EPISODE 10 "BALAS DENDAM"

1406 Kata
"Bukannya kemarin malam Bos Kak Bella udah kasih waktu cuti selama beberapa minggu? Kenapa Kak Bella masih berangkat kerja?" Suara itu menginterupsi Bella dari pikiran dan fokusnya menyetir mobil. Ia mengangguk pada Evelyn yang duduk di sebelahnya. "Maunya sih di rumah aja, Ev. Tapi, kalau di rumah aja malah bikin Kak Bella pusing dengerin omongan semua orang." Nanti ibu, ayah dan neneknya pasti akan mengomeli Bella soal sikapnya pada Arseno. Padahal, seharusnya mereka berterima kasih dan tidak mengusiknya lagi karena sudah bersedia menerima perjodohan itu. Tapi, Bella tidak sepenuhnya jujur pada Evelyn. Rasa suka dan cintanya pada Seno begitu besar. Satu hari tanpa melihat atau mendengar suara Seno terasa hambar hidupnya. Seno adalah alasan Bella tetap pergi ke kantor. Bella sudah kecanduan Seno. "Halah Mbak paling alasan aja. Ya, kan?" selidik Arseno yang tiba-tiba ikut dalam pembicaraan. "Atau jangan-jangan Mbak mau minggat?!" Bella menghela napas berat. Ia hampir lupa ada sosok lain di dalam mobil. Sosok yang seharusnya sejak awal tidak satu mobil dengannya. "Berisik!" "Kalau Mbak cantik mau minggat ayo minggat bareng aku!" ajak Bocah itu sembari menyandarkan tangannya di sandaran kursi Bella. Wajah Arseno tepat berada di samping kepalanya. "Ogah!" tolak Bella tegas sembari menjauhkan kepala bocah itu. "Justru gue mau minggat dari lo!" Ditolak tegas Arseno langsung memasang wajah cemberut dan memundurkan badannya. "Bisa nggak sih lo nggak bikin muka kayak gitu? Merasa masih kayak bocah lo ya? Ya walaupun tingkah lo emang kayak bocah." Bella menegur karena mendapati Arseno sok terlihat menggemaskan. Bella bukan psikopat, tapi kalau berhadapan dengan Arseno otaknya tiba-tiba memikirkan sesuatu yang kejam. Bella tidak benci anak-anak, tetapi jika seseorang yang harusnya bertingkah dewasa malah terlihat seperti anak-anak, Bella ingin mengambil karung dan mengarungi orang itu. Mungkin membuangnya ke sungai. Bukannya menurut, Arseno malah semakin menjadi-jadi. Bibirnya ditarik sampai terlihat ada cekungan di pipinya. Matanya dikedip-kedipkan, lalu dia juga bergerak ke kanan dan kiri. "Mobil bisa kebalik kalau lo nggak mau diem!" tegur Bella sekali lagi sembari melirik cowok itu melalui kaca tengah mobil. "Minum obat kalau cacingan, bukan malah dibiarin!" Arseno lantas mengapit kakinya dengan kedua tangan. Dia melipat bibir dengan bola mata melirik ke atas. Seperti anak kecil. Tiba-tiba Evelyn terkekeh. Bella tidak mengerti apa yang lucu. Tapi, sepertinya Evelyn tidak merasa Arseno aneh. "Ini RSJ setempat gimana sih, kok ada pasiennya berkeliaran nggak diurus begini?!" Evelyn semakin tertawa terbahak-bahak. Bella juga tersenyum dengan leluconnya sendiri. Arseno? Dia memanyunkan bibirnya. Ngambek. "Mbak, Mbak! Acen mau nanya boleh?" "Bisa diem, nggak?" Arseno menggeleng keras dengan bibir manyun. "Kenapa Mbak nggak punya pacar? Padahal kalau dilihat pakai sedotan Mbak ini cantik atau sengaja nungguin Acen ya?" "Acen?" suara tanya itu berasal dari Evelyn. Gadis itu mengerutkan kening padanya. "Tuh Bocah nyuruh Kak Bella panggil dengan sebutan Acen." Bella menjelaskan agar Evelyn tidak kebingungan. Evelyn mengangguk paham dan melirik Acen lewat spion tengah. Dua orang itu saling tatap dan terputus dengan cepat karena Arseno mengalihkan tatapannya. "Bener kan Mbak? Pasti nungguin Acen." Arseno melipat tangan dengan senyum bangga. "Gue penasaran waktu kecil kepala lo pernah kebentur apa, sampai tingkat kepercayaan diri lo melebihi orang pada umumnya?" "Kebentur cinta Mbak cantik, hehehe." Bella melirik jijik. "Arseno Savador, sekali lagi gue kasih tahu lo ya. Gue ini dipaksa untuk menerima perjodohan itu dengan senang hati walaupun hati gue kesiksa banget." Bella sengaja mengatakan itu dengan nada lembut agar Arsen memahaminya. "Ah nggak percaya!" Bella sontak melotot. "Usia Mbak 28 tahun masa cuma nolak perjodohan aja nggak bisa? Halah Acen tahu kok, emang dasar Mbaknya yang mau sama cowok ganteng ini kan?" "Budek ya? Gue.Dipaksa!" Bella menekankan kalimatnya. "Yang artinya gue nggak bisa nolak." Di akhir kalimat Bella masih sempat menoleh ke belakang untuk memberi pelototan gratis pada Arseno. Arseno bergidik ngeri sambil menelan air liurnya susah payah. "Ev, kok lo bisa punya sepupu galak banget, sih? Persis banget kayak Nenek lampir." Arseno terkikik. Evelyn mengulas senyum. "Kamu aja yang banyak bicara, Ar." Dia lantas membuang wajah ke luar jendela. Untuk pertama kalinya dua orang itu berbicara. Dan, Bella bisa menilai bahwa Evelyn sepertinya masih punya perasaan pada Arseno. Dari cara menatap dan suara yang keluar dari mulut gadis itu terdengar berbeda. "Oh iya Ev, nanti kamu pulangnya gimana? Kak Bella nggak bisa jemput kayaknya." Bella sengaja mengganti topik untuk kesehatan mental dirinya sendiri. Ia tidak mau mati muda karena stroke atau serangan jantung menghadapi Arseno. "Sama Acen aja. Nanti kita bakal diantar pulang sama Pak Supir." "Lo mau ngampus? Lo aja masih pakai pakaian semalam. Lo bisa terlambat kalau harus siap-siap dulu." "Aduuh! Makasih Mbak cantik udah peduli. Bener kan kata aku, lama-lama Mbak cantik pasti bakal suka sama aku, hehe." "Bu... Bukan gitu maksud gue," sahut Bella gelagapan. Ia mengelak apa yang Arsen pikirkan. Lagi pula siapa yang peduli padanya? "Kalau mau jadi Mahasiswa yang baik itu harus datang tepat waktu." "Wah, Mbak cantik nggak tahu, ya?" "Tahu apa?" "Kalau Acen ini orang kaya." Bella memasang wajah datar tanpa kata. "Apa hubungannya?" "Om Arman salah satu donatur terbesar di kampus kita, Kak," jelas Evelyn seolah tahu Apa yang Bella pikirkan. "Oh, jadi maksudnya lo pakai power Bokap, huh? Dih, cemen banget," decih Bella. "Ya gimana ... Acen udah kebelet kawin, tapi masih harus kuliah. Daripada Free s*x mendingan nikah, tapi masih dibiarin kuliah, kan? Pinter kan Acen?" Bella hanya bisa menggeleng tak habis pikir ada orang seperti Arseno. "Tapi, setelah nikah sama gue. Lo tetap nggak akan bisa mendapatkan apa yang lo mau. Saran gue, nikah sama yang lain aja sebelum lo menyesal." Bella berharap Arseno akan mengiyakan. Arseno menggeleng. "Acen tetep mau nikah sama Mbak! Pokoknya nggak mau yang lain!" Ini sebenarnya ada apa dan apa yang Arseno cari sampai tidak mau dengan perempuan lain dan harus Bella? "Kayak nggak ada perempuan lain aja. Di dunia ini masih banyak yang mau sama lo walaupun lo bikin orang darah tinggi." "Orang kaya mah bebas. Wleee!" Arseno menjulurkan lidahnya meledek Bella. Bella berdecak tak suka. "Kalau gitu kenapa lo mau nikah sama gue? Gue miskin. Kita nggak selevel." "Karena cuma Mbak cantik yang butuh laki-laki dan cuma Mbak yang kayaknya bersedia ditidurin, hihihi!" Bella melotot seketika, kemudian menginjak rem secara tiba-tiba. "Kak Bella!" pekik Evelyn saat kepalanya hampir menabrak dashboard mobil. "Turun lo." Bella menghentikan mobilnya di tepi jalan. Arseno menatap Bella dengan ekspresi bingung. "Loh, ini belum sampai di rumah Acen Mbak. Masa udah disuruh turun aja?" "Gue bilang turun." "Mbak marah ya? Mbak sensitif banget sih jadi perempuan. Emang salah kalau Arsen bilang cuma Mbak yang mau ditidurin dan butuh laki-laki? Bukannya Mbak memang butuh laki-laki supaya kutukan itu nggak jadi kenyataan kan?" Arseno pasti sudah tahu hal itu dari keluarganya. "Iya butuh banget, tapi bukan Bocah kayak lo. Dan, gue males lihat muka dan males denger suara lo. Cepet turun sebelum gue paksa lo turun." "Kak ...." Evelyn mencoba untuk menenangkannya tapi tidak bisa. Ubun-ubun Bella sudah terbakar karena emosi yang melewati batas. Arseno mengambil sesuatu di kantong belakang kursi Bella. Dia memakai kantong kresek belang-belang di kepalanya. Menutupi wajahnya dengan itu. "Nah, sekarang Mbak nggak lihat muka Acen, kan? Dan sekarang Acen bakal diem." Evelyn dan Bella menahan diri untuk tidak tertawa melihat kekonyolan Bocah itu. Kenapa bisa-bisanya bocah itu bertingkah aneh? Bella tidak jadi marah tapi tetap akan menurunkannya. "Turun nggak?" Arsen mengeluarkan dompetnya. "Dua ratus ribu. Acen bayar dua ratus ribu. Atau lima ratus ribu, deh. Yang penting Mbak antarin Acen sampai rumah." "Lo pikir gue taksi? Cepet turun!" "Kak, nanti Evelyn bisa terlambat." Bella mengangkat tangan menyuruh Evelyn diam sebentar. "Turun nggak lo? Gue males lihat muka lo dan kuping gue budek dari tadi dengerin lo ngoceh." "Mbak jahat banget, sih ...," lirih Arseno dengan bibir cemberut dan mata berkaca-kaca. "Masa tega turunin cowok seganteng ini di jalanan? Nanti kalau Acen diculik banci kaleng gimana?" "Bagus. Supaya lo jadi kesayangan mereka. Cepet turun!" Dengan langkah pelan, Arseno turun dari mobil. Berdiri di tepi jalan masih memakai kresek di kepalanya. "Kak Bella nggak kasihan?" Evelyn menoleh ke belakang memperhatikan Arseno yang mulai terlihat jauh karena mobil mereka mulai bergerak. "Dia punya uang banyak. Dia bisa pesan taksi dan bisa suruh supir jemput. Udah nggak usah khawatir. Kalau kita satu mobil sama dia, bisa bahaya." "Bahaya kenapa, Kak?" "Mental Kak Bella dalam bahaya." Bella memastikan Evelyn sebentar, dia terlihat kahwatir dengan cowok itu. "Udah, nggak perlu khawatir. Dia nggak akan kenapa-kenapa, Ev." Anggap saja itu pembalasan dari Bella! Cowok itu juga menyebalkan. Apa katanya? Bella butuh laki-laki? Dalam konteks tertentu memang benar, tetapi tidak sampai sebegitunya! ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN