Devon bukan orang yang mudah menyerah. Setelah pagi dia tidak bisa mendapatkan jawaban dari Nayara, pria itu kemudian datang di siang hari, dengan sengaja menjemput Nayara di depan sekolahnya.
Nayara memperhatikan pria itu. Sudah menjadi angannya selama dua tahun terakhir ini supaya dia diantar jemput oleh pria yang ia sebut sebagai pacar. Tapi bukannya datang saat mereka sedang dalam masa manis-manisnya, pria itu malah datang setelah Nayara mengatakan putus di malam sebelumnya.
"Kita perlu bicara." Ucap Devon seraya menarik tangan Nayara yang sebelumnya sudah menjauh dan bahkan hendak menaiki angkot.
"Aku harus pergi. Mama gak suka kalau lihat aku deket sama kamu." ucap Nayara, dengan gaya kekanakan dan manja dan berusaha melepaskan diri dari Devon. Namun Devon tidak serta merta menuruti kemauan Nayara. Ia tahu Nayara sedang merajuk, dan dia akan berusaha untuk membujuk gadis itu supaya gadis itu mau ikut dengannya.
"Aku gak bisa pergi gitu aja. Aku butuh penjelasan. Bagaimana bisa kamu tiba-tiba ngajakin putus tanpa aku tahu penyebabnya. Kalo kamu gak mau ikut aku sekarang, aku bakalan datang ke rumah kamu." ancamnya yang seketika membuat Nayara bungkam. Gadis itu mau tak mau menurut dan mengikuti Devon. Naik ke motor pria itu dan dengan malas-malasan memasang helm.
Mereka meninggalkan sekolah, melaju menuju arah rumah Nayara. Namun Devon mengubah arah lajunya menuju sebuah lokasi yang Nayara tahu merupakan tempat salah satu sahabatnya. Tempat dimana ia biasa berkumpul dan juga sebenarnya merupakan tempat dimana Nayara bisa mendapatkan informasi mengenai Devon.
"Jadi, kenapa kamu mau putus?" Tanya Devon ingin tahu.
"Kamu selingkuh, kan? Di belakang aku kamu punya cewek lain, kan?" Tuduh Nayara tanpa basa-basi.
Devon tampak tertegun, menatap Nayara tak percaya. Sejenak Nayara menduga kalau tuduhannya itu salah karena Devon kemudian mengatakan.
"Siapa yang bilang begitu? Apa kamu punya bukti?" Devon balik bertanya pada Nayara.
Nayara tak memiliki bukti. Apa yang dia dengar hanya desas desus saja, dan kecurigaan yang sudah terdengar di telinganya membuatnya semakin panas saat kemudian Devon tidak juga membalas pesan-pesannya.
Nayara merasa diabaikan oleh pria itu hingga pantas ia percaya saat ada orang yang mengatakan kalau Devon berselingkuh.
"Gak ada kan? Kamu nuduh aku tanpa bukti. Sebenernya aku yang selingkuh, atau kamu yang selingkuh?" Pria itu balik menuduh Nayara yang membuat Nayara menatapnya dingin.
"Aku gak pernah selingkuh." Geram Nayara.
"Aku juga sama."
"Terus kenapa kamu gak balas pesan aku?" Tanya Nayara masih tidak mau berhenti curiga.
"Ya ampun, Nay. Aku itu sibuk. Aku itu bukan anak SMA yang punya jadwal rutin kayak kamu. Jadwal aku itu gak beraturan. Belum lagi saat ini aku mulai magang di kantornya paman. Jadi aku benar-benar kehabisan tenaga dan bahkan sering tertidur tanpa sempet ngehubungin kamu." Ucap Devon dengan nada putus asa.
Nayara memandang pria itu, kecurigaan yang tadi memenuhi benaknya kini berubah menjadi kesal.
"Kamu gak mungkin gak punya waktu buat ngehubungin aku, kan. Bisa aja waktu istirahat kamu buka hape kamu trus kamu SMS aku atau apa kek. Jangan bilang kalau kamu gak punya pulsa. Aku tahu kalau pulsa kamu selalu banyak, Dev." Dijawab seperti itu, Devon terdiam. "Bilang aja kalau kamu emang gak pernah ingat sama aku. Gak apa, aku juga gak masalah. Ngapain juga punya pacar kalo rasanya seperti diabaikan." Ucap Nayara seraya melangkah menjauh dari rumah teman Devon.
Devon masih tak mau menyerah, ia menarik gadis itu untuk kembali masuk ke dalam rumah.
"Aku minta maaf." Ucap pria itu lirih. "Aku minta maaf dan aku janji hal itu gak akan terulang lagi." Jawab Devon dengan nada memelas. Nayara memandang pacarnya itu dalam diam. Melihat Devon memandangnya dengan penuh permohonan membuatnya teringat pada seekor anak kucing yang terlantar. "Aku janji, waktu aku bangun pagi, atau sebelum aku melakukan aktivitas apapun, aku bakal kasih tahu kamu supaya kamu tahu apa kegiatan aku." Janji pria itu dengan sungguh-sungguh.
"Janji?" Tuntut Nayara dengan mata menatap tajam kea rah Devon.
Devon mengangguk antusias. "Janji." Ucapnya dengan cengiran lebar yang membuat wajahnya terlihat semakin tampan di mata Nayara.
Hubungan mereka kembali membaik kala itu. Devon menepati janjinya. Setiap ada kegiatan, pria itu menghubunginya. Saat kemudian Nayara tidak menanggapi pesannya karena terkendala pulsa, pria itu balik menghubunginya dan mengirimkan Nayara pulsa.
Setiap kali pria itu pulang ke kota asal mereka, mereka selalu pergi berkencan, secara diam-diam karena orangtua Nayara masih tidak mengijinkannya memiliki pacar.
Bagi Nayara, Devon hanya mencintainya. Dia percaya kalau Devon tidak akan mengecewakan dan mengkhianatinya. Namun ternyata, romansa itu tak selamanya indah.
Beberapa bulan kemudian, tepat sebelum liburan tengah semester dimulai, Nayara tanpa sengaja bertemu dengan salah satu teman sekolah menengah pertamanya, Anggita. Gadis yang sebenarnya tidak terlalu ia sukai, di kedai bakso langganannya.
"Hei Nay, udah lama gak ketemu." Ucap gadis itu dengan keramahan yang Nayara anggap terlalu berlebihan. Nayara hanya memberikan senyum ala kadarnya pada gadis itu. Dia tidak mau berbincang terlalu banyak karena ia tidak suka dengan gadis itu. "Oh ya, aku bukannya mau manas-manasin kamu. Tapi aku mau kasih tahu kamu kalau sekarang aku sama Devon udah jadian." Ucap gadis itu masih dengan culas di wajahnya.
"Devon?" Tanya Nayara secara refleks menyebut nama pria itu.
"Iya, Devon. Kakak kelas kita dulu, atau lebih tepatnya mantan pacar kamu." Jawab Anggita masih dengan senyum lebarnya.
"Kapan?" Tanya Nayara ingin tahu. Dia tidak ingin mengatakan pada Anggita kalau saat ini dirinya dan Devon masih berkencan. Mereka belum putus. Dan ia juga ingin tahu darimana kabar kalau dirinya dan Devon sudah putus itu tersebar.
Meskipun orangtuanya tidak tahu kalau Nayara berkencan dengan Devon, namun teman-teman mereka, entah itu alumni atau teman-teman satu kampung, tahu kalau Nayara masih bertemu dengan Devon secara diam-diam.
"Ya sekarang lah, masa iya lusa. Trus kalo kemarin, aku pasti bilang kita mantan, bukan pacaran." Jawab gadis itu dengan nada ketus dan tatapan mengejek seolah Nayara itu gadis yang bodoh.
"Iyakah, kok aku gak tahu ya." Jawab Nayara dengan senyum kecut di wajahnya. "Coba mana buktinya. Aku mau tahu kalau emang kalian pacaran." Ucapnya dengan nada menantang.
Terlihat terhina, Anggita kemudian mengeluarkan ponselnya. Gadis itu membuka aplikasi pesan dan kemudian menunjukkan pesan yang berisi percakapannya dengan Devon yang bahkan baru saja selesai belum setengah jam yang lalu.
'Apa ini?' tanya Nayara dalam hati saat ia membaca pesan-pesan mesra yang dikirimkan nomor Devon pada Anggita. Nayara tidak bodoh, dia mengenal nomor Devon karena nomor itu adalah salah satu nomor yang ia hafal selain nomor ibunya dan miliknya sendiri. Anggita terlihat tersenyum senang saat melihat ekspresi Nayara yang memucat dan tak percaya. Tanpa membiarkan Nayara membaca semua pesan, gadis itu langsung menarik ponselnya dari tangan Nayara.
"Udah ah, mau balik. Bakso ku udah beres." Ucapnya dan kemudian membayar pesanannya lantas melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Nayara yang shock dan sudah kehilangan nafsu makannya.