Prisa berdiri sendiri menatap mading yang tersedia di salah satu dinding deretan kamar inap membaca berbagai hal yang ada disana karena tidak tahu harus melakukan apa sekarang sendirian. Ia hanya sedang iseng berjalan-jalan dan berakhir fokus membaca segala informasi kesehatan di mading.
"Aku harus hidup dengan lebih sehat lagi agar masa tuaku bisa terhindar dari berbagai penyakit," ujar Prisa sendirian.
"Kalau dipikir-pikir aku memang rada cuek dengan kesehatanku selama ini," gadis itu bicara lagi sambil berpangku tangan terus membaca isi mading.
"Contohnya dengan harus istirahat sesuai porsi dan tidak terlalu memaksakan diri, tapi kadang memang sulit, kan?"
Prisa terkejut dan langsung menoleh ke samping karena mendadak ada suara dari seseorang yang berdiri di sampingnya, "oh!? Pak Dehan?"
Dehan langsung menunjukkan senyum lalu kembali ikut melihat ke arah mading, "saya juga harus belajar istirahat dengan lebih teratur dan mengurangi konsumsi kopi."
"Pasti bapak suka begadang sambil minum kopi ya?" tanya Prisa menebak sambil melirik pria yang sepertinya masih mengenakan kemeja kerjanya, namun bedanya gayanya sedikit lebih santai karena beberapa kancing atasnya terbuka dan lengan kemejanya yang digulung.
"Tentu, tapi saya harus segera memperbaikinya demi kehidupan tua yang lebih baik." Dehan menjawab sambil sedikit tertawa seraya menunjuk mading di hadapan mereka yang memang memperingatkan hal tersebut, "tapi syukurnya sekarang saya sudah tidak merokok."
"Oh, bapak sekarang tidak lagi merokok?"
"Maklum, ada manusia posesif dan bawel yang akan marah kalau saya merokok."
Prisa menaikkan alisnya, "pacar bapak??"
Dehan tertawa sambil menggeleng, "Manda."
"Eh, saya pikir pacar bapak. Karena kan biasanya yang suka bawel dan ngingetin gitu pacar, pak."
"Kamu tahu alasan Manda melarang keras saya merokok?"
"Apa pak?"
"Dia bilang kalau dia tidak mau saya cepat mati. Memang sedikit sadis, tapi berhasil membuat saya berusaha berhenti. Dan ya, sudah lama sekali sejak terakhir kali saya menyentuh rokok."
Prisa ikut terkekeh mendengar cerita Dehan, "Manda punya cara nunjukin kasih sayangnya dengan unik ya pak."
"Ya begitu lah, kadang memang agak sedikit kaget dan bingung menghadapinya."
"Terus maaf nih pak kalau saya kepo, bapak sebenernya udah punya pacar apa belum sih?"
Dehan menoleh ke arah Prisa dengan alis terangkat, "apa tidak ada gosip atau informasi yang beredar di kantor tentang hal ini?"
"Sangat minim pak, gosip yang beredar terdengar sangat tidak valid." Prisa menjawab dengan nada bercanda. Karena sudah beberapa kali bertemu langsung dengan Dehan dan pembawaan pria itu yang hangat membuat Prisa tanpa sadar tidak begitu kaku lagi berhadapan dengan atasannya ini, terlebih pada situasi di luar kantor seperti sekarang.
"Oh ya?? Sepertinya karena saya memang jomblo makanya agak susah membuat gosip bukan?"
"Jadi bapak beneran masih single? Beneran pak? Seorang Pak Dehan??"
Dehan langsung mengangguk, "saya terlalu sibuk mengurus satu manusia perempuan sepertinya."
"Kayaknya Manda posesif banget ya pak?" ujar Prisa sambil terkekeh.
"Tapi tidak apa, saya memang masih terlalu sibuk dan masih harus mengurus Manda sampai benar-benar dewasa."
Prisa tanpa sadar tersenyum, ia merasa senang melihat bagaimana sayang, perhatian dan pengertiannya Dehan pada Manda.
"Kamu sendiri udah punya pacar?" Dehan balik bertanya pada Prisa.
Prisa langsung menggeleng, "jomblo sih saya pak."
"Jomblo tapi crush nya banyak ya?" canda Dehan yang agak membuat Prisa kaget.
"Eh enggak gitu kok pak."
Dehan hanya tertawa, "sebenarnya tadi saya kebingungan mencari kamar inap mama kamu, saya sudah ke kamar yang sebelumnya pernah saya datangi, tapi ternyata tidak ada. Untung saya melihat kamu disini."
"Oh? Maaf banget pak, saya belum memberi tahu bapak kalau mama saya tidak dirawat di kamar sebelumnya." Prisa langsung meminta maaf dan merasa bersalah.
"Salah saya juga sebenarnya tidak bertanya."
"Makasih ya pak udah menyempatkan waktu untuk datang kesini. Mama saya lagi istirahat karena tadi habis selesai pengobatan lanjutan."
"Hm, begitu ternyata. Bagaimana? Apakah sudah lebih baik?"
Prisa mengangguk, "semoga saja pak. Dokter bilang kalau efeknya positif mama bisa pulang dulu setelah ini dan pengobatan lanjutannya akan dikonfirmasi lagi sesuai perkembangan kondisi mama. Akan di cek secara berkala lagi."
"Semoga saja hasilnya baik ya."
"Terima kasih ya pak, kalau bukan karena bapak saya pasti akan kebingungan sekali sekarang."
Dehan dengan cepat menggeleng, "sudahlah, jangan terlalu membahas itu. Kamu fokus saja pada mama kamu. Ngomong-ngomong katanya tadi Manda dan Gama kesini, kemana mereka?"
"Iya pak, tadi sore mereka kesini. Tapi mereka bilang ke saya mau main keluar bareng Nania karena mama lagi istirahat. Katanya untuk refreshing gitu, nyari angin segar."
Dehan terkekeh, "padahal tadinya saya kesini sekalian mastiin mereka, eh merekanya malah nggak ada."
"Duh maaf ya pak, soalnya saja juga tadi yang suruh pergi aja main kemana aja asal hati-hati dan baliknya jangan kemalaman." Prisa merasa bersalah lagi.
"Tidak masalah kok, lagian juga mereka jarang-jarang pergi main bareng. Mereka bilang mau balik kesini kan?"
"Iya pak, mungkin sebentar lagi mereka balik. Tadi katanya cuma mau jalan-jalan sore, eh malah keterusan sampai udah gelap begini. Nania tadi sempat kirim pesan ke saya."
"Apa tidak apa saya menunggu disini sebentar?"
Prisa tertawa lebar, "tentu sangat tidak apa-apa pak. Oh iya, apa bapak sudah makan malam? Kebetulan tadi saya udah beli dua porsi makan malam, tapi Nania bilang dia udah makan sama Manda dan Gama di luar."
Dehan tersenyum, "kamu menawarkannya kepada saya?"
"Ii..,iy, iya pak. Tapi ya memang cuma makanan pinggir jalan, kalau bapak nggak mau juga nggak apa-apa kok pak." Prisa baru sadar kalau ia hanya membeli nasi goreng dari abang gerobak yang ia temui tadi tidak jauh dari area rumah sakit. Bisa-bisanya ia dengan santai menawarkannya pada seorang Dehan!?
"Lalu apa salahnya? Apa benar tidak apa saya memakannya? Kebetulan sebenarnya saya sedang lapar sekali. Tadinya saya sengaja nggak makan supaya balik dari sini bisa makan bareng Manda, tapi nyatanya ia juga sudah makan dengan Gama Nania." Dehan menjawabnya sambil sedikit tertawa malu.
"Kalau memang bapak lapar dan mau ya udah pak, ayo kita makan bersama. Semoga saja cocok di lidah bapak."
"Wah terima kasih sekali ya."
*
"Enak pak?" tanya Prisa saat dirinya dan Dehan duduk di salah satu tempat dan makan malam bersama.
Pria itu mengangguk, "nasi goreng gerobak abang-abang emang nggak ada lawan sih."
Prisa tertawa, "eh, Pak Dehan sering beli nasi goreng pinggir jalan gini?"
"Ga sering sih, cuma ya lumayan lah kalau lagi kepengen."
"Owh, saya pikir bapak nggak pernah coba. Beberapa kali saya juga beli makanan bareng Manda dan yang lain, saya pikir bakalan susah nyamain selera sama Manda. Eh ternyata dia juga ga pilih-pilih makannya. Sama kayak Gama, merakyat." Prisa menjelaskan sambil tertawa.
"Yaiyalah, Manda kan mainnya keseringan sama Gama. Selera dua orang itu sih udah sama kayaknya."
"Lucu banget mereka berdua pak."
Dehan mengangguk dan mereka lanjut untuk menghabiskan makanan masing-masing.
"Oh iya, selama kerja di kantor kamu gimana? Ada masalah nggak? Nyaman kah?" Dehan kembali membuka obrolan.
Gadis yang melapisi tubuhnya dengan cardigan rajut itu mengangguk, "nyaman kok pak, nggak ada masalah yang berarti."
"Syukurlah."
"Oh iya, katanya sebentar lagi pimpinan kantor akan ganti ya pak?"
Dehan mengangguk, "tapi belum tahu kapan. Isunya sudah menyebar dan sudah jadi obrolan para pemegang saham."
"Para karyawan kantor pada degdegan, pak."
"Kenapa?"
"Ya penasaran aja siapa yang selanjutnya bakal jadi pemimpin utama. Tapi umumnya sih pada berharap yang kepilih itu Pak Dehan."
Dehan mengangkat kepalanya menatap Prisa dengan salah satu alisnya terangkat, "oh ya??"
"Tentu pak, ngelihat seberapa ramah dan baiknya bapak ke semua orang tentu kita jadi berharap orang seperti bapak yang naik. Terus katanya bapak orangnya juga cerdas dan hebat banget tiap ngambil keputusan dan menghadapi masalah kantor."
Dehan tertawa malu, "kamu bisa saja memuji di depan saya."
"Ih tapi serius loh pak."
"Calon lainnya juga bagus, mungkin karena karyawan di kantor hanya kenal saya. Siapapun yang nanti jadinya naik pasti akan berusaha keras untuk kebaikan perusahaan kita."
"Tapi bukannya bapak anak tertua? Otomatis bapak dong yang punya kesempatan naik lebih tinggi?"
"Nggak ada yang tahu," jawab Dehan singkat dengan sebuah senyuman yang terlihat sedikit aneh dan memiliki sebuah makna yang Prisa tidak bisa paham dengan jelas.
"Eh sebentar, Manda nelfon," tiba-tiba handphone Dehan berdering dan ia izin untuk langsung menjawab panggilan tersebut.
Prisa mengiyakan dan membiarkan Dehan bicara di telpon sedangkan ia berusaha menghabiskan sisa makanannya yang tinggal sedikit.
"Mereka udah balik, katanya mau nyusulin kesini." ujar Dehan setelah kembali meletakkan handphonenya.
Prisa mengangguk saja dan mereka pun kembali sibuk dengan makanan mereka masing-masing.
"Hai mas, mbak!" terdengar suara Manda berlari mendekat disusul oleh Gama dan Nania di belakangnya.
"Lama banget ya pergi mainnya, izinnya padahal ke rumah sakit, tahunya malah keluyuran." Dehan langsung bicara.
Manda tertawa, "maaf maaf, soalnya Tante Sarah lagi ga bisa diganggu, yaudah deh kita pergi main aja. Lagian juga udah izin ke Mbak Prisa." jelas gadis berparas sangat manis itu.
"Cie, Mbak Pris sama Mas Dehan makan malam berdua, cie cie cieeee!" dan itu adalah suara ribut dari Gama yang tampaknya senang sekali menggoda.
Prisa yang baru saja akan menelan makanan yang baru ia kunyah langsung tersedak karena kaget.
"Eh? Nih minum-minum dulu," Dehan langsung mengarahkan minuman kepada Prisa.
Melihat itu Gama semakin tertawa disusul Manda yang sepertinya malah semakin semangat untuk menggoda, "hiya hiya hiyaaaaa, mantap betul nih!"
Dehan hanya tertawa sambil geleng kepala menanggapi keusilan anak-anak itu.
"Habis ini langsung balik ya. Udah malam. Besok kalian sekolah, emang ga ada tugas?" ujar Dehan.
"Iya, kita emang rencananya abis ini pulang kok."
"Sebelum itu pamit dulu sama Tante Sarah."
"Okey!"