Enam

1118 Kata
Bara memperhatikan langkah Ratna yang tak biasa. Ia sadar bahwa Ratna sedang kesakitan, dan rasa sakit itu akibat ulahnya. Mempercepat langkahnya menyusul Ratna yang tengah berjalan sadikit pincang ke arah dapur. Tadi setelah mandi ia sengaja keluar sebentar untuk membeli sesuatu. Dan kini sesuatu yang di beli Bara tersimpan baik di atas pantry di dekat jemari Ratna yang sedang memotong buah. "Minum obat ini." Suara Bara memerintahkan, kemudian sebuah amplop cokelat ikut terulur dan bergabung, bersejajar dengan obat yang diberikan Bara. "Dan ini upah sambilanmu." Ratna melirik amplop coklat berisi tumpukan rupiah itu. Dengan ragu Ratna membukanya dan melihat lembaran berwana merah menumpuk di sana. Mata Ratna sampai melotot sangking kagetnya. "T-tuan ini banyak sekali." Bara hanya mengukir senyum tipis. Sudah terbiasa raut seperti itu diperlihatkan padanya. Raut wanita miskin yang sangat murahan. Terlihat sekali Ratna cukup berbinar senang melihat tumpukan uang di tangannya. "Itu belum semuanya. Aku akan memberikan yang lebih banyak jika nanti malam kamu mau bekerja sambilan lagi." Ratna diam. Ia tidak bisa menjawab omongan Tuan Bara kali ini. Malam ini terlalu cepat jika ia harus bekerja sambilan lagi, pekerjaan itu sangat menyakitkan sekaligus melelahkan, tubuhnya belum siap jika harus kembali melakukan pekerjaan tersebut. "T-tapi Tuan tubuh saya masih sakit." Ah ya Bara lupa jika semalam ia mengambil keperawanan Ratna. Jelas tubuh wanita ini masih belum bisa menerima kunjungannya. Terlebih Ratna masih berusia di bawah umur. Terlalu berisiko jika ia menyetubuhinya lagi. "Baiklah, pekerjaan sambilanmu kita lanjutkan setelah sakitmu sembuh. Aku akan menunggunya." Ratna terlihat mengangguk mengerti dan tatapan Bara kembali terfokus pada sebuah pil yang ada di atas meja pantry. "Jangan lupa minum obatnya. Aku akan keluar dulu sebentar bersama Arsya. Kamu jaga rumah ini baik-baik. Nanti ada tukang kebun yang akan datang ke rumah ini, kamu langsung suruh aja dia bersihkan tanaman yang ada di teras depan," ucap Bara panjang lebar dan Ratna mengangguk lagi sebagai jawaban. "Baik Tuan." Bara meraih kepala Ratna dan menyatukan bibir mereka kembali. Sedikit melumat bibir ranum itu dan mengulumnya dengan kuat. Benang saliva tercetak jelas saat Bara melepaskan. Lelaki itu kemudian tersenyum sambil mengusap bibir Ratna pelan. "Aku pergi." Lalu melangkah keluar dari dapur meninggalkan Ratna yang tediam ditempat. Melirik uang yang diberikan Bara, dan bening matanya terlihat sedih. Ibu maaf, Ratna mengecewakan amanat Ibu. *** Ratna terdiam dikamarnya dengan gelisah. Ia masih fokus menatap tumpukan uang merah di atas kasurnya dan bingung harus berbuat apa untuk mengirimkan uang ini untuk orang tua dan adiknya. Ratna memang sempat meminta nomor rekening tetangga yang kebetulan mempunyai atm dari perkebunan kelapa sawit tempat tetangganya bekerja. Tetapi Ratna bingung cara mengirim uang ini untuk sampai ke nomor rekening tetanggnya harus bagaimana. "Ah aku ndak tau caranya. Harusnya tadi tanya ke Tuan. Bapak pasti senang kalau Ratna kirim uangnya hari ini." Wajah Ratna masam ia kecewa tidak bisa mengirimkan uang banyak ini langsung ke desanya. Ting tong Ratna terkejut dari rasa kecewanya. Ia mengingat tadi Tuan Bara mengatakan akan ada yang datang. Mungkin tukang kebun yang dimaksud Tuannya sudah ada di depan rumah. Buru-buru membereskan uangnya kembali dan menyimpannya di tempat aman. Setelah itu Ratna bergegas menghampiri pintu utama. Membukanya perlahan, lalu tertegun. "Mas Amar?" Lelaki yang disebutkan namanya itu tersenyum ke arah Ratna. "Halo Na, kita bertemu di sini." . . . "Mas Amar kok ada di sini? Ndak kerja di perkebunan sawit lagi toh Mas?" Ratna memberikan minuman, kopi hitam panas beserta sirup dingin untuk laki-laki yang sedang berkeringat di depannya. Ada cemilan juga yang Ratna selipkan di piring kecil. Menaruh nampan itu di meja bundar, letaknya tepat di teras menghadap kebun bunga dan tanaman hias yang sedang lelaki itu kerjakan. Amar ikut berteduh, terduduk di kursi lalu tersenyum ke arah Ratna. "Mas sengaja pengen nyusul kamu." Ratna mengerutkan kening. "Loh Mas … sayang pekerjaan kamu di kampung. Masa jadi tukang kebun begini." Amar adalah salah satu tetangganya. Berusia 21 tahun. Namun pria ini cukup Bagus dalam hal pekerjaan. Ia menjadi mandor di sebuah perkebunan sawit dan kemarin kalau tidak salah jabatan Amar sudah setingkat lebih maju jadi kepala bagian. Ratna terkejut sekarang Amar malah menyusul dirinya ke Jakarta menjadi tukang kebun. "Enggak papa. Aku hanya takut, kamu kenapa-napa Na. Kamu kan baru pertama kali pergi kerja di Jakarta. Masih asing sama suasananya." Ratna terkekeh kecil. "Mas jangan khawatir, di sini baik-baik kok Mas. Majikanku juga Tuan Bara sangat baik bahkan aku punya pekerjaan sambilan di sini ndak hanya kerja beres-beres rumah aja." Tatapan Amar kini tertuju ke arah Ratna. Lelaki itu tidak terlalu mengerti pekerjaan apa yang sedang Ratna kerjakan. Bukannya Ratna ke sini untuk jadi pembantu. "Kerja sambilan apa?" Ratna terdiam ia sadar mulutnya sudah keceplosan. Tuan Bara semalam mewanti-wanti untuk tidak mengatakan jenis pekerjaan sambilannya pada orang lain. Ratna langsung memperbaiki kesalahannya. "Kerja sambilan jadi pengasuh anaknya Tuan. Den Arsya. Soalnya majikanku duda anak satu." Amar terlihat memincing mendengar kalimat duda yang sedang Ratna ucapkan. "Apa? Dia duda?" "Iya Mas, Tuan Bara duda." "Jadi kamu tinggal bertiga di sini sama majikan yang bersetatus duda?" Ratna mengangguk. "Iya Mas." "Apa majikanmu tampan?" Ratna menelan keantusiasan saat menjawab pertanyaan. Sedikit heran mengapa Amar menanyakan wajah Tuannya. "Tuan Bara sangat tampan Mas melebihi artis bule yang namanya amis daun. Eh hamish daud maksudku." Helaan napas Amar terlihat tidak baik. Tanpa diduga lelaki itu mulai membereskan perlengkapan berkebunnya membuat Ratna sedikit kaget. "Loh Mas mau ke mana?" Amar terlihat menampilkan senyum tipis pada Ratna. Lalu menyentuh bahu gadis itu dengan lembut. "Pekerjaan Mas sudah selesai. Kamu jaga diri baik-baik di sini. Ingat, meskipun majikanmu tampan kamu tidak boleh menyukainya ya." Ratna mengerjap mendengar perintah mutlak dari mulut lelaki di depannya. Amar adalah salah satu laki-laki yang sudah sering mengungkapkan Cinta pada Ratna. Lelaki itu sedikit cemburu saat Ratna mengatakan ketampanan majikannya dengan antusias dan lebih menyebalkan status majikan tampan itu adalah seorang duda. Amar tidak mau kehilangan Ratna. Jika ia orang kaya sudah ia nikahi Ratna dari usia dia 15 tahun. Sayangnya Amar masih mempunyai adik yang sedang butuh biaya untuk kebutuhan kuliah. Amar banting tulang sampai saat ini bukan hanya karena dia tulang pungguk keluarga ia juga menjadi tumpuan dari adiknya. Amar sangat ingin melihat adik perempuannya sukses menjadi seorang perawat rumah sakit. Kadang jika ada uang lebih Amar suka menyelipkan untuk Ratna. Untuk gadis itu membeli beras dan lauk untuk dimakan sekeluarga. Dan sekarang mendapat kabar Ratna bekerja sebagai pembantu di kota membuat Amar menjadi cemas. Ratna adalah gadis polos. Dan ia takut kepolosan Ratna dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. "Kamu sudah janji mau menikah sama Mas. Jadi jangan menyukai pria lain. Kamu hanya milik Mas." Milik Amar. Dari dulu Ratna hanya miliknya. Tidak boleh ada yang memiliki Ratna selain dirinya. Dan Ratna hanya bisa melongo melihat kepergian Amar. Bersambung..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN