Part 4 - Berpisah

1270 Kata
Nayara berusaha mengendalikan emosinya. Ia meletakkan bakso pesanan ibunya di atas meja dan setelahnya berjalan naik ke lantai dua rumahnya untuk menyembunyikan diri di dalam kamar. 'Apa ini?' Tanyanya dalam hati. 'Jadi Devon berselingkuh di belakangku? Dengan gadis yang sangat tidak aku sukai? Dengan Anggita?' Lanjutnya masih dengan pikiran tak percaya. Namun ia tidak bisa tidak percaya sebab bukti sudah mengatakan yang sebenarnya. Devon memang berselingkuh, dan dia sudah melihat pesan-pesan yang pria itu kirimkan dengan mata kepalanya sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah 'sejak kapan'? Kapan pria itu mulai menemui Anggita? Bagaimana kisah itu bermula? Dan sudah selama apa? Sejauh apa hubungan mereka berdua di belakangnya. Nayara tidak bisa berpikir jernih. Ia tahu bahwa menghubungi Devon bukanlah jalan yang tepat. Alih-alih mengambil ponsel dan mencoba menghubungi pacarnya, Nayara malah membawa dompet dan ponselnya lalu kembali meninggalkan rumah. "Mau kemana?" Tanya ibunya yang sedang melayani pelanggan salon mereka. "Ke rumah temen, sebentar." Ucapnya dan tanpa menunggu ijin ibunya, Nayara berlalu pergi. Nayara pergi menuju tempat tongkrongan teman-teman Devon. Ia tahu semua teman-teman Devon, dia bahkan berhubungan baik dengan mereka. Terlebih Pandu, sepupu Devon itu adalah teman sekolahnya juga. Melihat Nayara yang berjalan mendekat, mereka menyapanya dengan wajah sumringah. "Tumben keluar sendirian, gak nunggu pangeran pulang." Sapa salah seorang temannya dengan ekspresi jahil. Nayara memang tidak pernah dengan sengaja datang ke tempat tongkrongan saat Devon tidak ada. Tapi kali ini, ada alasan khusus kenapa ia kesana. Dengan wajah serius, Nayara memandang mereka satu persatu dengan curiga sebelum kemudian berkata. "Sejak kapan Devon pacaran sama Anggita?" Pertanyaan bernada menuduh itu seketika membungkam mulut semua pemuda yang berada disana. Petikan gitar terhenti, senandung gembira tadi berubah menjadi hening dan rokok yang tadinya mengepulkan asap menyesakkan kini tertanam dalam asbak alumunium yang berada dekat dengan gelas kopi yang sudah dingin dan hampir habis. Semua ekspresi yang ditunjukkan teman-teman Devon sudah cukup membuktikan kalau memang mereka tahu Devon memiliki hubungan dengan Anggita. Dengan kata lain pria itu berselingkuh di belakangnya disaksikan oleh teman-temannya sendiri. Nayara mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum sinis. Tatapannya langsung mengarah pada Pandu, temannya sekaligus sepupu Devon. "Sejak kapan, Du?" Tanya Nayara ingin tahu. Pandu tampak memucat. Pemuda itu jelas tidak berniat untuk menjawab. Wajahnya tak berani terangkat dan matanya juga tak berani menatap Nayara. Kesal karena Pandu tak juga menanggapi pertanyaannya, Nayara kembali berkata. "Aku lihat isi SMS yang dia kirim ke Anggita. Kebetulan sekali, aku dan Anggita tadi ketemu di tukang bakso. Jadi, jujur sama aku, sejak kapan mereka pacaran?" Tanya Nayara lagi dengan nada menuntut. "A-aku gak tahu, Nay." Jawab Pandu terbata. "Bohong!" Desis Nayara namun masih terdengar oleh pemuda-pemuda itu. "Jawab, Du. Atau aku bilang sama pacar kamu kalau kamu juga bisa jadi selingkuh sama kayak Devon." Ancamnya dan hal itu membuat nyali Pandu seketika menciut. "Tiga bulan." Jawab Pandu akhirnya dengan wajah memerah. Nayara tersenyum. "Jadi bisik-bisik yang aku dengar selama ini itu bukan bisik-bisik bohong. Dia emang selingkuh di belakang aku?" Tanyanya lagi dan tanpa menunggu jawaban mereka, Nayara pergi menjauh dari kerumunan pemuda-pemuda itu. Nayara sakit hati, sangat sakit hati. Dalam perjalanannya kembali ke rumah, airmatanya mengalir dengan sangat deras. Ia malu saat menjadi perhatian orang-orang, tapi ia tidak bisa lagi menahan airmatanya. Saat memasuki rumah, ia berusaha untuk memalingkan wajahnya supaya ibunya tidak melihat airmatanya dan melangkah cepat masuk ke kamarnya untuk menyembunyikan diri. Ia mengunci diri di kamar, menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur dan berbaring tengkurap dengan kepala ditutup bantal untuk meminimalisir suara isakannya. Ponselnya berdering berkali-kali. Devon, yang pastinya mendapat kabar dari teman-teman satu gengnya langsung menghubunginya lewat telepon dan juga pesan bertubi-tubi yang Nayara terus abaikan. Devon sudah menyakitinya. Pria itu dengan tega berselingkuh di belakangnya. Dan yang membuat Nayara sakit hati adalah, pria itu berselingkuh dengan wanita yang sudah menjadi musuhnya sejak dulu. 'Apa tidak ada wanita lain di kota ini? Apa tidak ada wanita yang lebih cantik daripada si Anggita? Kenapa harus dia? Kenapa bukan cewek lain yang aku gak kenal?' Pertanyaan itu terus memenuhi kepala Nayara sampai akhirnya dia jatuh lelap dalam tidurnya. Dua hari setelahnya, Nayara masih mengabaikan pria itu. Pesan-pesan pria itu yang penuh tanya hanya dia lihat lewat pop up ponselnya. Nayara sangat ingin memblokir nomor ponsel pria itu, tapi entah kenapa jarinya sama sekali tidak mampu. Di hari ketiga ia masih bersikap dingin dan terus mengabaikan pesan-pesan dari Devon. Dan ia tidak terkejut, saat malam hari ia tengah beristirahat ibunya menggedor pintu kamarnya dan dengan ketusnya mengatakan kalau Devon menunggunya di depan rumah mereka. Devon bersikap nekad, mendatangi rumah Nayara sekalipun ia tahu akan mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari ibu dan ayah tirinya. Tapi Nayara tidak heran akan hal itu. Sejak dulu, ia tahu kalau Devon adalah orang yang suka bersikap semaunya. Dengan malas, Nayara keluar dari kamarnya menuju depan rumah. Dengan sengaja mengabaikan tatapan tak suka dari ibunya. Devon berdiri di luar pagar rumahnya. Tampak kusut dan marah. Mendengar pintu dibuka, tatapan pria itu langsung mengarah ke arah Nayara. "Kenapa kamu gak balas pesan aku atau angkat telepon aku?!" Tanya pria itu tanpa basa-basi. Nayara memandang pria itu dengan tatapan datar. Amarah yang ia rasakan ia coba untuk sembunyikan. "Emangnya Pandu gak bilang apa-apa?" Nayara balik bertanya. Devon mengerutkan dahinya. "Apa hubungannya semua ini sama Pandu?" Tanyanya bingung. "Karena Pandu tahu kalau aku tahu kamu selingkuh sama Anggita." Jawab Nayara langsung pada intinya. Mata Devon terbelalak kaget. "Apa dia, cewek yang waktu itu digosipin selingkuh sama kamu?" Tanya Nayara ingin tahu. "Kamu salah paham." Jawab Devon seraya mendekat. Pria itu berusaha untuk memegang tangannya, namun Nayara sebisa mungkin untuk menjauh darinya. "Aku gak salah paham." Jawab Nayara datar. "Waktu itu aku emang nuduh kamu selingkuh tanpa bukti. Tapi sekarang, aku nuduh kamu selingkuh karena aku lihat buktinya pakai mata kepala aku sendiri. Aku baca SMS mesra kamu yang panggil dia sayang-sayangan." Nayara tersenyum miris. "Padahal selama ini kamu gak sebegitu lembutnya sama aku." Lanjutnya dengan nada kecewa. "Nay, ini gak seperti yang kamu pikirin. Yang balas SMS itu bukan aku, tapi temen satu kosan aku." Jawab Devon memberikan alasan. Nayara memandang pria itu, hampir percaya dengan aslasan yang pria itu katakan, tapi ia tahu, Devon berbohong. Hubungan mereka sudah terjalin selama bertahun-tahun dan akan bodoh rasanya kalau Nayara tidak mengenali cara ketikan pacarnya sendiri. "Gak usah berkelit." Jawab Nayara dengan dingin. "Gak usah kasih aku alasan kenapa kamu selingkuh sama dia di belakang aku. Aku cukup tahu kalau kamu udah bosan sama aku. Tapi aku gak nyangka kalau kamu akan lakuin jalan seperti ini. "Kalau kamu udah gak punya perasaan lagi sama aku, gak apa Dev. Aku terima. Tapi jangan main belakang kayak gini. Apalagi cewek itu kamu sendiri tahu, dia musuh aku sejak dulu." ucap Nayara dengan kecewa. "Silahkan kalau kamu mau kencan sama dia, aku gak masalah kok. Semoga hubungan kalian langgeng." Ucap Nayara seraya berjalan kembali masuk ke dalam rumah. Mengabaikan Devon yang berusaha memanggilnya. Nayara mendengar suara pukulan, namun dia tidak ingin menoleh untuk melihat apa memukul apa. Dia memilih untuk berjalan masuk ke dalam rumahnya, menutup gorden rapat-rapat dan menguncinya. "Udah Mama bilang, jangan pacaran sama dia. Dia itu bukan anak baik-baik." Ucap ibunya yang ternyata tengah menunggunya di kursi makan. "Sekalipun dia anak baik-baik, tapi latar belakangnya enggak Nay. Ayahnya itu dulunya tukang selingkuh, dan bisa jadi dia juga berakhir seperti bapaknya." Nayara tidak menjawab ucapan ibunya. dia memilih untuk masuk kembali ke dalam kamarnya dan menyembunyikan dirinya disana. Ia kembali mengunci pintu dan kembali meredam tangisannya dengan membekap kepalanya menggunakan bantal. Nayara merasa sakit hati oleh Devon, dan bukannya mendapat penghiburan atas luka hatinya, ibunya malah menaburkan garam. Nayara tahu ibunya tidak menyukai Devon, tapi tidak bisakah wanita itu menahan sedikit ketidaksukaannya itu dan menggantinya dengan simpati?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN