Bab 7. Kontrak Sudah Selesai

935 Kata
Indira sudah dibawa ke rumak sakit dengan ambulans sedangkan Ilham langsung menuju rumah sakit tanpa pulang dulu ke rumah agar Indira segera ditangani. Di UGD, Indira sudah diperiksa dan ditangani oleh dokter. Kemudian, dokter menjelaskan keadaan Indira pada Ilham. “Syukurlah, janin dalam kandungan istri Bapak baik-baik saja. Kandungan istri Bapak cukup kuat sehingga tidak terjadi keguguran. Saya sudah periksa janin dalam kandungannya, kondisinya bagus dan saya harap tidak ada masalah di kemudian hari. Hanya saja istri Bapak harus bed rest selama satu minggu agar tidak terjadi sesuatu pada kandungannya.” Dokter menjelaskan semuanya pada Ilham. “Baik, Dok. Apa istri saya boleh beraktivitas seperti biasa?” “Sementara ini, jangan dulu banyak aktivitas. Lebih baik banyak berbaring saja dulu selama satu minggulah. Setelah itu boleh mulai beraktivitas sedikit. Yang penting tidak mengangkat beban yang berat-berat.” “Tapi, istri saya baik-baik aja kan, Dok?” “Iya, istri Bapak baik-baik saja. Hanya saya minta untuk bed rest agar tidak terjadi sesuatu saja.” “Iya, Dok.” Ilham pun memahami maksud dari dokter. “Satu jam lagi istri Bapak akan dipindahkan ke kamar perawatan.” “Baik, Dok. Akan segara saya urus untuk pemindahan kamarnya.” Hari itu Ilham memutuskan tidak akan kembali lagi ke kantor. Dia akan berada di rumah sakit sampai Indira mendapat izin pulang ke rumah. Ilham memesan kamar perawatan untuk Indira. Dia mengambil kamar VVIP untuk Indira. Satu jam kemudian, perempuan itu sudah berada di kamar perawatan dan harus menginap selama satu malam di rumah sakit. Ilham menarik kursi lalu dia letakkan di samping brankar Indira. “Kamu kenapa bisa kepeleset di kamar mandi?” Ilham menahan rasa kesalnya pada Indira karena dia pikir perempuan itu tidak bisa menjaga diri selama hamil. Indira menjawab dengan terbata-bata. Dia takut sekali Ilham marah padanya. “Sa-saya enggak tahu, Tuan.” Ilham menarik napas panjang untuk meredakan rasa kesalnya pada Indira. “Masa enggak tahu? Kan kamu yang jatuh, Dira?” Hampir saja pria itu meledak. “Sa-saya masuk ke kamar mandi … tapi jalannya biasa, Tuan. Enggak tahu kenapa saya tiba-tiba kepeleset.” Indira berkata jujur. “Memangnya kamu masuk kamar mandi yang mana?” tanya Ilham penasaran. “Kamar mandi yang ada di belakang, Tuan.” “Kenapa kamu enggak ke kamar mandi yang ada di kamarmu aja, Dira?” Ilham mengusap wajahnya. Pria itu penasaran apa yang dilakukan Indira di area belakang rumahnya. “Saya kan habis bagi-bagi oleh-oleh, Tuan. Jadi, pake kamar mandi yang di belakang aja.” “Ya sudah, mulai hari ini saya akan minta pembantu di rumah buat sering-sering sikat kamar mandi belakang. Kamu istirahat lagi. Kata dokter, kamu harus bed rest selama satu minggu di rumah.” “Iya, Tuan.” “Saya akan menemani kamu selama dirawat di rumah sakit. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan ngomong sama saya.” “Baik, Tuan.” Ilham beranjak ke sofa. Dia ingin mengecek ponsel. Memeriksa pekerjaannya di ponsel. Pria itu terus memeriksa pekerjaan sampai lupa waktu. Sudah magrib, pria itu belum mandi dan berganti pakaian. “Saya tadi lupa bawa baju ganti karena buru-buru ke rumah sakit. Saya mau pulang. Kalau ada apa-apa kamu panggil perawat aja. Bisa kan, Dira?” Ilham pamit pada Indira. “Iya, Tuan. Saya bisa.” Setelah kepergian Ilham, petugas mengantarkan makanan. Karena melihat Indira hanya sendiri, petugas itu membantu Indira agar bisa makan. Dia meletakkan makanan di meja lalu menegakkan sandaran Indira agar bisa makan sendiri. “Sudah bisa kan, Bu? Saya tinggal dulu ya. Nanti kalau suami Ibu datang, minta dia buat beresin alat makan Ibu ya.” “Iya. Terima kasih sudah dibantu.” Indira makan sendiri tanpa bantuan siapa pun. Selesai makan, piring itu masih ada di meja dan meja itu masih di tempat yang sama. Tak lama kemudian, perawat datang membawakan obat. “Suaminya mana, Ibu?” “Lagi pulang dulu, Suster. Nanti juga ke sini lagi.” “Oh. Saya bantu beresin piring bekas makan Ibu ya.” “Iya, makasih ya, Suster.” Perawat rumah sakit merapikan bekas makan Indira lalu merapikan meja dan menurunkan brankar. Dia bantu Indira minum obat. “Istirahat ya, Bu. Kalau ada apa-apa panggil aja perawat.” “Terima kasih, Suster.” Tepat jam delapan malam, Ilham kembali dari rumah. Pria itu sudah makan malam. Dia akan menemani Indira menginap di rumah sakit. “Kamu sudah makan, kan? Tadi bisa makan sendiri?” “Sudah, Tuan. Tadi saya makan sendiri.” “Bagus. Sekarang kamu tidur.” Sejak malam itu, Ilham terus memperhatikan kehamilan Indira. Dia tidak mau kejadian buruk menimpa Indira sampai perempuan itu harus kehilangan janin dalam kandungannya. Sampai tiba waktunya Indira akan melahirkan, Ilham memesan kamar di rumah sakit terbaik di Jakarta. Dia juga ingin perawatan terbaik untuk Indira selama dia melahirkan. Pria itu mau Indira dioperasj untuk mengeluarkan bayinya. Tepat pada tanggal yang dijadwalkan dokter, Indira pun melahirkan dengan operasi caesar. Perempuan itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat diharapkan Ilham. Sejak Indira melahirkan, sikap Ilham yang tadinya hangat berubah menjadi dingin. “Perjanjian kontrak kita sudah selesai karena kamu sudah melahirkan anak untuk saya. Setelah ini kamu boleh pergi ke mana pun kamu mau. Uang yang saya janjikan akan saya berikan dalam bentuk kartu ATM.” Sebenarnya Indira merasa sedih harus pergi meninggalkan anak yang baru saja dia lahirkan, tetapi dia harus taat pada perjanjian dengan majikannya. Indira menahan air mata yang akan jatuh dari kedua matanya. “ Kenapa tidak ada belas kasihan sama sekali dari Tuan Ilham? Apa dia tidak ingin menahanku di sini dan tetap bersamanya sampai anak itu tumbuh besar? Bukannya bayi itu membutuhkan asi dari ibunya?” Indira bertanya-tanya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN