Bab 8. Bertemu Kembali

1066 Kata
“Kapan saya bisa pergi dari rumah Tuan Ilham?” tanya Indira sambil menaha rasa sesak di d**a. Ternyata, setelah melahirkan seorang bayi walaupun bukan dengan melahirkan normal, perasaan keibuan dalam Indira hadir juga. Dia tidak ingin berpisah dengan bayi itu. “Kapan saja kamu mau pergi. Saya tidak akan menahan kamu untuk bertahan di rumah saya.” Ilham tampak begitu dingin di mata Indira. Dia ingin mencoba bertahan di rumah Ilham demi anaknya. “Tuan … apa saya tidak diizinkan untuk tinggal di rumah Tuan?” “Tidak, Dira. Kita sudah menandatangani surat perjanjian. Kamu harus pergi dari rumah saya setelah bayi itu lahir. Kenapa kamu jadi berubah dan tidak mau pergi dari rumah saya? Padahal kamu punya kesempatan buat hidup lebih baik di luar sana.” Ilham tampak heran pada Indira yang enggan pergi dari rumahnya. “Saya harus menepati janji saya sama kamu.” Indira tidak ingin pergi. Dia hanya mau tinggal di rumah Ilham bersama bayi itu dan membesarkannya. “Saya tidak boleh menjadi pengasuh untuk bayi itu, Tuan? Setidaknya saya masih ada kesempatan untuk menyusui bayi itu.” Suara Indira terdengar memohon pada Ilham. “Bayi itu ada pengasuhnya sendiri. Saya tidak akan menjadikan perempuan yang melahirkannya sebagai pengasuh. Kamu tidak perlu repot menyusui dia. Saya sudah janji kan tidak akan menahan kamu. Kamu cukup ambil uang itu dan pergi dari rumah saya ke mana pun kamu mau.” Indira ingin mencoba sekali kali membujuk Ilham. “Tapi, saya tidak mau pergi dari rumah Tuan Ilham.” “Pergilah. Kamu harus pergi karena urusan kita sudah selesai.” “Apa tidak ada kesempatan sama sekali buat saya bertahan di rumah itu?” “Tidak ada.” Indira akhirnya menyerah untuk sementara waktu. Selama di rumah sakit dia harus menurut dan melakukan apa pun yang dikatakan dokter dan perawat agar dia bisa segera dipulangkan dari rumah sakit. Empat hari kemudian, Indira sudah boleh pulang ke rumah. Perempuan itu masih boleh pulang ke rumah Ilham untuk membereskan semua barang-barangnya. Namun, dia masih ingin mencoba mengurus bayi itu agar Ilham melihat sendiri jika bayi itu membutuhkannya sebagai ibu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Indira yang belum memiliki pengalaman mengurus bayi, hanya bisa membuat bayi itu menangis ketika dia menggendongnya. Bahkan cara menyusui bayi pun dia belum tahu. Indira menjadi frustasi dan merasa bayinya pun tidak mau bersama dengannya. Tidak sampai satu minggu berada di rumah Ilham, Indira memutuskan untuk pergi dari sana dan mencoba mengejar apa yang dia impikan. Perempuan itu pergi tanpa membawa uang sepeser pun yang diberikan Ilham padanya. Indira meninggalkan rumah Ilham dengan perasaan sakit dan terluka di hatinya. Dia pikir di rumah itu tidak ada lagi yang menginginkan kehadirannya. Dia pun berjanji sampai kapan pun tidak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah itu lagi. *** Lima tahun kemudian, bayi laki-laki yang dilahirkan Indira sudah tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampan, lucu dan menggemaskan. Siapa pun yang melihatnya pasti ingin mencubit pipinya. Hanya saja siapa yang berani menyentuh anak dari Ilham. Sudah dipastikan tangannya akan terluka jika berani mencubit anak itu. Selama dua tahun terakhir, anak laki-laki itu selalu menanyakan keberadaan ibunya. Dia ingin mengenal sosok ibunya, tetapi Ilham tidak pernah menjelaskan apa pun tentang Indira pada anak itu. Ilham pun beberapa kali mencoba mengenalkan putranya pada perempuan yang dia kenal. Dengan harapan putranya mau menerima perempua itu menjadi pengganti Indira yang sudah lama pergi. Sebenarnya, Ilham juga sudah berusaha mencari Indira, tetapi pria itu belum berhasil menemukannya. Sampai-sampai Ilham berpikir jika Indira mengganti namanya karena belum berhasil ditemukan. “Papa, di mana aku bisa bertemu dengan mama?” tanya anak laki-laki bernama Kenzi itu pada Ilham. “Apa kamu tidak mau tante Stella menjadi mamamu?” Bukannya menjawab pertanyaan Kenzi, Ilham malah bertanya hal lain. “Aku tidak suka dengan tante Stella. Dia tidak sayang sama aku. Yang sayang sama aku cuma mama. Papa bilang mama sayang sama aku karena mama mengizinkan aku lahir ke dunia, tapi kenapa mama pergi? Apa papa yang mengusirnya?” “Cobalah terima tante Stella. Dia bisa jadi mama yang baik buat kamu.” “Sampai kapan pun aku tidak mau tante Stella menjadi mamaku.” Obrolan seperti ini selalu menghiasi hari-hari Ilham di pagi hari saat sarapan dan malam hari setelah dia pulang dari kantor. Ilham dibuat pusing oleh Kenzi yang tidak mau diberikan mama pengganti dan hanya mengharap bisa bertemu dengan mama kandungnya saja. Ilham menghela napas. “Nanti kita bicara lagi, Papa harus pergi ke kantor dulu.” Jawaban yang biasa Ilham gunakan untuk menghindari pertanyaan Kenzi. Sementara itu, di sebuah tempat usaha catering, Indira sedang asyik memasak. Lima tahun yang lalu, perempuan itu pergi meninggalkan Jakarta dengan berjalan kaki. Tanpa uang yang dibawa Indira tidak makan dan minum sampai dia pingsan di jalanan. Untungnya, ada seorang ibu paruh baya yang menolongnya. Ibu itu adalah seorang pemilik catering terbesar di Semarang. Indira dibawa ke rumahnya. Sejak itu Indira tinggal di sana dan membalas kebaikan ibu itu dengan bekerja di catering tersebut. Empat tahun kemudian, dia memutuskan untuk kembali ke Jakarta karena merasa pasar dari usaha catering yang dia bangun lebih banyak di sana. Indira membuka catering makanan sehat rendah kalori dan tinggi protein. Yang menjadi pelanggannya adalah orang-orang yang menginginkan gaya hidup sehat, tetapi malas memasak. Kebanyakan dari pelanggan Indira adalah karyawan kantoran dan orang-orang yang suka diet. Sore itu, dia sedang menyiapkan pesanan makan malam yang akan diantar ke semua pemesan. Hari itu adalah hari Jumat. Tiba-tiba saja Indira ingin mengantarkan makanan ke alamat pelanggan. “Lin, aku habis ini aku anter ke pelanggan yang di kantor yang biasanya ya.” “Ok, Dira." Linda adalah teman Indira mengembangkan usaha cateringnya. “Aku sengaja ke sana, sekalian pulang ke kosan.” “Boleh banget.” Selesai menyiapkan pesanan. Mereka merapikan meja dan mencuci piring. Kemudian, membawa pesanan dan membawanya ke tempat pelanggan. Kantor yang dituju Indira tidak begitu jauh, dia cukup jalan kaki ke sana. Dalam waktu sepuluh menit dia pun tiba di kantor itu dan nyimpan makanan di lobi kantor. Hari itu pelanggan Indira lembur sehingga meraka minta makanannya diantar ke kantor. Setelah Indira meletakan makanan dan menitipkan pesan di lobi, dia mendengar seseorang memanggilnya. “Indira!” Suara teriakan itu membuat Indira menoleh. Perempuan itu terkejut ketika melihat siapa yang memanggil namanya. Perempuan itu ingin lari, tetapi kakinya seolah dipaku ke bumi sehingga dia tidak bergerak sama sekali. Bibirnya pun menyebut nama pria yang memanggilnya. “Tuan Ilham?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN