Eps 8

1931 Kata
“Gue suaminya Gita, gue kesini mau jemput bini gue.” Mata Gita melotot mendengar ungkapan Lexi barusan, sampai dia harus menutup mulutnya yang membulat. Iklan beranjak dari duduk, menatap Lexi dengan mata melotot. “Bisa diulangi?” pintanya. Dengan wajah santai yang memang terlihat galak, Lexi menatap Gita. Melihat kode si wanita yang meminta untuk tak mengatakan apapun. Kedua tangan itu menelakup meminta tolong dengan geleng kepala serta tatapan penuh permohonan. Lexi menggaruk kepala bagian belakang. “Uumm ... maaf, tadi ....” Iklan menuding tepat diwajah cowok imut dengan rambut pirang itu. “Kamu selingkuhan istri saya? Iya?” tanyanya dengan suara meninggi. Gita melangkah mendekat, menarik lengan Iklan. “Mas,” “Dia lelaki yang membawamu malam itu kan?!” tanyanya dengan tatapan nyalang. Lexi berdiri. “Keknya gue salah rumah deh.” Dua orang berstatus suami istri ini menoleh, menatap Lexi dengan penuh keheranan. Kening Gita berkerut, bingung tentunya. Terlebih Iklan. “Gita yang gue maksud ... bukan dia.” Menunjuk ke Gita dengan tatapannya. Iklan menatap istrinya yang penuh bingung, tapi detik kemudian ada kelegaan dimatanya. Begitu juga dengan Gita yang terlihat bernafas lega. “Yaudah, gue tunggu di gardu.” Ucap Lexi dengan melangkah keluar rumah. “Apa?!” seru Iklan. “Eh, maksud gue, gue permisi.” Kembali Lexi berucap, lalu melangkah keluar dari rumah mewah yang hampir sama seperti punya orang tuanya. Gita menatap Lexi, sampai cowok itu tak terlihat. Pen banget kintilin dia, beneran merasa nyaman ada disamping Lexi. Walau memang cowok itu galak padanya, tapi ... nyaman itu membuatnya betah. “Git,” Iklan menarik lengan Gita, menyadarkan wanita itu dari lamunan. Gita terlihat gelagapan. “Iya, kenapa, mas?” Menatap istrinya dari atas sampai bawah. “Kamu mau kemana? Kenapa pakai ... jaket ini lagi?” menarik sedikit jaket yang udah nempel ditubuh Gita. “Uum ... nggak kemana-mana, mas. Aku mau ... mau keatas.” Kembali Gita melangkah masuk. Kali ini ia ingin melihat Lexi dari balkon atas. Seharusnya dia bisa melihat suami keduanya itu jika masih berada digardu yang tak jauh dari rumahnya. Iklan membiarkan istrinya pergi ke lantai atas. Mungkin masih marah, makanya ingin menyendiri dulu. Yang penting ... Gita tetap ada dirumah. Begitu pikir Iklan. Memutuskan masuk ke kamar, melepas pakaian dan masuk kekamar mandi untuk membersihkan diri. Tak perlu waktu lama, dia sudah keluar dengan handuk yang melilit bagian pinggang kebawah. Meraih ponsel yang berkedip dengan getaran yang lumayan mengusik. “Hallo, put,” sapanya seraya menempelkan ponsel ke kuping. “Mas ... kangen.” Suara manja dari sebrang sana. Iklan tersenyum mendengar rengekan wanita yang beberapa bulan menjadi temannya bermain. “Tadi kan kita udah ketemu di kantor.” “Iihh, ketemu doang. Katanya mau ke sumur, nyatanya malah pulang lebih awal. Kesel!” dia merajuk. Membuat Iklan terkekeh mendengar itu. “Maaf, Put. Kamu kan tau, Gita masih marah sama aku. Nggak mungkin aku akan biarin dia makin ngambek. Ini aku lagi berusaha bujuk dia.” Terdengar desis penuh kesal dari Putri. Membuat bibir Iklan tak henti tersenyum, membayangkan wanitanya manyun dengan merajuk, aaahh ... ia tak tahan. Menatap jam dinding yang ada diatas pintu. “Aku main ke situ ya. Tapi ... hanya dua jam waktuku. Aku nggak bisa nginep.” Kali ini ada tawa disana. “Iya, mas. Aku tunggu. Kamu mau aku bikinin apa?” “Jahe s**u aja, biar anget.” “Ok deh, ntar aku tambahin plus, plusnya ya, biar betah disumur.” “Boleh, sayang.” Mematikan telpon, menaruh ponsel kembali diatas meja. Mulai membuka lemari dan memakai baju. Tak lupa menyemprot parfum ditubuh, lalu menyisir rambut. Meraih jaket warna hitam miliknya, lalu keluar dari kamar. Menatap ruangan yang ada dilantai atas, lampunya menyala dengan sangat terang. Membuatnya yakin jika Gita masih ada disana. Iklan menaiki tangga, tujuannya adalah kamar utama yang telah lama mereka tempati. Tersenyum saat menemukan istrinya berdiri dibalkon menatap luar sana. Memeluk Gita dari belakang, mengelus perut buncit yang tentu langsung bergelombang. Bayi didalamnya selalu merespon sentuhan tangannya. Membuatnya merasa bahagia, karna akan menjadi sosok ayah. “Sayang, aku mau keluar sebentar. Kamu ... mau dibeliin apa?” tawarnya. Gita hanya diam, walau tadi terlonjak karna terkejut dengan kedatangan Iklan, dia tetep diam nggak nolak pelukannya. “Mau titip apa, hn?” kembali menanyakan, karna tak juga mendapatkan jawaban. “Aku nggak pengen apa-apa.” Iklan tersenyum, mencium tengkuk istrinya. “Ntar aku beliin batagor kesukaan kamu.” Kembali mendaratkan kecupan di pipi. “Aku pergi dulu ya, sayang.” Tak ada respon, Iklan menarik lengan Gita, mencium pusar Gita. Lalu melangkah meninggalkannya. ** Mobil hitam milik Iklan yang memang belum lama dibeli, berhenti didepan rumah megah bercat biru. Mendengar suara mobil, Putri langsung berlari keluar kamar. membuka pintu yang ia kunci dari dalam. Tersenyum manis melihat Iklan yang baru saja keluar dari mobilnya. “Mas,” sapanya lembut. meminta tangan Iklan yang menenteng plastik. “Bawa apa, mas?” “Cuma martabak, pakai telur bebek dua.” Mencubit pipi Putri dengan gemas. Meminta plastik itu, tersenyum sambil menghirup aroma dari dalam plastik. “Keknya enak banget deh, mas.” “Yaudah, dimakan.” Keduanya masuk bersama dengan tangan Iklan yang merangkul pinggang Putri. Setelahnya, pintu ditutup rapat. Gita kembali mengusap mata yang kini benar-benar meneteskan bulir bening. Menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Tuhan ....” serunya dengan suara serak. Lexi sedikit menoleh, menatap Gita yang tentu menangis. “Kenapa nggak ijinin gue jujur ke suami elo?” tanyanya. Gita geleng kepala. “Aku nggak mau mas Iklan salah paham.” Kembali tangannya sibuk mengusap ingus. Lexi mengedikkan kedua bahu. “Ini sekarang lo mau kemana? Nungguin suami lo main ke sumur? Ato mau masuk dan ngelabrak mereka?” Gita geleng lagi. “Kalau masuk, aku takut.” Kening Lexi berkerut. “Takut apa?” “Takut ikut kecebur sumur.” “Cckk, kirain.” Lexi bersedekap, menatap Gita melalui kaca spion. “Laki kek gitu lo pertahanin, buat apa coba?” Gita manyun, mengelus perutnya. Kurang beberapa hari lagi, usia kandungannya sudah tujuh bulan. Seharusnya ... mereka memikirkan acara tujuh bulanan yang akan digelar. Tapi ... malah Iklan terlihat lupa, atau mungkin sengaja melupakan. “Sayang,” panggilnya lemah. “Aku lapar, dari siang belum makan.” Kedua bahu Lexi melemah. “Mau makan apa?” “Aku pen makan nasi padang aja.” “Di mana?” “Ya diwarungnya lah.” “Cckk, dasar ikan hiu. Adanya ngerepotin mulu.” Kesalnya, kembali memutar kunci dan menghidupkan mesin. Detik kemudian ninja putih itu melaju pelan meninggalkan tempat itu. Di dalam rumah bercat biru itu, dua manusia sedang asik bermain diatas ranjang. Membiiarkan seprai berantakan dengan pakaian yang berserakan diatas lantai. Iklan kembali mendaratkan kecupan dikening Putri. Sementara Putri ngusel didada bidang suami orang ini. Memeluknya dengan sangat possesif. “Makasih, sayang.” Ucap Iklan dengan mengelus rambut Putri. “Mas, bobok sini aja ya.” Rengek Putri. “Nggak bisa, Put. Kasihan Gita dirumah sendirian.” Wanita itu manyun, nabok d**a Iklan dengan kekecewaan. “Aku pen juga diperhatiin, mas. Masa’ mbak Gita terus yang diperhatiin. Tiap malem aku sendirian terus di rumah ini.” Merajuk lagi, Putri bangkit dari kasur. Duduk dengan menutup tubuh pakai selimut. Iklan ikut bangun, melingkarkan tangan keperut tipis wanitanya. “Dari awal aku udah bilang, aku ini udah punya istri. Tapi ... kamu tetep mau tidur sama aku.” Menyibak rambut yang menutupi leher, lalu mengecup leher Putri dari samping. Bibir Putri masih setia manyun, memukul selimut dengan kesal. “Iihh, mas, jadi ... kamu nggak sayang sama aku? Aku lagi hamil anakmu lho, mas. Aku juga mau diperhatiin, disayang-sayang. Nggak Cuma mbak Gita aja yang disayang.” “Hey, jan ngambek dong. Aku kurang perhatian gimana sih. Udah kubilang, apapun pasti aku kasih, asal ... jan meminta aku untuk nikahin kamu. Aku nggak mau dibilang peselingkuh.” “Hhiih,” kesal Putri. Beranjak dari kasur, membiarkan tubuh telanjangnya terlihat. Toh, Iklan udah hafal semuanya. Masuk kemar mandi untuk membersihkan diri. Iklan menyugar rambut, kembali menjatuhkan tubuhnya yang lelah. Dua kali permainan, cukup membuatnya puas dan merasa begitu kelelahan. Tersenyum mengingat percintaannya dengan Putri tadi. Wanita itu selalu bisa membuatnya puas. Beda banget sama Gita yang sekarang perutnya buncit, dia takut untuk melakukan hubungan intim terlalu sering, atau ... terlalu kuat. Takut terjadi sesuatu sama calon anaknya. “Put, udah selesai.” Tanyanya basa-basi. Wajah cantik itu masih aja manyun. Tak menghiraukan Iklan yang bertanya, Putri melangkah menuju lemari pakaian. Sengaja mengambil dalaman yang sepasang, lalu ligeri warna biru yang dia beli belum lama. Pokoknya pengen banget malam ini Iklan nemenin boboknya. “Yah, tegak lagi dia.” menatap pentungannya yang kini mulai mengeras. “Put, kamu mau tidur kok pakai pakaian kebuka gitu sih. Sengaja mancing aku ya?” “Mancing apaan, aku itu nggak bisa mancing.” Jawabnya tanpa menatap Iklan, kini ia duduk dikursi meja rias, mengeringkan rambut dengan hairdrayer. Iklan yang tau jika wanitanya ngambek, turun, mengambil kolor, lalu memakainya. Berdiri tepat dibelakang Putri, menatap wanita itu melalui kaca depan. “Udah ah, ngambeknya. Jan kek anak kecil gitu.” Mencubit gemas pipi Putri. “Kamu bohong, mas. Katanya mau nikahin aku, tapi sekarang berubah pikiran. Kita ini bisa nikah siri, mas.” Iklan memutar kursi, membuat Putri berhadapan dengannya. “Sayang, apa sih pentingnya aku nikahin kamu? Bukannya yang terpenting, aku selalu kasi kamu uang, kan? Apa pemberianku selama ini masih kurang bukti, kalo aku ini perhatian ke kamu?” Putri melemah, menatap kelain arah dengan masih manyun. “aku juga pen miliki kamu, mas. Aku pen di kelonin juga tiap malam.” “Sebenarnya ... jika Gita mengijinkan, aku mau aja nikahin kamu.” Mata Putri berbinar. “Kamu serius, mas?” Iklan ngangguk, meraba dadaa yang memang terlihat. “Aku serius, sayang. Tapi ... masalahnya, Gitanya enggak mau. Dia tau kalo aku khilaf aja, marah. Apa lagi sampai aku berniat nikahin kamu. Udah pasti dia bakalan tambah marah. Aku nggak mau kalau sampai bercerai dengannya.” Putri tetap tersenyum, setidaknya ... dia punya cara agar Iklan mau menikahinya. Mencari waktu yang tepat, lalu ngomong empat mata sama Gita. ** Kembali Lexi meneguh es jeruk yang telah ia pesan. Menyesap rokoknya dalam, mengeluarkan pelan melalui mulut dan hidung. Lalu geleng kepala melirik Gita yang mulai menaruh sendok. Piringnya sudah kosong. Sekarang meminum teh hangat yang ada tak jauh dari piring. “Gila, lo laper apa rakus sih.” Bukan bertanya, tapi ... mengumpat. Eh, mengejek. Gita tersenyum, melirik Lexi yang kembali menyesap rokok. “Sayang, kurangi ngerokok deh.” Kening Lexi berkerut, kembali pula ia membuang asap dari mulut. “Napa?” Gita menatap Lexi lekat dengan wajah polosnya. “Bibir kamu tuh bagus, kalo kamu keseringan ngerokok, nanti bisa item. Nggak bagus lagi.” Komentarnya, lebih tepatnya memberi saran. Entah apa yang terjadi, merasa begitu diperhatikan, ada getaran aneh didadanya. Lexi menjatuhkan tubuh kesandaran kursi, kembali menyesap rokok, menatap kelain arah. mencoba menghilangkan rasa gugup. “Aduuh, perutku jadi begah. Aku kekenyangan.” Keluh Gita, mengusap perut bagian atas. Berharap makanan yang tadi itu segera turun dan tak membuatnya begah. Lexi terkekeh kecil. “Makannnya, kalo makan tuh kira-kira. Itu tadi bisa dua kali makan. Tapi lo lahap semuanya. Dasar rakus!” Gita manyun, melirik Lexi yang masih terkekeh. “Kamu nggak tau, rasanya laper banget tuh kek gimana.” Lexi mematikan rokok ke asbak. “Abis ini, lo mau kemana?” tanyanya yang bersiap meninggalkan rumah makan. Gita menunduk, bingung juga dia mau kemana. Lalu geleng kepala. “Pen hitung kancing baju, tapi ... jaketmu nggak ada kancingnya.” Kembali kening Lexi berkerut. “Ngapain itung kancing baju?” tanyanya heran. Gita manyun, menatap Lexi yang juga menatapnya. “Bingung. Aku ... aku nggak pengen balik ke rumah. Aku males ketemu mas Iklan. Tapi ... kalo nggak balik, aku mau kemana lagi. Masa’ aku ... aku ikut kamu lagi? Ntar kalo kita dinikahin lagi gimana?” “Cckk, napa lo mikirnya baru sekarang? Kemaren otak lo ketinggal, hn?!” kesal Lexi. “Lo lupa, kemaren malem kita udah dinikahin? Lupa?” Gita makin manyun, lalu menunduk. Merasa beneran bersalah banget. “Maaf, sayang.” “Kita tuh udah nikah, tinggal kawinnya aja yang belom.” Mendengar ucapan Lexi, Gita melotot, menatap cowok disampingnya dengan sangat tak percaya. Yang ditatap terlihat cuek, beranjak dari duduknya untuk membayar tagihan. Segera Gita ikut beranjak. Menarik lengan Lexi saat cowok itu mengeluarkan dompet. “Biar aku aja yang bayar.” Lexi menoleh, menatap Gita yang mengeluarkan dompet dari dalam tas. Hanya mengedikkan kedua bahu, lalu ngeloyor keluar dari rumah makan. Menaiki motornya yang ada diparkiran, mengeluarkannya dan menunggu Gita diluar tempat parkir. Memutar kunci dan mulai menyalakan motor setelah melihat Gita keluar. “Gita, kamu ngapain?” Tak disangka, Iklan menghampiri mereka yang hampir saja pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN