Bab 5

1285 Kata
Detak jantung Elena mulai menggila. Darahnya seolah mengalir berbalik arah. Suara itu terdengar dalam dan tenang, mengingatkan Elena pada sebuah situasi yang memabukkan. Bisikan-bisikan seduktif dan desahan-desahan erotis menelusup ke telinga Elena, menyerbu ingatannya dengan adegan panas dan kenikmatan yang membuatnya menggigil hingga ke tulang belakang. “Itu kabar bagus,” celetuk Dr. Evans yang membuyarkan memori panas Elena. Wanita itu mengerjapkan mata, memutus tatapannya dari Sean. Dia meneguk ludah, kemudian berkata, “Tunggu!” Elena berusaha menguasai situasi. Dia tidak akan sembarangan mengambil keputusan. Elena tidak mengenal pria itu, bahkan namanya saja dia tidak tahu. Kecuali apa yang terjadi semalam ketika dia mabuk, Elena tidak ingin pria itu terlibat dalam hidupnya terlalu jauh. Elena memandang Sean dengan tegas. “Aku menghargai kebaikan hatimu, Tuan, tapi maaf aku tidak bisa menerima bantuan itu.” Elena menolak dengan halus. “Elena—” Dr. Evans tidak meneruskan ucapannya saat Elena mengangkat tangan, isyarat agar dia tetap diam. “Aku tahu yang kulakukan,” ucap Elena pada dokter tersebut. Tepat setelah Elena mengucapkan itu, seorang perawat datang dan bicara pada Dr. Evans, “Dokter, kami membutuhkanmu di ruangan Nyonya Wilson.” “Ibu?” Elena seketika itu panik. “Aku segera ke sana,” balas Dokter Evans pada perawat itu. Dia lantas berpaling pada Elena. “Pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan. Ibumu butuh transplantasi itu segera.” Dokter Evans meninggalkan Elena dengan kecemasan yang mencekik. Elena tidak ingin kehilangan ibunya. “Kau mungkin tidak menginginkan bantuanku, tetapi ibumu membutuhkan uang itu,” ujar Sean. Elena berbalik, memandang pria itu tanpa mengucap sepatah kata. “Keputusan ada di tanganmu.” Sean menatap intens tepat pada mata Elena. “Aku hanya memberikan apa yang kau minta padaku,” lanjutnya dengan suara dalam. Sekilas ingatan tentang kejadian semalam kembali datang. Elena meneguk ludah dengan susah payah. Dia tidak mengingatnya dengan baik, tetapi dia memang mengatakan bahwa dia menawarkan dirinya pada Sean untuk mendapatkan uang. d**a Elena terasa sesak, air matanya meleleh membanjiri wajah. Elena menarik napas dalam. “Semalam aku mabuk. Aku tidak tahu apa yang kukatakan.” Dia menjilat bibir. “Dan jika ini tentang apa yang kita lakukan semalam, aku tidak seperti yang kau pikirkan. Itu semua di luar kendaliku. A-aku tidak berniat menjual keperawananku padamu,” lanjutnya dengan suara yang bergetar. “Menjual keperawanan.” Sean mendengkus lirih. “Menarik, tapi aku tidak akan menyebutnya seperti itu,” imbuhnya. Dia kemudian berkata, “Bagaimana dengan sebuah kesepakatan?” Bola mata Elena bergoyang pelan, menggambarkan pertanyaan yang menggaung di kepalanya. “Kurasa kita perlu bicara lebih privat mengenai masalah ini,” ujar Sean seraya menggulir bola mata ke sekitar. Mereka sedang berada di koridor rumah sakit. Pembicaraan itu akan menjadi sesuatu yang sangat privat dan serius. Maka dari itu, Sean membawa Elena ke tempat yang lebih sepi. Duduk berhadapan dengan dipisahkan oleh sebuah meja, masih di area rumah sakit. Di kepala Elena berputar-putar spekulasi tentang kesepakatan yang ingin Sean bicarakan dengannya. Dengan nominal uang sangat besar yang dia butuhkan, mungkin Sean akan menjadikan dirinya pelayan seumur hidup. Atau mungkin dia akan bekerja untuk Sean tanpa gaji sampai semua utangnya lunas. Itu memang berat, tetapi Elena mulai menata pikirnya untuk menerima keadaan seburuk apa pun yang harus dia jalani nantinya. Tatapan intens Sean tak beralih dari wajah Elena. Penampilan Elena yang berantakan mengingatkannya pada kejadian semalam. Elena bahkan tidak berusaha menutupi kissmark yang dia tinggalkan, dan itu membuat gairah Sean kembali tersulut. Sean terlihat tenang, tetapi teman kecilnya di bawah sana mulai mengeras. “Kenapa kau pergi?” tanya Sean, memulai percakapan serius itu. Elena menghindari tatapan Sean. Dia tak mengangkat wajah sejak mereka duduk saling berhadapan beberapa waktu yang lalu. “Lihat aku! Aku bicara padamu,” perintah Sean. Elena mengangkat wajah dengan d**a yang berdebar-debar. Setiap inchi wajah Sean membawa kilasan-kilasan memori yang membuat tubuhnya bereaksi tak terduga. “Kau meninggalkanku begitu saja,” ucap Sean. “Kenapa?” tanyanya kemudian. “Aku mabuk. Apa yang terjadi semalam, itu di luar kendaliku. A-aku ingin melupakan kejadian itu dan menganggap kita tidak pernah bertemu,” jawab Elena dengan jujur. Sean mengusap dagu dengan jarinya. Mata elangnya masih terpaku pada Elena. “Kau tidak boleh melupakan apa yang terjadi semalam,” ujarnya, terdengar dominan. Bibir Elena membuka, matanya menatap Sean dengan kebingungan samar. Begitu dia menyadari smirk di sudut bibir Sean, dia lantas mengalihkan pembicaraan. “Kurasa ada hal penting yang harus kita bicarakan, Tuan ….” Elena menggantung ucapannya. Dia tidak tahu harus memanggil apa pada pria itu. “Blackwood,” ucap Sean. “Baiklah, Tuan Blackwood.” Elena menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan keras. “Kau tadi mengatakan tentang sebuah kesepakatan. Jadi, bagaimana aku harus membayar utangku jika kau membantuku dengan biaya pengobatan ibuku?” tanya Elena. Sudut bibir Sean melengkungkan sebuah senyuman. Elena mulai masuk dalam perangkapnya. “Aku butuh kau di rumahku,” jawab Sean. Elena melipat bibir, otaknya mulai berpikir dengan cepat. Sean ingin dia di rumahnya. Sepertinya memang dia harus bekerja pada pria itu sampai semua utangnya lunas. Dia meneguk ludah, berusaha menerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Bukankah dia sedang butuh pekerjaan? Memang bukan pekerjaan kantoran seperti yang dia harapkan, tetapi setidaknya dia akan memiliki pekerjaan, bukan? “Jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah,” balas Elena. “Siapa yang memintamu melakukan pekerjaan rumah?” Mata Sean menyipit, mengintimidasi Elena. “Bukankah kau ingin aku menjadi pelayan di rumahmu?” tanya Elena, menyuarakan apa yang ada di dalam pikirannya. Sean mendengkus lirih. “Aku tidak pernah berkata kau akan menjadi pelayan di rumahku,” ujarnya. “Lalu?” Elena memandang Sean, penasaran. “Aku ingin kau menjadi simpananku.” Sean berkata dengan tegas. Petir serasa menggelegar di atas kepala Elena. Menjadi simpanan tidak jauh berbeda dengan menjadi seorang pemuas nafsu? Lalu, apa bedanya dengan menjual diri? Namun, ketika Elena hendak menolak kesepakatan itu, dia kembali teringat pada ibunya. Dia butuh uang itu segera, atau nyawa ibunya menjadi taruhan. Mata Elena terpejam rapat, dan dia menarik napas dalam. Jari-jemarinya meremas ujung rok, menguatkan diri sendiri atas situasi sulit yang harus dihadapi. Elena meneguk ludah, lalu bertanya dengan suara bergetar, “Jadi kau ingin aku menjadi b***k seksmu?” “Aku tidak tahu kau menyebutnya apa.” Sean mengedikkan bahu, pura-pura tidak tahu. Mata Elena memejam, kepalanya menunduk. Kenyataan bahwa dia telah menyerahkan keperawanannya kepada pria asing sudah cukup menyakitkan. Dan kini dia harus menukar tubuhnya dengan uang. Itu membuat Elena merasa seperti seorang p*****r. Namun, keadaan memaksa dirinya untuk mengambil keputusan dengan cepat. “Apa hanya itu yang harus kulakukan?” tanya Elena tanpa mengangkat wajah. “Ya, dan aku punya satu syarat,” ucap Sean. “Apa syaratnya?” Elena memberanikan diri memandang Sean. “Jangan hamil, atau kau harus membayar dua kali lipat dari yang aku berikan padamu,” jawab Sean. Elena tidak dapat berpikir lagi. Terlalu banyak masalah yang harus dia hadapi. Meskipun berat, dia harus mengambil risiko. Hanya Sean yang dapat membantunya. Elena melakukan semua ini demi ibunya. “Baiklah, aku setuju,” putus Elena. Seringai samar di sudut bibir Sean menunjukkan sebuah kepuasan. “Kau mengambil keputusan yang tepat, Elena,” ucap Sean, menyebut nama wanita itu dengan bisikan seduktif. Dia lantas meletakkan dua butir pil di hadapan Elena, pencegah kehamilan dan pereda nyeri. “Ambil ini,” titahnya. Elena masih terpaku di tempat, memandang dua butir pil di atas meja. “Jake akan mengurus semuanya. Ibumu akan segera dioperasi,” ujar Sean. “Terima kasih,” ucap Elena, meski dia tak yakin harus mengatakannya. Sean beranjak dari kursi sambil merapikan jasnya. “Datanglah ke rumahku malam ini,” titahnya. Pria itu mengayunkan kaki, tetapi berhenti lagi di samping Elena. “Pastikan kau minum pil itu karena aku meninggalkan semua milikku di dalam dirimu,” bisiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN