Bab 6

989 Kata
Cahaya sore yang keemasan menembus celah-celah tirai ruangan. Elena berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya sendiri. Wajahnya masih memperlihatkan bekas dari malam yang panjang dan penuh gejolak, tetapi sorot matanya kosong. Hari ini akan menjadi awal dari kehidupan barunya, kehidupan yang dikendalikan oleh satu keputusan besar yang tak bisa dia tarik kembali. Wanita itu melirik pil pencegah kehamilan di atas meja. Sean meninggalkannya sebagai pengingat bahwa dia kini berada dalam kendali pria itu. Perlahan, Elena mengambil pil tersebut dan menggenggamnya erat. Ada gejolak dalam hatinya—menyerah pada situasi ini atau melawan. “Aku tahu ini salah, tapi aku tak punya pilihan.” Elena memejamkan mata, menelan pahit kenyataan yang harus dijalaninya. Suara ketukan pintu membuat Elena tersentak. Dia menoleh dan melihat ibunya terbaring di ranjang rumah sakit. "Aku melakukan ini untukmu, Ibu" gumam Elena, seakan membenarkan pilihannya. Dia memasukkan pil pencegah kehamilan itu ke mulut, lalu meneguk air. Sekali lagi memandang wajahnya di cermin, Elena berkata, “Kau sudah mengambil keputusan, Elena Wilson. Bersiaplah!” Setelah memastikan dirinya siap, Elena meraih tas dan melangkah keluar dari ruangan. Di koridor, dia melihat seorang pria muda berpakaian rapi menghampirinya. "Nona Elena, mobil sudah menunggu," ucap pria itu. Wajahnya tanpa ekspresi, seperti sudah terbiasa dengan tugas ini. Elena mengangguk, mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Di dalam perjalanan menuju rumah Sean Blackwood, Elena tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mobil meluncur mulus di jalanan kota, melewati gedung-gedung tinggi yang menjulang megah. Bayangan ibunya, suara Josh yang penuh dusta, dan tatapan tajam Sean—semua bercampur aduk di benaknya. Tidak ada lagi jalan untuk mundur. *** Rumah Sean Blackwood bukan sekadar rumah; itu adalah istana modern. Gerbang besar berlapis baja terbuka secara otomatis, mengungkapkan taman luas yang ditata sempurna. Di ujung jalan setapak, berdiri bangunan besar dengan arsitektur kontemporer yang memancarkan kekayaan dan kekuasaan. Mobil berhenti di depan pintu masuk, dan seorang pelayan membukakan pintu. "Selamat malam, Nona Wilson. Tuan Blackwood sudah menunggu di ruang kerja," ujar pelayan itu, dengan sopan namun tegas. Elena mengangguk singkat dan mengikuti pelayan menuju ruang kerja Sean. Langkahnya terasa berat, seolah setiap pijakan membawanya lebih dekat ke tepi jurang. Ketika pintu terbuka, dia melihat Sean duduk di balik meja besar, dengan setumpuk dokumen di depannya. Dia mengangkat kepala, dan senyum tipis tersungging di wajahnya. "Kau datang tepat waktu," ucap Sean, matanya memperhatikan Elena dari atas ke bawah. "Duduklah." Elena menarik kursi di depan meja dan duduk. Tangannya mencengkeram tas dengan erat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Sean menggeser sebuah map ke arah Elena. "Ini kontraknya," katanya singkat. Elena membuka map itu dan membaca isinya. Mata birunya bergerak cepat, berusaha mencerna setiap kata. Kontrak itu berisi syarat-syarat perjanjian mereka, termasuk klausul bahwa Elena tidak boleh memiliki hubungan dengan pria lain selama dia menjadi bagian dari hidup Sean. "Apa semua ini benar-benar perlu?" tanya Elena, menatap Sean dengan cemas. Sean bersandar di kursinya, melipat tangan di d**a. "Aku selalu memastikan semua yang kuinginkan tertulis dengan jelas. Dengan begitu, tidak akan ada kesalahpahaman." Elena menelan ludah. Dia ingin membantah, tetapi tidak memiliki argumen yang cukup kuat. Dengan tangan gemetar, dia meraih pena dan menandatangani kontrak tersebut. “Aku tahu kau akan mengambil keputusan yang tepat, Elena.” Sean menarik surat kontrak itu, memperhatikan tanda tangan Elena yang menjadi simbol keterikatan mereka. Lalu, Sean mengangkat wajahnya, menatap Elena dengan mata elangnya. “Aku hanya butuh kau untuk patuh padaku, maka aku akan memberikan semua yang kau butuhkan.” Sebuah tarikan napas dalam Elena hembuskan, seolah ada beban berat yang mencengkeram d**a. Di dalam pikirannya, Elena berulang kali mengatakan kalau semua ini dia lakukan untuk ibunya. Sean membimbing Elena ke kamarnya yang baru. Kamar itu mewah, jauh lebih besar dari apartemen yang dia tempati bersama ibunya. Tempat tidur king-size, sofa empuk, dan balkon dengan pemandangan kota membuat Elena merasa seperti berada di dunia yang berbeda. "Aku akan membiarkanmu beristirahat malam ini," ujar Sean sebelum pergi. "Besok kita akan membahas aturan-aturan yang perlu kau patuhi." Ada aura kuat dalam diri Sean yang membuat Elena menahan napas. Seringai samar yang dia lihat di bibir Sean, terasa seperti aturan yang tidak bisa dibantah. Setelah Sean keluar, Elena mengunci pintu dan bersandar pada dinding. Matanya menjelajahi kamar itu, tetapi pikirannya tetap tertuju pada ibunya. Bagaimana jika ibunya tidak bertahan meskipun dia telah melakukan semua ini? Pikiran itu menyesakkan d**a Elena. Dia berjalan ke balkon, berharap udara malam dapat meredakan kegelisahannya. Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. Elena menatap langit yang dihiasi bintang-bintang. Tetapi ketenangan itu tak bertahan lama. Di balik bahunya, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ketika dia berbalik, Sean berdiri di sana. "Pintu terkunci. Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Elena dengan nada tajam. Sean mengangkat alis, menyeringai. "Kau lupa, ini rumahku. Aku memiliki akses ke setiap pintu yang aku inginkan." Elena memalingkan wajah, menatap kembali ke luar. "Apa yang kau inginkan?" Sean mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. Setiap langkah yang terdengar terasa mengentak d**a. Elena meremang ketika merasakan napas hangat Sean menerpa lehernya. Dia memejamkan mata dengan tangan yang mengepal. Tidak, Elena belum siap untuk apa pun yang berhubungan dengan perjanjian itu. "Hanya memastikan kau merasa nyaman," jawab Sean, suaranya terdengar rendah dan menggoda. "Aku akan baik-baik saja," jawab Elena singkat. Sean mendekatkan wajahnya ke telinga Elena, bisikannya nyaris seperti angin. "Jangan lupa, kau milikku sekarang." Sean perlahan melangkah mundur, menjauh, dan akhirnya meninggalkan Elena sendiri di kamar itu. Ketika Sean pergi, Elena merasa seolah seluruh udara di sekitarnya telah dihisap keluar. Dia kembali ke dalam, membaringkan diri di tempat tidur yang terasa dingin meskipun dipenuhi kemewahan. Otaknya tidak bisa berhenti berpikir. Apakah dia telah membuat keputusan yang tepat? Ataukah dia baru saja menjual jiwanya pada iblis? Malam itu, Elena tidak bisa tidur. Suara jarum jam yang berdetak di dinding terasa seperti suara lonceng yang memanggilnya menuju takdir yang tak bisa dia hindari. Tetapi di tengah malam, sebuah pikiran muncul di benaknya. Jika Sean bisa membantunya, mengapa dia tidak mencoba memanfaatkan situasi ini untuk mengembalikan kontrol atas hidupnya? Dia tidak akan menjadi korban. Tidak lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN