit menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku … hanya ingin pulang,” jawabnya. Suaranya tenang, tapi ada getaran halus di nada itu, seperti masih membawa sisa malam yang membara. Jafran mengangguk, memahami tanpa kata-kata. Ia kembali fokus pada jalanan, tapi matanya tak lepas dari sisi Zumena yang terlihat begitu anggun, lembut, dan… memikat. Ada sesuatu yang berbeda dari malam ini—lebih hangat, lebih dekat secara emosional, meski tubuh mereka baru saja melewati gairah liar. “Jangan khawatir, Mena … aku akan mengantarmu sampai apartemen,” ucap Jafran, suaranya rendah tapi tegas, memberi rasa aman. Zumena hanya menatap lurus ke depan, menahan diri untuk tidak menoleh terlalu sering. Ia tahu setiap detik di mobil bersama Jafran adalah campuran antara ketegangan, kehangatan, dan rasa penasaran yang sulit ia jelaskan. Perjalanan berlangsung tenang, hanya suara mesin mobil dan dentingan hujan semalam yang tersisa di jalanan basah. Jafran sesekali melirik Zumena, memastikan ia nyaman, sementara Zumena menahan rasa ingin menoleh, ingin tersenyum, ingin mengekspresikan sesuatu tapi tetap menjaga jarak. Saat gedung apartemennya mulai terlihat, Zumena menelan ludah. Ada rasa campur aduk—hangat karena masih bersama Jafran, tapi juga sedikit waswas karena tahu malam ini bukan sekadar malam biasa. Ia harus menjaga rahasia dan batasannya, meski hati kecilnya berontak ingin lebih. Jafran memperlambat mobil, menepikan di depan lobi. Lampu lorong menyala, bayangan orang lalu-lalang samar terlihat dari kaca apartemen. Ia menatap Zumena dari sisi kemudi, mencoba membaca ekspresinya tanpa menekan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN