Part 12

1089 Kata
Mobil yang dikendarai Raia masuk ke dalam pekarangan rumah. Ibu Raia tampak sedang membereskan barang-barang bawaan mereka ke dalam mobil dibantu oleh asisten rumah tangga sementara Sandy dan tukang kebun membawa barang-barang lain dari dalam rumah. Raia menghentikkan mobilnya tepat di depan garasi yang terbuka. Giska turun dan mengeluarkan tas ranselnya begitu juga dengan Kiki yang menarik kopernya menuju mobil. "Udah semuanya?" Tanya ibu Raia pada suami dan juga putranya. Keduanya menganggukkan kepala. "Kalo kursi dilipat gini, gak akan cukup dong Ma." Raia berkomentar saat sadar kalau SUV kakaknya itu hanya menyisakan dua baris kosong. "Mama sama Papa naik mobil kakak kamu. Jadi kalian bawa barang kami duluan." Ucap ibu Raia dengan santai mengusir anak-anaknya pergi begitu saja. Raia mencebik pada ibunya dan memandang kakak laki-lakinya. Namun Sandy malah mengedikkan bahunya dengan wajah tak peduli dan tanpa banyak bicara melangkah menuju balik kemudi. Raia hendak membuka sisi penumpang bagian depan, namun sebelum ia sempat menarik pegangan, Kiki menahan tangannya. "Gue di depan ya, Ya. Gue takut mabok kalo di belakang." Ucap sahabatnya itu dengan ekspresi memelas. Raia mengerutkan dahi sejenak, tapi kemudian ia mengedikkan bahu dan melangkah mundur untuk masuk ke bagian belakang dimana Giska sudah lebih dulu membuka pintunya dan duduk di sisi kanan kursi penumpang baris dua. Setelah memastikan penumpangnya sudah duduk manis di tempatnya, Sandy pun melajukan mobilnya. "Buka jendelanya ya."Pinta Giska tak lama setelah mobil keluar dari area perumahan Raia. "Kenapa?" Tanya Sandy heran. "Dia udik. Naik mobil tapi gak betah pakai AC lama-lama." jawab Raia yang tidak Giska tanggapi. Sandy hanya tersenyum dan kemudian mematikan AC sebelum membuka kuncian jendela. "Angin alami lebih enak daripada AC." Jawab Giska seraya menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan memejamkan mata. Raia dengan sengaja menyalakan musik dengan suara yang cukup kencang. Memainkan lagu-lagu yang sedang trend dan turut bernyanyi saat ia tahu liriknya. Sandy sesekali melirik Giska, dengan herannya kaget karena gadis itu bisa tertidur dengan suara music yang kencang dan suara Raia yang tidak merdu sama sekali. Namun kala lagu berubah, Sandy cukup terkejut karena gadis itu turut bersenandung. Ternyata, Giska tidak tidur. Gadis itu hanya memejamkan mata saja. Hanya Kiki, satu-satunya orang yang tidak banyak mengeluarkan suara sepanjang perjalanan. Mereka sampai di tempat tujuan berjam-jam kemudian. Sebuah bangunan sederhana berlantai dua dengan halaman luas sudah masuk ke dalam pandangan mereka. Sandy memajukan mobil dengan lebih perlahan ke dalam jalanan berpaving block dimana seorang pria kurus paruh baya sudah menunggunya tepat di ujung teras vila sederhana tersebut. Satu persatu orang turun dari mobil. Kiki seketika menggosok-gosok lengannya dalam upayanya menghangatkan diri. "Dingin ya?" komentar Kiki pada Sandy yang tengah mengeluarkan barang dari bagian belakang mobil dibantu oleh pria kurus tadi yang diketahui bernama Tatang. "Namanya juga pedesaan, Mba." Jawab pria itu sambil tersenyum ramah. "Kali aja hawanya berubah panas, Mang." Ucap Giska yang muncul dari sisi kanan mang Tatang. "Eh, si Neng. Mang pikir gak ikut." Ucap mang Tatang dengan senyum cerahnya. "Mang pikir tadi den Sandy berdua doang sama pacarnya." Ucapnya melirik Kiki yang tiba-tiba saja terlihat tersipu. "Bibi sehat, Mang?" Tanya Giska seraya mengambil ransel miliknya dan membantu menurunkan barang-barang lainnya. "Alhamdulillah sehat. Lagi masak di belakang." Jawab mang Tatang lagi. Mereka beriringan berjalan masuk ke bagian dalam villa dengan membawa tas. Mang Tatang membuka pintu villa untuk mereka dan Giska melepas sepatunya di bagian luar pintu sebelum berjalan masuk. Ia masuk ke dalam villa lebih dulu tanpa menunggu undangan si pemilik yang berjalan di belakangnya. "Ya, gue kalo nanti merit trus honeymoon minjem villa loe ya." Ucap Giska seraya melirik ke arah Raia. "Gak modal banget sih loe. Kayak kurang duit aja." "Gue ngirit, Ya. Daripada duitnya gue pake beli tiket atau sewa hotel, mending gue bawa kesini aja." Jawab Giska lagi sambil nyengir lebar yang membuat Raia memutar bola matanya. "Emangnya kamu udah punya calon, Ka? Pacar aja kamu kan gak punya." Jawab Kiki yang seketika membuat suasana menjadi hening. Raia memandang sahabatnya itu dengan dahi berkerut dalam, dalam hatinya ia bertanya 'kenapa loe ngomong kayak gitu?' dengan kesal. Namun kalimat itu tidak keluar langsung dari mulutnya. "Ya kan gue bilang nanti." Jawab Giska seraya mengedikkan bahu. "Kalo sekarang mah, gue fokus kuliah dulu trus tamat dengan gelar cumlaude." Ucap Giska yang dijawab anggukkan Raia. Giska tidak mungkin mengatakan dengan terang-terangan kalau bukan sepenuhnya salahnya kalau sampai sejauh ini Giska tidak punya pacar. Sejak jaman SMA mereka dulu, ketika kawan-kawannya sibuk mengalami cinta monyet, Giska juga demikian. Dia pernah naksir seniornya, dan juga beberapa teman pria di sekolahnya. Namun selalu saja, para pria itu lebih memilih Kiki daripada dirinya. Giska tidak bisa menyalahkan Kiki kalau gadis itu lebih cantik dan lebih menarik daripada dirinya. Mungkin memang sudah takdirnya tidak berkencan saat teman-temannya yang lain asyik hangout di café di malam minggu atau jalan-jalan bersama pacar sepanjang hari minggu. Keberadaan Kiki dan juga pesona sahabatnya itu turut menjadi alasan kenapa sampai saat ini Giska belum mengiyakan ajakan pertemuan yang Anda minta. Giska sejujurnya takut, kalau nanti Anda bertemu dengannya, bukannya tertarik pada Giska, pria itu malah tertarik pada Kiki. Dan Giska yakin, jika itu terjadi, ia akan merasa sangat sakit hati karena mau tidak mau ia harus akui, sekalipun mereka tidak pernah bertemu muka, ia sudah jatuh dalam pesona pria itu itu begitu saja. Pembicaraan mereka terhenti kala mang Tatang yang baru saja meletakkan tas orangtua Raia kembali ke tempat dimana mereka masih berdiri. "Non-non sama aden mau tidur di kamar mana?" tanyanya agak heran karena pemilik villa dan teman-temannya masih berada di tempat ia tadi meninggalkannya. "Kita di lantai atas aja." Jawab Raia pada mang Tatang. "Bersih kan, Mang?" tanya Raia pada karyawan ayahnya itu. "Bersih atuh, Non. Kan bibi sama mamang rajin bersihinnya." Ucap pria paruh baya itu dengan bangga. Raia menganggukkan kepala dan menarik kopernya menuju tangga. Giska melangkah di belakangnya dan membantu temannya itu menggotong koper besarnya. Namun saat mereka hendak naik, Kiki berkata. "Gue tidur sendiri, gak apa kan?" tanya Kiki pada dua sahabatnya dengan puppy eyesnya. Giska dan Raia berpandangan sejenak. Giska hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban dari pertanyaan tak bersuara Raia. "Tumben." Komentar Raia pada akhirnya. Kiki hanya mengedikkan bahu. "Kali-kali aja." Jawab Kiki dengan senyum di wajahnya. "Mau di kamar mana?" Tanyanya lagi penasaran. "Disini aja, biar deket ke dapur." Jawab Kiki lagi. Raia hanya menganggukkan kepala. "Ya udah, kalo berubah pikiran, loe tahu kan gue sama Giska tidur di kamar mana?" Ucap Raia yang dijawab anggukkan Kiki. Tanpa Raia dan Giska tahu, keputusan Kiki untuk tidur sendiri itu diambil tak lama setelah Kiki melihat Sandy masuk ke salah satu kamar yang ada di lantai satu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN