"Jadi gimana kerja Ratna sekarang apa dia mengerjakannya dengan baik?"
Pertanyaan dari Regan memburu jawaban Bara yang masih bungkam. Bara sendiri masih fokus dengan lelehan ice cream yang terdapat di area mulut putranya.
Membersihkannya dengan tissue ketika tissue bersih itu sudah berubah menjadi seonggok sampah Bara langsung menaruhnya ke atas meja lalu menatap Regan.
"Untuk sekarang dia cukup baik tidak merepotkan."
Tatapan Regan memincing meneliti ekspresi Bara yang sangat berbeda ketika mengatakan itu. Sebenarnya sedari tadi Regan perhatikan wajah sahabatnya ini terlihat sangat cerah sekali seolah semalam duren sawit ini mendapatkan uang lotre yang begitu menumpuk di kamarnya.
"Bagus lah jika begitu. Gue gak perlu repot bilang ke nyokap tentang kepulangan Ratna. Kasian gue Bar, gadis sekecil Ratna harus nanggung beban hidup sebesar itu. Gue kalau gak mikir hidup terjal Ratna udah gue celap-celup dah. Tubuh mungilnya sangat menggiurkan biasa lah daya tarik gadis desa sama gadis kota suka beda."
Tiba-tiba saja Bara tersedak minuman yang sedang di nikmatinya setelah Regan menyelesaikan kalimat membahas Ratna. Bara seperti tersindir dengan ucapan Regan karena sudah memanfaatkan keprihatinan gadis itu untuk melayani nafsu bejatnya.
"Kalau minum itu santai dikit napa jangan ke orang gembel yang baru nemu air. Malu-maluin temen aja lo."
Regan menggerutu sambil menyodorkan kotak tissue ke arah Bara yang masih terkejut dengan indera pendengarannya.
Bara menyambar tissue itu lalu tangannya membereskan kekacauan yang disebabkan mulutnya. Ia kemudian mendesahkan napas pelan. Tenggorokan nya langsung terasa sakit karena tidak berhenti terbatuk sedari tadi.
Shit! Menyebalkan!
"Sudahlah jangan bahas Ratna terus. Gue pusing dengerin cerocosan mulut lo."
Regan mencibir mendengar keketusan mulut Bara. "Okay, gue ngebahas yang lain aja. Istri lo, eh maksud gue mantan istri lo terus nelor, nanyain lo punya pacar atau enggak. Sepertinya Jihan masih Cinta dan gagal move on dari lo."
Bara mengedikkan kedua bahunya acuh. Jelas jika Jihan tidak bisa move on. Wanita itu mengejarnya semasa Bara masih duduk di bangku SMA. Dan mendapatkan balasan Cinta darinya saat sudah memasuki masa kuliah.
Bara memutuskan untuk menikah 4 tahun lalu karena ia di desak orang tua untuk memberikan cucu. Saat itu ia sedang menjalin hubungan dengan Jihan hingga Jihan lah yang berakhir menjadi istri dan mengandung darah dagingnya.
Tetapi setelah Jihan melahirkan anaknya entah kenapa hormon seksual yang biasanya menggebu menjadi redup. Di teruskan pun malah membuat Bara frustrasi sehingga ia memutuskan untuk menceraikan Jihan dan menyuruh wanita itu memilih lelaki yang lebih baik.
"Gue gak bisa kembali sama Jihan. Kita memutuskan untuk menjadi sahabat meskipun status kita hanya pertemanan gue mau pun Jihan tetap berusaha buat jadi orang tua yang terbaik untuk Arsya."
Regan mengangguk mengerti. Ia sudah lama mengenal Bara dan menjadi sahabat karibnya. Regan tahu betul bagaimana perasaan Bara untuk Jihan. Bara pernah bilang bahwa alasan ia menerima Cinta Jihan karena ia merasa kasihan bukan karena jatuh Cinta.
"Jadi sekarang. Lo punya pacar gak?"
"Enggak!"
"Ah lo payah. Punya muka ganteng gak dimanfaatin. Mubadzir."
"Gak masalah karena hidup gue udah sempurna. Gue udah pernah nikah, dan sekarang gue sudah punya anak. Sedangkan lo sudah tua bangka kayak gini gak nikah-nikah, gak kasian sama tante Devi. Nyokap lo udah pengen nimang cucu."
Regan mengembuskan napasnya kesal. Sialan Bara malah membahas hal yang sangat tidak disukai Regan. Regan sangat tidak suka jika ia harus menikahi wanita yang tidak dia cintai. Meskipun pacarnya banyak tetapi sama sekali tidak ada sedikitpun rasa Cinta untuk mereka.
Regan tidak suka komitmen apalagi menikah. Hanya membuang waktu saja.
"Udah ah males banget ngobrol sama lo. Ayo boy kita main ke timezone."
Bara hanya bisa melongo melihat Regan dengan tanpa permisi membawa Arsya dalam gendongannya.
Lelaki itu pasti sedang kesal karena Bara membahas pernikahan dan menyuruhnya untuk menikah. Regan adalah manusia laknat yang tidak pernah ingin menjadi seorang suami dan ayah dalam hidupnya.
Regan sangat anti jika obrolan mereka sudah menyangkut pernikahan.
Pria itu pasti akan langsung kabur.
Seperti ini.
***
Ratna menaruh beberapa mangkuk yang sudah terisi makanan lezat di atas meja makan. Matanya melirik ke arah jarum jam yang terdapat di dinding rumah Bara.
Sudah jam 8 malam. Kenapa Tuannya dan Arsya belum pulang ya?
Ting tong
Seketika lamunan Ratna buyar saat suara bel terdengar.
"Pasti itu Tuan."
Bergegas menghampiri pintu untuk membukanya. Dan benar Ratna menemukan Bara sedang menggendong Arsya, anak itu tertidur.
"Tuan, biar saya yang gendong."
Ratna berencana membantu Bara yang kerepotan dengan bungkusan di tangannya dan Arsya di gendongannya. Namun Bara malah menyahut,
"Kamu bawa makanan ini aja. Siapkan di meja makan."
Mau tidak mau Ratna mengangguk patuh. "Baik Tuan."
Setelah memberikan bungkusan makanan di tangannya. Bara langsung masuk dan melangkah menaiki tangga. Menidurkan Arsya di kamarnya. Terlalu banyak bermain membuat Arsya kelelahan dan tertidur di perjalanan pulang.
Bara kembali lagi ke tempat di mana Ratna berada. Gadis itu, ah Bara lupa Ratna sudah tidak menjadi gadis lagi sekarang.
Ratna terlihat cekatan menyiapkan makanan yang sengaja Bara beli dari luar. Dari penglihatannya Bara juga melihat ada beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja makan. Kepulan uapnya masih mengepul petanda Ratna baru selesai memasaknya.
Bara melangkah pelan dan duduk di kursi makan. Ia melirik Ratna yang hendak pergi pria itu refleks menghentikan langkah kecil Ratna.
"Tunggu. Kamu sudah makan belum?"
Ratna terlihat menggeleng sebagai jawaban. "Belum Tuan."
"Yasudah duduk di sini. Makan bersama."
Gadis itu terlihat menatap ragu.
"Bukannya ndak boleh ya Tuan pembantu makan sama majikan."
"Kata siapa gak boleh?"
"Ratna sering liat di sinetron begitu Tuan."
Bara menghela napas.
"Kamu jangan sering nonton sinetron. Bukannya makin pintar kamu malah makin bodoh. Sudah sini. Kamu duduk jangan membantah."
Tatapan Bara yang menyiratkan tidak ada penolakan membuat Ratna bergidik. Ia mulai menurut, melangkah ke arah meja dan menarik kursi, duduk bersebrangan di depan Tuannya.
Ratna mencuri pandang ke arah Bara yang fokus menyantap makanannya. Ratna melihat di dalam piring Bara hanya terdapat nasi dan masakan yang ia masak saja sedangkan masakan yang Tuannya beli tidak tersentuh sedikit pun.
"Loh Tuan. Makanan yang sudah Tuan bawa kenapa ndak di makan?"
Bara menatap Ratna dengan tatapan tajam. Ratna buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk dengan sendok, memutar-mutar nasi di piringnya. Ia merasa canggung jika Bara sudah mentapnya seperti itu.
Sedetik kemudian Ratna bisa merasakan sebuah piring bergeser ke arahnya.
"Aku sengaja membeli ini untukmu. Makanlah."
Ratna mendongkak. Menatap Bara yang kini sudah fokus kembali ke makanannya.
Lalu beralih ke arah piring yang disodorkan Bara. Tenggorokan Ratna serasa mengering melihat makanan itu terlihat sangat menggiurkan.
Ratna meneliti salah satu dari 5 buah yang tersaji. Dari potongannya seperti lontong yang di potong-potong. Wah Ratna sangat suka lontong, apa lagi ini terlihat lebih cantik dengan isian dan pinggirannya di tutupi kertas hitam.
Ratna memperhatikan kertas itu, apakah kertas ini bisa di makan?
Tanpa di sadari Ratna, Bara memperhatikan tingkah gadis kecil itu. Terlihat sangat kampungan seolah belum pernah melihat makanan yang ia belikan tadi.
"Cara makan sushi di masukan semua kemulut." Bara mencomot dengan sumpit. "Seperti ini." lalu memasukan semua ke mulutnya.
Ratna melongo melihatnya. Masa dimasukan semua ke mulut. Mulut Ratna kan kecil. Emangnya muat? Dan apa namanya susi? Seperti nama temanku di kampung, susilawati.
Mungkin Ratna memang harus mencobanya. Mulai ikut menyumpit seperti Bara namun ia gagal terus sehingga sumpit itu hanya menyapit udara kosong. Ratna tak menyerah dengan wajah kesalnya ia meraih makanan itu dengan jemarinya. Dan tanpa pikir panjang langsung memasukan ke dalam mulut.
Kunyahan pertama membuat Bara merasa was-was. Ekspresi gadis udik itu tidak terbaca. Terlihat mengerut dengan mulut penuh makanan.
"Jika tidak suka, jangan dipaksakan."
"Hmppp."
Ratna berdiri dari duduknya sambil menyumpal mulut dengan tangan. Tanpa memedulikan Bara ia segera lari terbirit ke arah dapur dan memuntahkan makananya ke arah tong sampah.
Ratna buru-buru meraih air di keran wastafel membasuh mulutnya. Dan bergidik saat merasakan rasa makanan itu. Sangat tidak enak dan tidak masuk ke dalam selera lidahnya. Ratna lebih memilih memakan pete dan jengkol dari pada harus memakan makanan itu.
"Kamu tidak apa-apa?"
Ratna melirik Tuan Bara yang kini sudah ada di belakang tubuhnya. Ratna kemudian mengangguk.
"Saya ndak papa Tuan."
"Kenapa bisa sampai muntah gini?"
Bara masih belum percaya. Ia melihat sendiri tadi Ratna muntah. Bara hanya takut ada sesuatu pada tubuh Ratna. Gadis ini tidak mungkin hamil kan?
Bodoh! Mereka hanya melakukan satu kali dan itu pun Bara melakukannya saat semalam. Tidak mungkin spermanya langsung tumbuh menjadi janin. Terlebih tadi pagi Bara menyuruh Ratna untuk minum pil kontrasepsi. Ratna tidak boleh hamil. Akan mati ia di tangan Regan jika itu sampai terjadi.
"Kamu sudah minum obat yang aku berikan tadi pagi kan?"
Ratna menggangguk. "Sudah Tuan."
Napas Bara berhembus lega.
"Bagus, usahakan Setiap kamu selesai melakukan pekerjaan sambilan. Kamu harus minum obat itu. Mengerti."
Ratna menganggukan kepalanya lagi.
"Baik, saya mengerti Tuan."
Bara mengusap kepala Ratna lembut. "Jika sudah membereskan pekerjaanmu. Buatkan teh hangat dan bawa ke kamarku."
Kening Ratna langsung mengernyit, ragu apakah pekerjaan membawa teh itu adalah pekerjaan sambilan lagi. Ratna masih merasakan rasa sakitnya.
Seolah mengetahui apa yang bergelantungan di otak gadis udik ini. Bara kemudian menjelaskan.
"Jangan khawatir Ratna. Kerja sambilanmu malam ini hanya jadi guling untuk menemani tidurku. Tidak lebih. Jadi jangan memasang wajah bodoh seperti itu."
Bara meraih wajah Ratna. Dan mengecup pipi lembutnya sekilas.
"Dan basuh yang bersih mulutmu. Mungkin nanti aku akan menginginkannya."
Setelah mengatakan itu Bara melenggang pergi. Meninggalkan Ratna yang berdebar sambil mematung di tempatnya seorang diri.
Tuhan, kenapa wajah Tuan begitu tampan. Benar-benar mirip bule di TV-TV.