Lima

1102 Kata
Minuman teh itu sudah Ratna siapkan setelah Arsya bermain di alam mimpi. Dengan semangat Ratna mulai melangkah sambil membawa minuman itu ke arah pintu kamar yang ditiduri Tuannya. Jam sudah menunjuk angka 10 malam. Sebenarnya Ratna merasa lelah bila harus melakukan pekerjaan sambilan ini. Biasanya jam 10 ia sudah mengistirahatkan tubuhnya dari beban berat pekerjaan. Tetapi demi ayah dan adiknya Ratna tidak akan memedulikan rasa lelah ini. Ini jalan satu-satunya untuk bisa sukses dan mempunyai uang banyak. Sudah baik hati Tuan Bara memberikan pekerjaan sambilan ini untuknya. Hanya mengantarkan teh ini. Dan itu sangat gampang. Tok tok tok "Tuan, tehnya sudah siap." Klek Pintu terbuka dan Ratna refleks mengerjap terkejut saat melihat ketampanan Bara dengan piama kimono abu-abu yang melilit tubuhnya. "Simpan di atas nakas," ucap Bara memerintah. Ratna tidak langsung menuruti. Ada perasaan ragu yang hinggap di jiwanya saat menatap ruangan di balik punggung Bara. Apakah ia harus memasuki kamar megah itu? Kenapa Tuannya tidak mengambil minuman ini dari sini saja. Bara mengerti dengan keraguan yang menguar dalam diri Ratna. Ia mencoba untuk berbicara lagi. "Jika ingin dapat uang banyak kerjanya harus totalitas. Bawa minuman itu masuk dan simpan di atas nakas." Ratna tersadar. Ia segera menggangguk dan melangkah pelan melewati tubuh Bara yang menyingkir mempersilakan. Bara menarik sudut bibirnya ke atas ketika Ratna sudah masuk ke dalam kamarnya dengan cepat ia menutup pintu dan menguncinya. Ratna menaruh minuman lalu menatap Bara yang tengah melangkah ke arahnya. "Apa pekerjaan sambilan saya sudah selesai Tuan?" Bara menggeleng sebagai jawaban. Tanpa perizinan, Bara meraih tubuh Ratna dalam gendongan dan menjatuhkan tubuh gadis itu di atas kasur membuat Ratna memekik kaget. "Membuat minuman teh hanya sebagian. Pekerjaan sambilanmu yang sebenarnya di sini. Memuaskan hasratku." Tidak bisa ditahan kini kedua mata Ratna terbelalak lebar, mencoba menyingkirkan tindihan Bara di atas tubuhnya dengan gerakan percuma. Bara mencekal pergelangan Ratna. Dan membawa kedua tangan itu ke atas kepala. "Diam Ratna. Kamu sayang sama ayah dan adikmu kan?" Ratna terdiam. Apa maksud Tuannya tentu saja Ratna sayang. Jika tidak menyayangi mereka untuk apa Ratna berada di sini. "Ratna sangat sayang bapak dan Siti." Bara tersenyum mendengar gumaman sedih yang keluar dari mulut Ratna, dalam hati Bara mensyukuri Ratna mulai tejerumus terhadap rayuan yang dimuntahkan mulut iblisnya. "Jika begitu bahagiakan mereka. Ayah dan adikmu pasti bahagia jika kamu memberikan uang yang banyak untuk mereka. Caranya seperti ini. Bekerja sambilan, melayani nafsuku. Dan kamu akan mendapatkan uang yang banyak." Bola mata Ratna terlihat bergulir gelisah. Gadis ini pasti sedang berpikir antara menghentikan dan menerima tawarannya. Wanita miskin seperti Ratna pasti susah antara memilih uang dan harga diri, kan? Kaum seperti mereka terlalu kelabus dengan tumpukan harta. "T-tapi Tuan-" "Aku tidak akan menyakitimu." Bara meyakinkan lagi. "Tapi ... " Ratna menatap mata Bara tak mengerti. "Melayani nafsu itu seperti apa Tuan, apa seperti kemarin saat Tuan memakan bibir saya?" Bara balas menatap tatapan polos Ratna di bawahnya. Astaga, ternyata gadis ini tidak mengerti sama sekali apa yang ia maksudkan. Lalu kenapa gadis ini menangis histeris dan berusaha melawan seperti reaksi gadis yang akan di perkosa. Sampai Bara mencoba memberikan rayuan untuk Ratna. Agar gadis udik ini sedikit bisa terhasut. Dan mau disetubuhi olehnya. Bara mengusap pipi tirus itu dengan lembut. "Kupastikan pekerjaan ini sangat enak. Memang melelahkan tetapi kamu juga akan menikmatinya." Kening Ratna semakin mengerut tanda masih tak mengerti. Bara memutar kedua bola matanya malas. Bara ingat wanita yang sedang dia ajak diskusi adalah gadis desa yang bodoh dalam mengartikan sesuatu. Tidak mungkin Ratna bisa segampang itu mengerti dengan perkataan yang barusan ia lontarkan. "Sudah, kamu nurut saja. Yang penting kamu dapat uang banyak kan? Buat pengobatan dan makan ayah adikmu. Jadi kerjaan kamu hanya diam, dan nikmati apa yang aku lakukan. Jangan membantah okay." Meskipun sama sekali tak mengerti Ratna mencoba mengangguk walau ragu. Melihat respons itu Bara tersenyum menang. Ia butuh pelampiasan sekarang. Tanpa pikir panjang Bara langsung mencium bibir Ratna. Kemudian mulai melakukan aksi bejatnya. Menodai tubuh Ratna dengan embel-embel pekerjaan sambilan untuk membantu perekonomian keluarganya. *** "T-tuan bukan kah hal ini dosa. S-saya tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini Tuan." Cegah Ratna saat Bara mulai melucuti bagian pakaian yang dikenakan Ratna. Bara terlihat tidak suka dengan jawaban Ratna. "Tidak bisa. Kita sudah setengah jalan. Mana bisa dihentikan." "Ta-tapi-" "Ssst, aku tidak mau mendengar penolakan. Kamu sudah menyetujuinya dan pekerjaan kamu harus tetap di lanjutkan." Bara tidak mau mendengarkan ocehan Ratna lagi. Ia langsung menyumpal mulut itu dengan ciuman panas. *** "Papah." Tok tok tok "Papah." Suara ketukan dan suara balita di balik pintu berhasil membangunkan seseorang yang masih terbaring di balik selimut. Ratna mengerjap, menyipitkan matanya kala cahaya matahari berpijar ke arah matanya. Terasa menyilaukan sampai Ratna menutupi matanya dengan punggung tangan. Suara Arsya semakin terdengar nyaring seketika Ratna tersadar anak itu sudah bangun. Ya ampun bagaimana bisa dia kesiangan seperti ini. Ratna buru-buru bangun dari berbaringnya kemudian napasnya tersentak kaget saat melihat selimut yang menutupi tubuhnya jatuh. Dan ia menemukan tubuhnya bugil tanpa sehelai benang. Ratna melirik ke arah samping ranjang. Tuan Bara masih terlelap di sebelahnya dan lelaki itu sama telanjang seperti dirinya. Ratna refleks menutup matanya. Menggeleng, mengenyahkan bayang menyeramkan semalam. Lalu bergegas turun dari ranjang. Memunguti serpihan pakaiannya untuk dipakai kembali. Ringisan Ratna terdengar saat area bawahnya berdenyut ketika kakinya melangkah. Ratna menggigit bibir bawahnya. Terasa sangat sakit. Namun ia tidak mungkin mengabaikan Arsya yang sudah terbangun dari tidurnya. Tetap memaksakan berjalan meskipun langkahnya terpincang-pincang. Clek Pintu kamar Bara terbuka dan tatapan bingung Arsya yang kini di dapatkan Ratna tertuju ke arahnya. "Mba Latna kok ada di kamal papah?" Pertanyaan bernada polos itu membuat Ratna terdiam. Dia memikirkan rangkaian kata kebohongan apa yang harus ia muntahkan. "Mba abis beres-beres kamar, Den," ucap Ratna. Dan anak kecil itu hanya ber oh ria. "Papah udah bangun belum Mba?" "Belum papah masih bobo." Raut wajah Arsya terlihat murung. "Padahal ini hali libul. Biasanya papa suka ajakin Alsya main ke mall." Ratna melihat kemurungan itu langsung menghampiri Arsya dan memangku balita itu di tubuhnya. "Yasudah Arsyanya mandi dulu. Terus nanti kita bangunin papa Arsya buat ajakin Arsya main ke emol ya." Kening Arsya berkerut sambil menatap cengiran Ratna. "Alsya mau ke mall mba. Bukan emol." "Nah itu maksud Mba. Ke mol. Sekarang Arsyanya mandi dulu ya." Arsya langsung mengangguk antusias. "Iya Mba Latna. Alsya mau mandi sekalang." "Anak pinter." "Ih Mba cakit tau jangan cubit pipi Alsya." "Iya deh Mba diem." Ratna tersenyum tipis. Sedikit meringis saat rasa ngilu kembali terasa di selangkangannya. Ia harus tetap bertahan. Demi keluarganya di desa. Ratna harus bisa membahagiakan Ayah dan adiknya. Dengan menerima pekerjaan sambilan ini. Mungkin akan membuat kehidupan keluarganya menjadi lebih baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN