Bab 4

1161 Kata
Suara gemericik air membangunkan Elena dari tidur nyenyaknya. Dia mengerjapkan mata dengan perlahan, lalu mengernyitkan alis. “God!” Elena mengerang sebab pusing yang menusuk kepala, hangover. Tidak hanya tentang hangover, tetapi dia juga merasakan sekujur tubuhnya remuk. Seluruh sendinya terasa kaku, dan semua rasa tidak nyaman itu berpusat pada tubuh bagian bawahnya, pada bagian pribadinya yang terasa nyeri saat dia menggerakkan kaki. “Ouch! s**t! Apa yang terjadi?” Elena memijit pelipis seraya membuka mata sedikit lebih lebar. Mata Elena melotot kala mendapati dirinya berada di sebuah kamar, berbaring di atas ranjang dengan selimut tebal yang menutup hingga d**a. Jantung seketika berdegup kencang. Dia mengintip tubuhnya di balik selimut, dan seketika menahan napas saat melihat dirinya sepenuhnya telanjang. “Oh my God! Apa yang sudah kulakukan?” Jantung Elena berdegup semakin kencang. Dia berusaha mengingat-ingat hal terakhir yang dilakukannya. Elena ingat saat dia pergi ke sebuah kelab dan minum beberapa gelas vodka, berharap dapat melupakan masalahnya untuk sejenak. Dia memejamkan mata, merangkai ingatan-ingatan samar yang melintas. Seorang pria coba mengganggunya, lalu pria lain datang. Dia ingat pria itu adalah orang yang sama dengan yang ditabraknya di rumah sakit. Dan saat dia membuka mata, dia melihat sebuah foto besar yang menggantung di dinding—tepat di depan matanya—yang mengonfirmasi ingatannya. “s**t! Apa yang sudah kulakukan?” sesal Elena. Dia menengok ke arah kamar mandi, melihat siluet seseorang di sana. “Aku harus pergi dari sini.” Kejadian itu di luar kendalinya. Dia mabuk dan tidak tahu apa yang dilakukannya. Siapa pun pria itu, Elena tidak ingin terlibat lebih jauh lagi dengannya. Jadi, dia bergegas turun dari tempat tidur, mengumpulkan semua pakaiannya yang berserak di lantai, dan tergesa-gesa mengenakannya. Dia harus kabur sebelum pria di kamar mandi itu keluar. Setelah memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal, dia segera melarikan diri dari sana. Apa pun yang terjadi selamam, Elena ingin melupakannya. Dia dan pria itu hanya orang asing, jadi akan lebih baik jika dia melupakan semuanya, dan menganggap tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka. Elena berjalan di selasar dengan sempoyongan. Lutut yang gemetar, dan sakit di s**********n adalah dua hal yang membuatnya hampir menyerah. Namun, dia harus tetap melangkah. Sambil menunggu pintu lift terbuka, Elena memeriksa ponsel. Ada beberapa panggilan dari Dokter Evans. Namun, ketika hendak menghubungi sang dokter, dia baru ingat kalau pagi itu dia memiliki janji untuk bertemu dengan CEO perusahaan tempat dirinya interview kemarin. “Aku tidak boleh terlambat,” umpat Elena. Sudah hampir pukul 8 pagi, dan dia masih terdampar di antah berantah dengan kondisi yang sangat berantakan. Elena menumpangi sebuah taksi menuju perusahaan itu. Dia merapikan diri sekenanya, tak ada waktu untuk sekadar mandi dan mengganti pakaian. Elena meminta sopir taksi untuk mengemudi lebih cepat, tetapi kemacetan tak dapat dihindari. Dia akhirnya tiba di perusahaan itu pukul 8 lewat 30 menit. “Kuharap masih ada kesempatan buatku.” Elena memandang gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di hadapannya. Wanita itu menyisir rambut dengan jari, kemudian melangkah senormal mungkin menuju lobi. Dia bertemu resepsionis, lalu berkata, “Permisi. Saya Elena Wilson. Saya ada janji dengan Pak Harris hari ini.” Resepsionis itu memandang Elena dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah ingin berkata bahwa hari itu adalah hari sial Elena. Sebelum akhirnya dia tersenyum ramah, dan berkata, “Mohon tunggu sebentar. Saya akan menghubungi Pak Harris.” Elena menunggu sambil berdoa supaya masih ada kesempatan untuknya. Tak lama kemudian, resepsionis itu menutup telepon, memandang Elena dengan penuh sesal. “Maaf, Nona Wilson. Pak Harris mengatakan bahwa beliau sudah merekrut orang lain.” “Apa? Tapi saya hanya telat 30 menit. Apa tidak ada kesempatan untuk saya?” Elena tampak frustasi. “Maaf, tapi hanya itu yang Pak Harris sampaikan.” Resepsionis itu membalas dengan sopan. Elena tidak dapat berkata-kata lagi. Dia sudah diperingatkan supaya dia tidak terlambat, tetapi dia melewatkan kesempatan itu. Dia tahu itu adalah kesalahannya, bukan Pak Harris. Elena terlalu lelah untuk berdebat. Jadi, dia berbalik, meninggalkan tempat itu dengan kekecewaan dan penyesalan. Ponsel Elena berdering. Dia merogoh tas, mengambil ponsel dari dalamnya. Nama Dokter Evans muncul di layar, dan Elena bergegas menjawab telepon tersebut. “Ya, Dokter?” sapa Elena begitu telepon tersambung. “Aku berusaha menghubungimu sejak semalam. Kau baik-baik saja?” tanya sang dokter. “Selain aku kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan… aku baik-baik saja. Bagaimana ibuku?” tanya Elena dengan lesu. “Aku turut sedih mendengarnya. Umh, ya. Ada yang ingin kubicarakan tentang ibumu. Bisa kau datang ke rumah sakit sekarang?” Nada bicara sang dokter terdengar serius. “Apa terjadi sesuatu pada ibuku?” Rasa cemas seketika memenuhi benak Elena. “Datang saja ke rumah sakit. Aku akan menjelaskannya,” pinta Dokter Evans. “Baiklah, aku segera ke sana,” sahut Elena. Apa pun yang ingin Dokter Evans katakan terdengar seperti hal yang sangat penting. Elena tidak membuang waktu lagi, dan segera pergi ke rumah sakit. Kaki jenjang Elena melangkah dengan cepat ke arah Dokter Evans yang sudah menunggu dirinya. “Dokter Evans,” panggil Elena. Dokter itu memandang Elena dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kau terlihat berantakan sekali. Apa yang terjadi?” tanyanya peduli. Elena membasahi bibir, lalu menjawab, “Hanya sedikit mabuk semalam.” Tampak keraguan dalam ekspresi Dokter Evans. Namun, ada hal yang lebih penting untuk dia sampaikan. Dia hanya berharap Elena berkata jujur mengenai kondisinya. “Aku punya berita bagus dan berita buruk,” ujar dokter itu. “Katakan saja, Dokter. Apa pun itu, aku akan mendengarkannya,” sahut Elena. Hidupnya sudah berada dalam kekacauan luar biasa. Satu berita buruk lagi sepertinya masih dapat dia tangani. “Kami sudah mendapatkan donor yang cocok untuk ibumu,” ucap dokter itu. Dia kemudian menarik napas dalam, sedalam tatapannya pada Elena. “Lalu?” Elena yakin itu adalah berita bagusnya, dan dia menunggu berita buruk yang ingin Dokter Evans sampaikan. “Aku tahu ini sulit bagimu, tapi transplantasi itu hanya akan dilakukan jika kau setidaknya membayar uang muka sebagai jaminan,” lanjut Dokter Evans, menatap Elena dengan kepedulian yang berbalut keprihatinan. Uang. Itulah masalah utama Elena saat ini. Dia butuh uang yang sangat banyak. Sekalipun Dokter Evans menyebutkan bahwa dia hanya butuh membayar uang muka terlebih dahulu, itu bisa jadi senilai harga sewa rumah yang dia tempati bersama ibunya. Elena menarik napas dalam dengan mata berkaca-kaca. Air matanya jatuh ketika dia berkedip. d**a Elena terasa begitu sesak, tetapi dia berusaha tetap kuat. “Kapan aku harus membayarnya?” tanya Elena dengan suara bergetar. “Dengan kondisi ibumu, lebih cepat lebih baik,” jawab dokter itu dengan lembut. Dia mengusap lengan Elena. “Dengar! Aku—” “Aku akan membayarnya!” Suara baritone itu mencuri perhatian Elena. Sebuah suara yang mengundang ingatan Elena tentang desahan seseorang. Suara milik seorang pria yang Elena kenal wajahnya. Pria itu melangkah dengan tegas yang setiap entakannya membuat jantung Elena berdegup semakin cepat. Dia berhenti di samping Elena, menatap Elena sekilas, lalu pada Dokter Evans. “Lakukan transplantasi itu. Aku akan membayar semua biayanya,” ucapnya dengan tegas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN