Bahkan saat Ilham mendekat pun, Indira masih tetap diam menatap pria yang terus berjalan mendekatinya. Entahh kenapa pada saat itu tubuhnya terasa kaku. Apa dia merindukan pria itu sampai membiarkannya mendekat? Atau perempuan itu merasa penasaran dengan kabar pria yang saat ini telah berdiri tepat di hadapannya?
“Ikut saya ke parkiran!”
Ya bukan menanyakan kabar, Ilham malah memerintah yang lain.
Namun, Indira tetap diam di tempatnya berdiri.
“Kenapa diam saja? Ayo ikut saya ke parkiran. Saya mau bicara sama kamu.”
Indira hanya menatap Ilham.
Karena Indira tidak kunjung bergerak, Ilham pun mendekat dan meraih tangan Indira lalu menarik lengan perempuan itu agar mengikutinya menuju parkiran.
Kedua kaki Indira bergerak mengikuti langkah Ilham. Pada saat itu banyak pasang mata yang menyaksikan dengan penuh tanda tanya. Ada hubungan apa direktur perusahaan itu dengan seorang pengantar catering makanan? Mungkin orang mengira Indira adalah pengantar makanan pada saat itu.
Tiba di parkiran, Ilham melepaskan lengan Indira lalu berdiri di hadapan perempuan itu dengan begitu banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan.
“Apa kabar?”
“Ke mana saja kamu selama ini?”
“Kamu tahu selama ini saya sudah mencari kamu ke mana-mana, tapi tidak ketemu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu Ilham tanyakan sebelum mereka masuk ke mobil.
“Apa kamu sekarang sudah menjadi bisu sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan saya?”
“Apa kita masih punya urusan, Tuan Ilham? Bukankah lima tahun lalu Tuan sudah mengusir saya? Saya pikir sejak hari itu kita sudah tidak ada urusan apa pun lagi.” Wajah Indira terlihat datar. “Sepenting apa saya harus menjawab semua pertanyaan itu?”
Ilham mendengkus. Baru kali ini dia melihat sosok Indira yang begitu berani padanya. Berbeda jauh dengan Indira yang dulu sangat penurut dan selalu menundukkan kepala. Bahkan saat ini, Indira dengan sangat berani mengangkat kepalanya menatap Ilham.
“Saya tidak mengira kamu bisa berubah seperti ini. Kamu tidak seperti Indira yang saya kenal lima tahun yang lalu.”
“Tuan Ilham yang terhormat, semua orang itu bisa berubah. Semua itu tergantung pada apa yang telah terjadi di masa lalu dan luka apa yang dia rasakan.” Ingin rasanya Indira mengakhiri pembicaraan mereka saat ini, tetapi dia sadar Ilham tidak akan melepaskannya begitu saja.
“Ck! Ok, saya minta sama kamu, ikut saya masuk mobil.”
“Ada perlu apa Tuan Ilham dengan saya?”
“Saya mau mengajak kamu ke suatu tempat.”
“Untuk urusan apa?”
“Saya mau kamu bertemu dengan seseorang.”
Tiba-tiba saja Indira teringat pada anak yang pernah dia lahirkan dulu. Perempuan itu bertanya dalam hati, “Apa tuan Ilham mau mengajakku bertemu dengan anak itu?”
Tanpa banyak tanya, Indira setuju dan masuk ke mobil Ilham. Jika benar Ilham akan mengajaknya bertemu dengan putra yang telah dia lahirkan. Dia tidak tahu sebanyak apa rasa rindunya pada anak itu.
Di perjalanan menuju rumah Ilham, keduanya hanya diam. Indira fokus menatap jalanan di hadapannya. Dia masih ingat rute menuju rumah pria itu dan memang mobil itu sedang mengarah ke rumah Ilham. Indira yakin tebakannya tadi benar.
Mobil itu pun masuk ke pekarangan rumah Ilham dan berhenti di sana. Pria itu menoleh pada Indira.
“Turun dan ikut saya masuk!”
Indira malas menjawab. Hanya mengerjakan apa yang Ilham perintahkan saya. Indira turun dari mobil dan mengikuti langkah Ilham dari belakang. Pria itu berhenti di ruang tamu lalu menoleh pada Indira lagi.
“Tunggu di sini sebentar!”
Ilham berjalan masuk ke bagian rumah yang lain. Indira menatap sekeliling ruangan itu. Ada yang berubah di ruangan itu, tetapi tidak banyak. Hanya beberapa furniture saja yang diganti. Hampir sepuluh menit Indira menunggu Ilham kembali bersama seorang anak laki-laki yang usianya Indira tebak lima tahun dan wajahnya sangat mirip dengan Ilham. Dia simpulkan jika anak itu adalah anak yang dia lahirkan lima tahun yang lalu.
Anak laki-laki itu menatap Indira. Ada perasaan aneh yang dia rasakan saat menatap perempuan itu, seperti sudah mengenal, tetapi dia tidak pernah melihat wajahnya.
“Pa, tante ini siapa?” tanya anak laki-laki itu pada Ilham. “Apa dia teman Papa juga?”
“Iya, tante ini adalah teman Papa. Namanya Indira. Kamu ajak kenalan tante Dira gih.”
Kevin berjalan mendekati Indira yang masih duduk, tetapi matanya terus memandangnya. Dia lihat mata perempuan itu berkaca-kaca.
Indira sangat merindukan anak itu, dia pikir tidak akan pernah bertemu lagi dengan anaknya. Namun, ternyata mereka masih diizinkan untuk bertemu lagi. Ingin rasanya Indira menarik anak itu ke dalam pelukannya, tetapi dia tidak ingin Ilham tahu apa yang sebenarnya dia rasakan.
“Tante Dira, kenalin nama aku Kenzi.” Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya. “Tante, kenapa nangis?”
Perempuan itu sadar jika matanya tidak bisa berbohong. Pasti tergambar sebesar apa perasaan rindunya pada anak laki-laki di hadapannya itu.
“Hm … kayaknya mata Tante kelilipan karena debu di depan tadi.” Indira mengusap kedua matanya lalu menyalami tangan Kenzi.
Anak kecil itu mencium tangannya. Tangis Indira hampir meledak. Susah payah dia menahannya agar tidak terlihat.
“Aku boleh duduk sama Tante?”
“Oh, boleh.”
Ilham memperhatikan interaksi ibu dan anak itu. Dia melihat sendiri bagaimana penerimaan Kenzi pada Indira. Pria itu sadar ikatan batin antara ibu dan anak itu memang sangat kuat. Dia telah salah sudah memisahkan keduanya. Ternyata selama ini mereka saling merindukan.
“Tante, kerja di mana?”
“Tante kerjanya masak-masak.”
“Wah, Tante pinter masak dong?”
Indira menganggukan kepalanya.
“Tante bisa masak apa?”
“Masakan Indonesia, terus pasta, sama makanan sehat yang lain.”
“Aku jadi penasaran pengen cobain masakan Tante, tapi kayaknya enggak bisa sekarang ya?” Kevin lalu menatap Ilham. “Papa, Tante Dira boleh main lagi ke rumah ini enggak?”
“Boleh, Sayang. Kamu suka ya sama tante Dira?”
“Iya, Pa. Aku suka sekali sama tante Dira. Apa aku boleh ajak tante Dira main di kamarku?” Kenzi meminta izin pada papanya.
Ilham takjub melihat Kenzi. Anak itu biasanya tidak suka dengan perempuan-perempuan lain yang dia bawa ke rumah, tetapi kali ini sangat berbeda. Kenzi menerima Indira dengan baik dan terlihat ingin dekat dengannya.
“Boleh, Sayang, tapi jangan lama-lama ya. Kasihan tante Dira kalau nanti pulangnya kemaleman.”
“Oh, memangnya tante Dira enggak boleh menginap di sini?”
“Tidak boleh, Sayang. Tante Dira punya rumahnya sendiri. Dia bukan mama, pengasuh atau pembantu di rumah ini.” Ilham tersenyum.
“Terus gimana supaya tante Dira bisa tinggal di sini?”
“Kayaknya enggak bisa, Sayang.”
Kenzi terlihat kecewa. Anak itu tidak mau berpisah dengan Indira sejak mereka bertemu.
“Tante, mau jadi Mamaku?” tanya Kenzi dengan wajah polosnya.