"Ini gue boleh menjelek-jelekan keluarga lo nggak sih, Bell? Sumpah gue kesel banget sama keputusan mereka yang seenaknya!" Gita sampai meremet-remet jari tangannya. Sesekali mendongakan kepala sambil menghembuskan napas.
Bella hanya bisa mengaduk es jeruknya dengan bahu turun. Sementara itu, Galih memperhatikan Gita yang membuat ekspresi marah tanpa kata.
Saat mendapat informasi Galih dan Gita telah selesai dari pekerjaannya, Bella langsung mengirimkan pesan. Dan, di sinilah mereka sekarang di tempat nongkrong pinggir jalan.
"Perjodohan sih perjodohan tapi nggak harus sama bocah juga kan? Lo tahu nggak kalau itu adalah pemaksaan dan pelanggaran HAM!"
Bella tahu, tapi dia tak pernah berpikir sejauh itu.
"Pokoknya lo harus protes! Lo nggak boleh kalah!"
Kalau dilihat-lihat cara menanggapi perjodohan itu Gita lebih agresif daripada dirinya. Tapi, Bella senang punya sahabat yang mengerti perasaannya.
"Udah nggak bisa protes. Gue udah kalah."
Setelah menghabiskan jus jeruknya, Bella menyandarkan punggung di kursi plastik. Tiba-tiba Gita memegang kedua pundaknya, menarik lalu mengguncangnya cukup keras.
"Nggak! Siapa bilang lo udah kalah?"
Bella menurunkan tangan Gita dari pundaknya. Ia berdecap kemudian bersandar lagi. Ia sudah kehilangan separuh semangat hidup.
"Gimana kalau lo kabur aja? Permasalahan beres! Lo nggak perlu nikah sama tuh bocah. Masalah kutukan itu cuma mitos dan kebenarannya masih belum bisa dipercayai."
"Gita!" Galih menegur Gita sambil menggertakan giginya. "Jangan memberi saran yang aneh dan Bella... Jangan dengarkan apa yang Gita katakan."
Gita berubah menatap Galih dengan sengitan tajam.
"Kenapa sih lo dari tadi setuju sama perjodohan itu? Lo seneng lihat sahabat kita menderita? Sebagai sahabat harusnya lo dukung dong!"
Gita dan Galih sudah seperti anjing dan kucing. Mereka selalu berdebat di manapun tempatnya. Dan Galih walaupun sudah ditegur dengan nada suara keras, dia tidak pernah mundur dengan pendapatnya.
"Justru karena kita sahabat Bella seharusnya kita memberi saran yang baik bukan sebaliknya."
"Jadi menurut lo saran gue buruk gitu? Saran lo juga lebih buruk dari gue. Kalau Bella nikah sama tuh Bocah, dia bakal sengsara seumur hidup!"
Bella menggaruk kepalanya. Ia malah semakin pusing mendengar perdebatan Galih dan Gita yang tidak ada hentinya. Ia mungkin mengajak orang yang salah untuk mendengarkannya.
"Bella, lo mau kabur ke mana? Singapura? Korea Selatan? India? Atau kemana? Cepet, gue bakal bantuin lo."
Seolah tidak sabar, Gita menepuk-nepuk meja plastik cukup keras sampai penjualnya pun menegurnya. Dan, Gita hanya bisa menampilkan ringisan tanda permintaan maaf.
"Jangan kabur Bella. Itu keputusan yang buruk. Bukankah kalian berdua sudah lamaran? Kelurgamu akan terlihat buruk jika pernikahan itu dibatalkan."
"Heh, lo?!" Gita keluar dari himpitan kursi sambil menunjuk Galih, lalu menghampiri laki-laki itu dengan agresif.
Bella tidak terkejut. Gita memang seperti itu. Detik berikutnya, Gita seperti ketua geng yang memarahi anak kutu buku dan Galih adalah korbannya.
Sambil berdiri di samping Galih dan berkacak pinggang, Gita berkata, "Dengerin ya Galih... Punya anak dua pun masih bisa pisah, rumah tangga masih bisa hancur. Apalagi yang masih tahap lamaran? Nggak usah jadi orang lemah dengan memaksakan diri menerima semuanya dan jangan menghasut Bella untuk jadi orang lemah. Biarin dia kabur."
Bella menarik-narik tangan Gita agar duduk kembali karena melihat Galih wajahnya berubah pias. Saat memperhatikan sekeliling orang-orang memperhatikan mereka bertiga dengan kerutan di kening.
Dengan sedikit penolakan, akhrinya Gita duduk tenang di kursinya walaupun masih menatap Galih dengan tatapan tak suka.
"Anggap aja gue kabur hari ini, terus gimana sama kutukan itu? Saran lo cukup bagus Git, tapi Galih juga ada benarnya."
Tidak apa-apa jika Gita kecewa. Tapi, apa yang Galih katakan memang ada benarnya. Keluarganya akan dinilai buruk kalau Bella kabur. Walau mempertahankan pernikahan itu sama seperti menggenggam duri seumur hidup.
"Lo aja deh yang bantu Bella." Sekarang Gita lagi-lagi meminta pada Galih. "Nikahin Bella secara pura-pura. Setelah lewat usia 28 tahun kalian tinggal cerai aja. Dari tadi lo nggak mau dia kabur, kan?"
Galih memasang ekspresi kebingungan sekaligus terkejut. "Ke--kenapa aku? Kenapa bukan Pak Seno? Bella bilang Pak Seno sudah setuju, kan?"
"Udah nggak usah. Lagian, Galih masih ngincer Ratna. Kalau dia nikah sama gue, Ratna semakin menjauh dan Galih gagal mendapatkan Ratna."
Beberapa menit kedepan tidak ada obrolan serius. Mereka bertiga sedang fokus dengan pikiran masing-masing.
"Gimana kalau kita minta bantuan Ratna?"
"Ha? Tolong jangan libatkan Ratna."
Gita menggertakan giginya menyuruh Galih diam. Laki-laki itu langsung menutup mulut.
"Maksudnya libatkan Ratna?"
"Kakak Ratna ada di Singapura kan? Dan lo kenal sama dia? Kita tinggal minta tolong aja sama Ratna. Minimal lo kabur selama 1 bulan sekaligus untuk refresing atau nyari cogan, ya kan?"
"Bisakah kalian tidak melibatkan Ratna? Kita bisa menyelesaikan ini tanpa melibatkannya." Galih tampak memohon.
"Benahin dulu deh kalimat lo. Ngomong aja masih kayak kamus KBBI. Nggak usah terlalu kecintaan sama Ratna. Dia belum tentu mau sama lo."
Apa yang keluar dari mulut Gita cukup menyakitkan dan Bella merasa tidak enak pada Galih.
"Udah-udah kalian nggak usah berantem." Bella menarik napas dan menghembuskannya. "Setelah gue pikir, kayaknya kabur adalah solusi terbaik. Gue tetap akan pergi ke luar negeri tapi gue nggak tahu pasti akan kemana dan---"
"Nggak usah pakai mikir!" Potong Gita cepat. "Ada gue dan Galih. Apapun yang lo butuhkan lo bisa minta tolong sama kita. Gue nggak akan biarin sahabat gue nikah sama orang yang nggak dia sukai."
Bella tersenyum penuh terima kasih pada Gita.
"Makasih, guys! Kalian emang sahabat terbaik gue!" Bella merentangkan tangannya menyambut dua sahabatnya itu yang pasti akan langsung memeluknya. Kali ini Galih tampak tidak bersemangat seperti biasanya.