30. Trio

1653 Kata
Prisa duduk diam sendirian sambil memegang handphone di tangannya. Matanya terus melihat sebuah kontak di layar ponselnya entah sudah berapa lama. Setelah beberapa lama, gadis itu menarik napas dalam dan memberanikan diri untuk menelfon nomor tersebut. Jantungnya terasa semakin berdebar kencang menunggu panggilannya di angkat. "Halo, selamat malam." Prisa terdiam tak bisa langsung bicara saat panggilan tersebut diangkat oleh seorang laki-laki. "Halo? Prisa??" kembali terdengar sapaan dari seberang karena Prisa tak kunjung berbicara. "Eum, ya halo, Pak Dehan." Prisa berusaha menjawab dengan tetap terdengar tenang walaupun kini ia sedang luar biasa gugup. "Iya Prisa, ada yang perlu saya bantu?" "Apa bapak sekarang sedang sibuk? Apa saya mengganggu?" "Sama sekali tidak, ada apa?" "Saya mau bicara tentang pembicaraan kita tempo hari, pak." "Ouh, apa kamu sudah selesai memikirkannya?" Dehan langsung paham kemana arah pembicaraan Prisa. Prisa mengangguk walaupun jelas tidak akan terlihat oleh Dehan, "sudah pak, saya sangat berterima kasih karena sekarang saya benar-benar membutuhkan bantuan bapak dan Manda." "Syukurlah kalau begitu, saya ikut merasa lega mendengar keputusan kamu." "Terima kasih, pak." "Bagaimana kalau uangnya saya transfer sekarang? Barangkali kamu butuh cepat. Kamu bisa kirim nomor rekening kamu ke saya setelah ini." Prisa tersenyum kecil, "bapak dan Manda baik sekali, sekali lagi saya mau bilang terima kasih pak." "Sama-sama. Maaf saya belum sempat ke rumah sakit untuk melihat mama kamu, sebenarnya kemarin Manda sudah memaksa tapi saya benar-benar belum bisa menemaninya. Kondisi mama kamu sekarang baik-baik saja kan?" "Ya masih begitu saja pak, tidak ada perkembangan. Setelah ini rencananya saya akan langsung pakai uang yang bapak kasih untuk pengobatan selanjutnya. Saya harap mama saya akan jauh lebih baik." "Aamiin. Kamu sendiri baik-baik saja kan?" "Baik kok pak." "Syukurlah." "Em..., kalau begitu saya kirim nomor rekening saya setelah ini ke bapak ya pak." "Baiklah, saya akan tunggu. Saya matikan panggilannya sekarang ya." "Baik pak, terima kasih," dan Prisa mengakhiri panggilan tersebut dengan wajah yang menunjukkan ekspresi yang masih sangat canggung, namun dengan cepat ia mengirimkan nomor rekeningnya kepada Dehan. "Ini udah bener ga sih?" Prisa bertanya sendiri pada dirinya apakah keputusannya untuk menerima bantuan Dehan sudah benar atau tidak. Cukup lama Prisa kembali bergelut dengan rasa kalutnya, hingga ia mendapatkan balasan pesan dari Dehan kalau ia sudah mentransfer sejumlah uang. Tentu Prisa coba mengecek saldo melalui mobile bankingnya. Disaat itu pula ia dikejutkan dengan jumlah uang yang baru saja masuk ke rekeningnya. Bahkan ini sepertinya jauh lebih banyak dibanding uang cash yang Dehan tawarkan waktu itu. . . Dari: Pak Dehan Saya sudah transfer Coba kamu cek Sepertinya sudah masuk . Kepada: Pak Dehan Baik pak Saya lihat dulu . Dari: Pak Dehan Semoga bisa membantu . Kepada: Pak Dehan Pak??? Ini bapak nggak salah kirim? Ini banyak sekali Saya kaget banget pak . Dari: Pak Dehan Nggak salah kok Pasti kamu sudah habis banyak sebelumnya Termasuk uang tabungan kamu kan? Selain untuk mama kamu, kamu juga bisa gunakan untuk lainnya . Kepada: Pak Dehan Ya ampun pak Tangan saya masih gemetar Rasanya seperti mimpi Saya jadi ngerasa nggak enak pak . Dari: Pak Dehan Santai saja Jangan terlalu dipikirkan Jangan terlalu menekan biaya Pakai saja untuk apapun saat ini Untuk pengobatan selanjutnya jika kurang, kamu bisa sampaikan ke saya Saya benar-benar ingin membantu . Kepada: Pak Dehan Saya sampai nggak tahu harus bicara apa sekarang pak Terima kasih sekali . Dari: Pak Dehan Semoga mama kamu cepat pulih Hari sudah malam Lebih baik kamu istirahat sekarang . Kepada: Pak Dehan Baik Pak Dehan Sekali lagi terima kasih . . Prisa tersenyum lebar membalas pesan dari Dehan, entah kapan terakhir kali ia bisa tersenyum selebar ini. Rasanya lega sekali membayangkan ia bisa langsung melanjutkan tindakan pengobatan untuk mamanya. Sekali lagi Prisa melihat saldo rekeningnya yang seumur-umur tidak pernah sebanyak ini dengan hati sangat senang. *** "Mbak, mbak uang dari mana bisa lanjutin pengobatan mama? Bukannya itu perlu uang dua belas juta diluar obat-obatan lain yang juga mahal banget?" tanya Nania bingung saat ia baru sampai rumah sakit mengetahui mamanya sedang istirahat total setelah hari ini dilakukan tindakan lanjutan atas diagnosa sang mama sebelumnya. "Pak Dehan." jawab Prisa pendek. "Pak Dehan?? Pak Dehan kakaknya si Manda?" Nania bertanya agak bingung. Prisa mengangguk, "siapa lagi?" "Kok bisa? Mbak minjem? Terus nanti gimana gantinya??" "Dikasih kok." "Lah kok bisa??" "Karena Manda sebenernya, kamu tahu sendiri kan gimana deketnya Manda sama mama kita? Jadi Manda ini inisiatif mau bantu, kayaknya dia bilang ke Pak Dehan dan Pak Dehan nya mau ngebantu. Nggak cuma untuk pengobatan sekarang, tapi uangnya juga bisa untuk beberapa kali pengobatan ke depannya." Nania mengerutkan dahinya agak merasa janggal melihat seberapa santainya sang kakak saat ini, "terus mbak nerima gitu aja? Banyak loh mbak itu uangnya." "Ya terus gimana lagi? Mama lagi butuh banget, dan mbak udah ga tahu lagi gimana caranya bisa dapatin uang." Prisa menjawab dengan nada sedikit kesal menatap sang adik karena pertanyaannya. Nania terdiam sejenak namun lanjut bicara lagi walau dengan suara pelan, "tapi..., mbak sendiri yang biasanya bilang jangan ngebebanin orang lain dengan mudah." "Untuk sekarang yang terpenting cuma kesehatan mama." Nania memilih untuk tidak lagi menjawab ucapan kakaknya. Lagipula ia juga tidak punya solusi apapun tentang pengobatan mamanya. "Kamu cabut bimbel lagi?" tanya Prisa pada Nania yang masih duduk di sampingnya. "Kan emang udah berhenti." "Mbak nggak mau tahu, kamu balik lagi bimbel dan fokus sama sekolah kamu. Gimanapun caranya mbak akan pastiin kamu lanjut kuliah tahun ini." "Eh tapi mbak...," "Nggak usah tapi tapi, tolong dengerin dan ikutin aja apa yang mbak bilang. Nih uang buat kamu," Prisa mengingatkan sambil kini mengeluarkan sejumlah uang dari tas yang tengah ia pegang. "Eh?" Nania kaget karena uang yang diberikan kakaknya cukup banyak. "Uang buat jajan, kalau kamu perlu refreshing ya udah pergi aja sama temen kamu. Mbak tahu kamu sekarang lagi ngerasa hectic banget masalah sekolah dan juga masalah rumah." "Ini uang dari Pak Dehan? Bukannya dikasih untuk pengobatan mama?" "Dia sendiri yang bilang boleh juga untuk hal lain. Kamu nggak usah pikirin itu, cukup pikirin diri kamu sendiri." Nania menatap uang di tangannya dengan ragu sambil kembali melihat wajah kakaknya, namun akhirnya ia memilih menyimpan uang itu, "makasih mbak." * Nania masih duduk di kursi yang ada di lorong rumah sakit setelah sang kakak sudah pergi entah kemana. Ia terdiam dengan berbagai hal yang kini berputar-putar di kepalanya. Hingga lamunannya dibuayarkan oleh kehadiran Gama dan Manda yang entah sejak kapan ada di hadapannya. "Bengong aja, mikirin apa??" itu adalah Gama yang kini ikut duduk disamping Nania. Nania menggeleng, "kalian kesini?" "Iya, pas pulang sekolah si Manda udah nungguin aku di depan rumah, maksa banget buat kesini." jelas Gama sambil menunjuk Manda yang sudah menunjukkan senyum lebar. "Karena rasanya aku udah lama ga kesini. Sebenernya aku mau banget kesini tapi si Kak Gama nya sok sibuk, kalau pergi sendiri nggak dibolehin sama papaku." Manda memberi tahu alasannya. Nania mengangguk kecil sambil tanpa sadar kembali diam menatap ke arah Manda. "Kak?? Kenapa? Aku ada yang salah?" tanya Manda jadi merasa aneh karena tingkah Nania. Nania langsung menggeleng, "enggak, enggak kok." "Oh iya kak, gimana Tante Sarah? Boleh ligat ga?" tanya Manda semangat sambil mengintip ke arah pintu kamar inap. "Mama masih istirahat, soalnya tadi habis selesai pengobatan lanjutan." "Ooh gitu, yaudah deh kita kesini buat ketemu Kak Nania aja." Manda memutuskan untuk ikut duduk di samping Nania, sehingga kini mereka semua duduk di kursi dengan posisi mengapit Nania. "Kamu kenapa? Kok kelihatan aneh banget?" tanya Gama menyadari ada yang aneh dari Nania. "Aneh apanya?" "Ya banyak diem dan ga ketus kayak biasanya. Lesu banget, ya nggak Manda?" Gama menjelaskan sambil meminta persetujuan Manda. "Iya, biasanya kalau Kak Gama dateng, seenggaknya Kak Nania ngasih wajah sinis dulu, eh sekarang wajahnya datar doang." Manda nyatanya juga menyadari perbedaan tingkah Nania. Nania terkekeh, "ya emang harus banget gitu terus?" "Ya nggak juga sih." "Ehm, Manda..," Nania kini beralih seperti ingin bicara sesuatu pada Manda namun terdengar ragu. "Ya kak, kenapa?" "Apa bener kalau kamu minta tolong mas kamu buat bantuin pengobatan mama?" Manda tampak agak terkejut dengan pertanyaan Nania yang tiba-tiba, "eh??" "Eh? Emang iya Manda?" Gama ikut penasaran dan menatap Manda ingin tahu. Gadis berkulit putih cerah itu menggaruk belakang kepalanya dengan wajah bingung, "eum sebenernya aku cuma mau bantu dikit aja sama tabunganku, eh tapi Mas Dehan bilang pakai duit dia dulu aja soalnya tabungan aku cuma sedikit." "Kamu emang nyuruh mas kamu untuk ngasih banyak?" "Eum, enggak tahu sih. Emang udah dikasih sama Mas Dehan?" tanya Manda ikut bingung. Nania mengangguk, "itu buktinya mama tadi udah lanjut tindakan." "Mas Dehan juga nggak bilang ke aku mau bantu berapa. Tapi kalau emang kurang, nanti aku bilangin Mas Dehan deh." Dengan cepat Nania menggeleng, "eh bukan gitu maksudnya." "Semoga Tante Sarah cepat sehat." Manda bicara sambil tersenyum hangat yang membuat Nania tanpa sadar ikut tersenyum. Entah sejak kapan tepatnya, intinya beberapa waktu belakangan ini Gama, Nania dan Manda menjadi lebih dekat serta akrab, padahal awalnya Nania kurang suka dengan kehadiran Manda yang selalu ikut dengan Gama. "Makasih banget ya Manda, ini ngebantu banget. Aku harap Mbak Prisa nggak pusing sendiri lagi." "Sama-sama kak." "Oh iya, selagi mama kamu istirahat dan kamu cuma diem aja ngelamun disini, mending kita keliling bentar yuk. Nyari angin seger gitu." mendadak Gama memberikan ide dengan semangat. "Eh, lo nggak ikut bimbel? Kok bisa disini sih?" Nania tersadar kalau tidak seharusnya Gama berada disini sekarang. "Males lah, kamu nggak pergi ya aku juga nggak ada motivasi pergi. Lagian aku udah cukup pinter kok belajar sendiri" "Lah?! Terus ngapain bimbel dari awal kalau udah pinter?" Manda tertawa, "paham aja lah kak, namanya juga bucin." Nania memutar bola matanya malas, "aneh banget." "Yaudah, kita jalan-jalan bentar yuk, selagi bawa mobil nih." ajak Gama tidak sabar. "Motor lo masih di bengkel? Udah berapa bulan nih? Itu motor diperbaiki apa dijual sih?" heran Nania. "Udah kok, baru aja dua hari yang lalu dijemput. Mungkin dia butuh istirahat dulu di rumah, makanya belum di pakai, hehe." "Yaudah deh bentar, nyari Mbak Prisa dulu buat izin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN