Belum sempat Indira menjawab pertanyaan Kenzi, Ilham sudah bicara lebih dulu. “Ajak tante Dira main ke kamar kamu sebentar, nanti Papa mau antar tante Dira pulang ke rumahnya. Ayo! Sebelum Papa berubah pikiran.
“Iya, Pa.” Dengan wajah lesu, Kenzi mengajak Indira ke kamarnya.
Tiba di depan kamar, Kenzi membuka pintu dan mengajak Indira masuk ke kamarnya. Kamar itu besar dengan banyak mainan dan buku bacaan di sana. Kenzi mengambil dua mobil remote di rak mainan.
“Main ini dulu ya, Tante.” Kenzi berikan satu mobil remote pada Indira.
“Ya,” jawab Indira singkat. Dia takjub melihat kamar itu. Memang anak orang kaya sudah pasti berbeda dengannya. Indira tidak bisa membayangkan seperti apa nasib Kenzi jika putranya itu tinggal bersamanya.
Kenzi menyalakan mobil remotenya. “Kita balapan ya, Tante.”
“Ok. Pokonya, Tante enggak akan kalah.”
Kenzi dan Indira meletakkan mobil di tempat start. Lalu mereka menjalankan mobil itu bersama-sama. Pada balapan pertama, Kenzi yang menang, selanjutnya Indira yang menang. Sampai 10 kali balapan, Indira kalah lima kali. Mereka seimbang.
Kemudian, Ilham masuk kamar putranya. “Sudah dulu ya main sama tante Dira, tante harus pulang, Sayang.” Ilham bicara dengan lembut pada Kenzi agar anaknya menurut.
“Yah … iya deh. Terus kapan lagi aku bisa main sama tante Dira?”
“Kalau tante Dira enggak sibuk, Papa akan bawa dia ke sini.”
“Ok, Papa harus janji kalau gitu.” Kenzi menuntut pada Ilham.
“Iya, Papa janji.”
“Tante boleh pulang. Main ke sini lagi ya, Tante.” Kenzi mencium tangan Indira.
Perempuan itu meninggalkan kamar Kenzi dengan perasaan sedih. Dia terus berjalan mengikuti langkah Ilham di depannya sampai ke mobil.
“Naiklah! Saya akan mengantar kamu pulang.”
“Tidak usah, Tuan. Saya bisa pulang sendiri.” Indira berusaha menolak. Jujur dia tidak mau berada satu mobil dengan Ilham lagi.
“Cepat naik! Saya tidak terima bantahan.”
Indira terpaksa masuk mobil Ilham. “Terima kasih, Tuan.”
“Berikan alamat rumahmu!”
Indira mengetik alamat rumahnya pada gps di mobil Ilham. Dia tidak menuliskan alamat yang sebenarnya karena tidak ingin Ilham tahu di mana dia tinggal saat ini.
“Jadi, kamu kerja di catering makanan sehat itu?” Ilham mengajak Indira bicara di perjalanan.
“Iya, Tuan. Saya kerja di sana.” Padahal Indira adalah pemiliknya.
“Kerja apa kamu di sana?”
“Masak, Tuan. Kadang-kadang saya antar makanan. Tergantung sikon saja, Tuan.”
“Kalau kerjaamu cuma begitu, lebih baik kamu kerja di rumah saya, jadi pengasuh Kenzi. Sepertinya dia suka sama kamu.”
Indira bicara dalam hati. “Iyalah, Kenzi sudah pasti suka sama saya, kan saya ibunya.”
“Maaf, Tuan, saya terpaksa menolak. Saya sudah teken kontrak di tempat kerja yang sekarang dan tidak bisa keluar begitu saja.”
“Kenapa? Urusan uang? Kamu akan didenda kalau keluar dari tempat kerja itu?”
“Tidak, Tuan. Saya cuma mau bertanggung jawab saja dengan pekerjaan saya yang sekarang. Maaf sekali lagi.”
Ilham menyerahkan ponselnya pada Indira. “Masukkan nomor HP kamu di HP saya! Nomor kamu yang lama sudah tidak bisa dihubungi lagi.”
Indira mengetik nomor ponselnya lalu menyimpannya di ponsel Ilham. Dia kembalikan lagi ponsel pria itu. Kemudian, Ilham menghubungi nomor Indira.
“Simpan juga nomor saya. Kalau sewaktu-waktu kamu butuh, kamu bisa telepon saya kapan saya. Oh ya, tawaran saya yang tadi ada batasnya, saya harap kamu mau mempertimbangkan tawaran tadi.”
“Saya tidak bisa, Tuan. Silakan Tuan cari pengasuh lain untuk Kenzi. Saya turun di depan ya, Tuan.”
Dari GPS itu memang alamat Indira tepat di sana. Perempuan itu pun turun dari mobil Ilham. Pria itu hanya bisa melihatnya menghilang masuk ke sebuah gang. Namun, Ilham tidak percaya begitu saja pada Indira, dia pun segera menghubungi asistennya.
“Halo, Pak,” jawab seseorang di seberang panggilan telepon.
“Tolong selidiki seseorang. Namanya Indira, dia adalah mantan istri saya. Besok pagi sudah harus ada laporannya.
“Baik, Pak.” Panggilan telepon pun berakhir.
Keesokan harinya, pada saat sarapan pagi, Kevin memanfaatkan kesempatan sarapan pagi bersama Ilham untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan.
“Pa, tadi malam tante Dira Papa antar sampai rumahnya, kan?”
“Iya, kenapa?”
“Artinya Papa tahu alamat rumah tante Dira? Anter aku ke sana dong, Pa, boleh?”
“Mau apa ke sana, Sayang?”
“Mau main sama tante Dira.”
“Hm … biar Papa saja yang bawa tante Dira ke rumah. Kamu tidak usah datang ke sana.”
“Papa bisa enggak minta Tante Dira supaya tinggal di sini, aku mau tante Dira jadi pengasuhku.”
Apa yang diinginkan Kenzi ternyata sama dengan apa dipikirkan Ilham.
“Nanti Papa coba ngomong sama tante Dira ya, tapi Papa enggak bisa janji.”
“Iya, Pa. Makasih ya, Pa. Semoga aja tante Dira mau.”
Namun, Ilham tidak yakin Indira akan menerima permintaanya begitu saja. Dia harus melakukan sesuatu pada Indira agar perempuan itu mau menuruti keinginannya.
Dua hari kemudian, di rumah catering milik Indira, suasana di sana tampak hectic gara-gara video yang viral tadi malam. Di video itu, tampak seorang influencer yang makan makanan catering dari Indira tampak muntah-muntah setelah makan. Dia juga menjelek-jelekkan catering milik Indira itu.
Oleh karena itu, sejak pagi ini susana di sana disibukkan dengan telepon dari pelanggan setia mereka.
“Gawat, Dira, semua orang membatalkan pesanan mereka. Enggak ada yang tersisa satu pun.” Linda bicara dengan panik.
“Sudah coba jelaskan sama mereka, Lin?”
“Sudah, Dira, tapi usaha kita sia-sia saja. Mereka lebih percaya pada influencer itu.”
Indira tampak bingung dengan keadaan pagi ini. “Sebenarnya influencer itu pelanggan kita bukan sih? Kamu sudah cek di daftar nama pelanggan kita?”
“Sudah, ternyata influencer itu baru jadi pelanggan kita kemarin banget.”
Indira diam sambil berpikir. Dia yakin ada yang melakukan sabotase pada usahanya ini. Namun, siapa orangnya?
“Kalau ada telepon lagi, kasih ke aku ya, Lin.”
“Ok, Dira.”
Baru selesai bicara sudah ada panggilan telepon masuk. Indira dengan cepat menerima panggilan telepon itu. “Halo. Selamat pagi.”
“Pagi. Mbak saya mau membatalkan pesanan saya yang hari ini, saya juga mau membatalkan pesanan yang besok-besok. Saya bisa minta r****d enggak, Mbak?”
“Kalau saya boleh tahu, alasannya apa ya, Mbak?”
“Saya lihat video viral itu.”
“Terus Mbak percaya?”
“Iya, jadi, tolong uang saya direfund ya.”
“Ok, tolong kirim nomor rekeningnya.”
Hari itu Indira terpaksa mengembalikan semua uang pelanggan yang sudah masuk ke cateringnya. Dia harus menyelidiki masalah yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja dia terpikir untuk menghubungi Ilham. “Halo, Tuan.”
“Halo, Dira. Ada perlu apa kamu telepon saya?”
“Apa kita bisa bertemu hari ini, Tuan?”