Proses lamaran selesai malam itu juga. Mau bagaimana pun Bella mengelak, lamaran itu tetap akan dilaksanakan. Wajah suram dan kesal yang Bella tampilkan juga tidak berpengaruh apa-apa.
Ada satu hal yang membuat Bella geram selama proses lamaran tadi. Arseno, Bocah Tengil itu sama sekali tidak menghilangkan senyumnya. Bahkan saat proses memakai cincin, Arseno mengambil kesempatan untuk mengecup telapak tangannya dan Bella yang memang tidak suka disentuh sembarangan langsung melotot tidak peduli dengan komentar orang lain.
Setelah acara utama selesai, keluarga Bocah Tengil itu dipersilakan untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan. Mereka sedang berada di ruang tengah. Sementara itu, Bella pamit kepada orang tuanya untuk ke toilet. Sebenarnya, itu hanya alasan agar Bella bisa terbebas dari tatapan orang-orang padanya. Mereka mungkin penasaran, tetapi Bella merasa tidak nyaman. Dan, Arseno juga terus melihat ke arahnya. Bella merasa muak dengan semuanya.
Tetapi, baru melangkahkan kaki beberapa puluh meter Bella merasa seseorang mengikutinya. Bella berhenti di ruangan yang menghubungkan antara ruang keluarga dengan dapur. Dan saat berbalik, seseorang tersenyum tipis ke arahnya.
“Bella, saya mau bicara sama kamu,” kata Seno terlihat serius.
Perasaan Bella semakin hancur dengan fakta bahwa Seno akan menjadi iparnya, secara tidak langsung. Kalau-kalau pernikahannya dengan Bocah Tengil itu berjalan lancar.
“Kamu ada waktu kan?” Suara Seno menyadarkan Bella dari pikirannya.
“Tunggu sebentar, Pak. Saya mau ke toilet dulu.”
Setelah selesai dari toilet, akhirnya mereka berbicara di teras samping rumah dengan nuansa remang-remang duduk di dipan dari rotan. Angin malam cukup kencang, membuat kulit Bella terasa dingin.
“Kita berdua sama-sama nggak nyangka kalau kita akan jadi ipar.”
Seno pada akhirnya membuka suara setelah beberapa menit mereka hanya terdiam dan membiarkan serangga yang hinggap di tanaman bunga ibu Bella bernyanyi.
“Ya, saya juga nggak nyangka, Pak.” Seperti ada yang menghantam d**a Bella.
“Tapi Bell, saya senang punya ipar seperti kamu karena saya sudah tahu bagaimana sifat dan karakter kamu.”
Bella mengulas senyum entah harus berterima kasih atau tidak.
“Saya tahu kamu nggak bahagia dengan lamaran ini. Saya tahu kamu terpaksa dan saya … merasa sangat bersalah karena nggak bisa bantu kamu untuk keluar dari permasalahan ini.”
“Bukan salah Bapak. Oh, saya juga mau minta maaf soal kesalahpahaman tadi, Pak.”
“Bukan salah kamu, juga, Bell. Kalau saya jadi kamu, saya juga akan mengira hal yang sama.” Seno terkekeh. Dia mungkin mengingat wajah bahagia Bella yang mengira Seno adalah calon suaminya.
Bella selalu tertegun melihat tawa Seno apalagi sampai gigi taringnya terlihat.
“Bella,” panggil Seno.
Tubuh Bella menegang seketika saat Seno mengusap telapak tangan Bella yang tergeletak di samping tubuhnya. Tanpa Seno tahu, Bella merasakan sensasi panas dingin yang luar biasa.
Bella hanya bisa bergumam dengan suara hampir tidak terdengar karena gugup.
“Boleh saya minta satu hal sama kamu?”
“Apa, Pak?” Suara Bella bergetar.
“Kamu jangan ragu sama Arsen, ya?”
Seno menarik tangannya. Bella menatap kecewa, tetapi kini ia menatap manik mata Seno. Mereka saling tatap.
“Dia mungkin masih Bocah di mata kamu. Tapi, saya bisa jamin kalau Arsen itu cowok baik-baik.”
Bella tidak yakin. Apalagi setelah Evelyn menceritakan cowok itu seperti apa dan dari apa yang Bella lihat sendiri Arsen sangat jauh dari seleranya. Dia tidak berkharisma seperti Seno, juga tidak pendiam seperti Seno.
Bella melihat, Arsen terlalu banyak tingkah. Ya namanya juga cowok berusia 19 tahun yang baru lulus dari SMA. Dan, dia tidak pernah bermimpi menikah dengan Bocah yang usianya berbeda jauh darinya.
“Maaf, Pak. Untuk pertama kalinya, saya nggak bisa turuti kemauan, Bapak.”
“Saya paham.” Seno tersenyum.
“Bapak tahu sendiri, kalau saya nggak bisa pura-pura suka sama orang. Apalagi kalau cowok itu bukan tipe saya.”
“Tapi, kamu tetap mau berusaha, kan? Jangan biarkan pernikahan kalian hanya menjadi pernikahan di atas kertas aja.”
Diam-diam, Bella mengepalkan tangannya. Bagaimana memberitahu Seno bahwa yang dia suka adalah Seno bukan orang lain?!
“Bella, kalau saya boleh tahu. Siapa sih tipe kamu sampai kamu menolak banyak laki-laki? Selama ini, kamu juga nggak pernah pacaran yang serius, kan? Saya jadi penasaran setampan apa pria itu sampai bikin kamu setia, hehe….”
“Astaga, Pak … andai Bapak tahu kalau laki-laki itu adalah Bapak.”
Karena Bella merasa pipinya menghangat, Bella mengalihkan wajahnya ke arah lain. Tiba-tiba juga jantung Bella seolah dipompa cepat. Padahal Seno hanya bertanya, tetapi Bella seperti dipergoki sudah menyukai Seno sejak lama.
“Pasti kamu mengagumi seseorang, kan? Kita udah kenal lama, loh, Bell. Masa kamu masih main rahasia-rahasiaan sama saya. Di luar pekerjaan kan, kita dekat.”
Apakah sekarang waktu yang tepat untuknya mengatakan siapa orang yang dia sukai?
“Ayolah Bella. Kita seharusnya bisa saling terbuka. Dan, siapa tahu saya kenal sama laki-laki itu. Nanti saya bantu kamu buat dekat sama dia. Atau laki-laki itu ada di kantor kita?”
Bella mengusap lengannya impulsif. Ia membuka dan menutup bibirnya berulang kali. Bella juga merasa sedih, Seno terlihat tidak memiliki sedikit perasaan untuknya. Dia sangat semangat untuk menjodohkan Bella dengan pria lain.
Bella menatap Seno lekat. Malam ini, mungkin adalah waktu yang tepat untuk memberi tahu Seno tentang perasaannya. Daripada, Bella menyimpan perasaaan itu sampai Seno menjadi milik perempuan lain.
“Sebenarnya saya suka ….”
“OM SENO!”
Bella dan Seno refleks menoleh ke arah sumber suara. Melihat cowok berpakaian jas rapi dengan wajah tengil itu, Bella segera mengalihkan wajahnya ke arah lain dengan dengusan yang keluar dari hidungnya.
Dasar pengganggu suasana!
“Kalian kenapa berduaan tanpa izin Arsen? Mau selingkuh, ya?”
Bella refleks menatap kesal bocah itu karena suaranya yang terdengar dilebih-lebihkan. Belum lagi, dia menggembungkan pipi seolah merajuk.
Dosa apa yang sudah Bella lakukan selama ini sampai-sampai dinikahkan dengan bocah seperti Arseno?
“Arsen jangan salah sangka dulu, ya? Bella ini sekertaris Om di kantor. Kami cuma bahas urusan pekerjaan, ya kan Bell?”
Bella bergeming.
“Kalau calon istri Arsen sekertaris Om Seno, itu artinya kalian sering ketemu, dong?”
Seno mengangguk.
“Iya, ketemu sebagai rekan kerja, aja. Arsen jangan mikir macam-macam, ya?”
Bella cukup heran melihat bagaimana Seno berbicara dengan cowok itu dengan nada suara sangat lembut.
“Arsen, Bella. Saya pamit dulu ya?”
Bella hendak mencegah Seno karena ia tidak ingin berbicara dengan cowok itu. Namun, Seno sudah berdiri.
“Karena ini pertemuan pertama kalian, saya rasa kalian harus saling mengenal satu sama lain. Pernikahan kalian satu minggu lagi dan kalian harus sudah saling kenal saat itu.”
“Tapi Pak---”
“Siap, Om! Hush, sana pergi!” Cowok itu mengusir Seno dan segera duduk di tempat yang sebelumnya di tempati oleh Seno.
Bella mengalihkan wajahnya. Ia merasa kesal karena mengapa cowok ini tidak menolak perjodohan mereka?
“Halo Mbak---”
“Jangan panggil gue dengan sebutan Mbak, berasa tua banget.” Bella menyahut masih enggan menatap cowok di sebelahnya.
“Loh, bukannya Mbak memang udah tua? Kita beda sepuluh tahun loh!”
Fakta mengejutkan lainnya, Arseno berusia 18 tahun dan Bella bulan depan berusia 28 tahun. Ya, mereka seperti adik dan kakak.
“Jaga mulut lo!”
“Iya Arsen bakal jaga mulut Arsen cuma untuk Mbak seorang.”
“Maksud gue bukan gitu!”
“Terus gimana, Mbak?”
Bella menggeleng keras. Percuma menjelaskan pada Arsen. Dia mungkin memang ingin memancing emosinya.
“Ingat ya … siapa tadi nama lo?”
“Arseno Salvador, Mbak.” Cowok itu tersenyum lebar.
“Oh iya. Ingat ya Arsen---”
“Tapi, aku nggak mau dipanggil Arsen! Khusus Mbak cantik, Arsen mau dipanggil Acen!”
“Idih, apaan. Alay banget lo!” protes Bella dengan satu sudut bibir terangkat. Tanda ia risih dengan tingkah cowok itu.
“Nggak mau tahu, aku mau dipanggil ACEN!” rengek cowok tersebut sambil menarik-narik tangan Bella.
“Apaan sih, nggak usah pegang-pegang!” Bella menyentak tangannya. Mendesah keras. Entah ia harus marah pada siapa.
“Aku nggak mau nyahut kalau nggak dipanggil ACEN!”
Bella menatap sengit cowok itu. “Ya udah iya, gue panggil A …” Bella menelan air liurnya susah payah. “Acen,” katanya kemudian dengan ogah-ogahan.
Cowok itu menampilkan senyuman lebar.
“Pokoknya ingat ya A---Acen. Pernikahan kita cuma pernikahan di atas kertas. Jadi, kalau lo mengharapkan sesuatu dari pernikahan ini … maaf banget ... lo nggak akan dapat apa-apa dan gue juga nggak akan bisa ngasih apapun ke lo.”
“Acen nggak minta apa-apa kok Mbak cantik.”
“Oh bagus kalau lo udah paham sama penjelasan gue.”
“Tapi … Acen tetap dapat jatah pas malam pertama dong. Soalnya Acen udah sah jadi suami Mbak.”
Bella melotot. “Nggak! Enak aja!” protes Bella tahu apa yang Arsen maksud dengan Jatah itu. Bella berdiri, hendak pergi. Namun, Arsen menghalangi langkahnya dengan wajah cemberut.
“Kok gitu, sih Mbak? Acen juga nggak cinta kok sama Mbak. Tujuan Acen mau nikahin Mbak supaya Acen bisa ngerasain ITU secara sah.” Tanpa rasa bersalah, Arsen memasang wajah polosnya.
Mendengar itu Bella semakin membulatkan matanya. Ia benar-benar tak menyangka ada orang dengan pikiran seperti Arsen.
“Sekali nggak ya tetap nggak! Lagian kalau mau gituan jangan nikahin gue!" Bella melangkah cepat namun Arsen tetap mengikutinya.
“Kalau Mbak cantik nolak, Mbak bisa durhaka sama suami! Emangnya Mbak mau Acen kutuk jadi batu?"
Bella bergeming, semakin merasa risih dikejar oleh Arsen. Dia memutuskan ke kamar, tetapi pria itu masih mengikutinya. Bella merentangkan tangannya di depan pintu.
“Astaga Mbak?!” Cowok itu melotot. “Acen minta malam pertamanya kalau udah nikah, bukan sekarang! Tapi nggak apa-apa deh, hayuk Mbak!” cowok itu bersiap-siap membuka jasnya mengira Bella mengajaknya ke kamar untuk itu.
Bella mengulurkan tangan menonyor kepala Arsen. “Dasar nggak waras!”
BRAK!”
Dengan kesal, Bella menutup pintu membiarkan Arsen di luar masih meneriakinya dengan kalimat menggelikan.
“APAPUN PENOLAKAN MBAK, ACEN TETAP HARUS DAPAT JATAH MALAM PERTAMA! HARUS!"