Part 5

2052 Kata
Dalam pikiran Nayara, Devon sudah pulang untuk memikirkan segala kesalahan yang telah diperbuat. Tapi, nyatanya ia salah. Devon justru tetap di depan gerbang. Memukul dinding yang ada di sana hingga menimbulkan suara yang cukup gaduh. Tidak peduli dengan tangannya akan hancur jika terus menerus melakukan itu. Nayara yang sedari tadi mendengar suara gaduh tersebut, berbalik. Kembali ke tempat Devon untuk memastikan suara gaduh tidak berasal dari sang kekasih. Dan betapa Nayara terkejut, saat melihat tangan Devon sudah berdarah karena ulahnya sendiri. "Apa yang kamu lakukan? Tolong hentikan!" Hardik Nayara agar Devon berhenti melakukan kebodohan. yang akan membuatnya terluka. Devon menggeleng. "Aku tidak akan pernah berhenti sebelum kamu memberikan sedikit waktu untukku agar bisa menjelaskan semua ini, Nay. Aku mohon padamu!" "Aku tidak bisa. Aku butuh waktu itu karena yang kamu lakukan sungguh sangat menyakitkan. Terlebih lagi gadis yang kamu pilih adalah Anggita. Sedangkan kamu tahu bagaimana hubunganku dengannya." "Aku tahu, aku juga ngerti. Tapi, ini semua tidak seperti yang kamu lihat. Aku tidak memiliki rasa apapun padanya dan kalau dia menganggap lebih, aku tidak bisa melakukan apapun. Bukankah kita tidak bisa mencegah orang lain untuk mencintai, karena itu hak mereka!" Devon mendekat. "Aku mohon padamu, Nay. Percayalah padaku. Aku sangat mencintai kamu dan rasa sakit di tanganku ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit di hati aku ketika kamu abai padaku. Aku menerima Anggita karena iba padanya yang terus menerus memohon agar aku menerima. Jika itu membuatmu terganggu, maka aku akan putuskan dia saat ini juga." Sungguh manis kata yang terucap dari mulut Devon. Hingga Nayara menarik nafasnya dalam-dalam. Mengangguk pelan. Menerima segala alasan dan kebohongan yang Devon katakan. Tidak tahu sampai kapan Nayara akan percaya dengan segala kebohongan dan mulutnya yang begitu manis. Karena yang Nayara ketahui Devon sangat mencintainya, itu saja sudah lebih dari cukup. "Setelah ini kamu harus janji padaku akan mengakhiri hubungan dengan Anggita. Kalau tidak, kita cukup sampai disini dan aku tidak akan mau memberikan kesempatan kesekian kalinya untukmu. Mengerti?" Cepat Devon mengangguk. Secepat otaknya yang bekerja untuk mencari alasan agar bebas dari amukan Nayara. "Tentu saja, Sayang. Aku akan mengakhiri segala hubungan yang terjalin dengan Anggita. Bahkan, untuk hubungan pertemanan pun tidak akan ada lagi diantara kami." "Ya, aku percaya," sahut Nayara malas. "Sekarang kamu bisa pulang! Aku masih butuh waktu menenangkan pikiranku agar sanggup memberikan maaf untukmu." "Terima kasih, Nay " Memeluk Nayara sekilas. "Aku sangat mencintaimu. Dan akan terus seperti ini sampai kita tua dan mati bersama." "Kamu gila!" ucap Nayara, segera masuk sebelum sang ibu menyusul mereka ke luar gerbang. Bisa bahaya jika itu benar terjadi. Devon terkekeh. "Biar gila. Asalkan kamu mencintaiku, Nayara!" pekiknya, sebelum Nayara benar-benar hilang dibalik pintu rumahnya. "Kemakan rayuan dia lagi?" sindir ibunya Nayara ketika melihatnya masuk dengan air wajah yang berbinar. Padahal beberapa menit yang lalu saat Nayara keluar, sangat jelas terlihat wajah Nayara sembab dan matanya memerah. "Ma, sudahlah. Aku sudah tahu bagaimana Devon hingga hal yang terkecil darinya aku sudah tahu. Jadi aku bisa memastikan segala penilaian dari Mama semuanya salah besar." Tidak terhitung sudah berapa kali Nayara membela Devon. Membantah segala ucapan sang ibu, yang selama ini berusaha keras agar Nayara tidak merasakan sakit seperti dirinya. "Terserah padamu. Bagi Mama Devon tetap laki-laki berengsek yang tidak pernah bisa merasakan sakitnya dikhianati." "Ma, ayolah. Sekali saja menerima Devon dan mencoba melihat dirinya dari sisi lain. Aku sangat yakin Mama pasti menemukan sisi baik Devon dan setuju dengan penilaian aku selama ini." "Mama tidak peduli dengan segala kebodohan yang kamu katakan. Dan satu hal yang harus kamu ketahui sampai matipun Mama tidak akan pernah percaya dengan apa yang kamu katakan. Tidak akan pernah mau menerima dia sebagai menantu, meskipun dia adalah laki-laki terakhir yang ada di dunia ini. Paham!" Jari telunjuk Merita berada tepat di hadapan wajah Nayara. Sebagai bentuk peringatan agar Nayara jera dan tidak lagi termakan rayuan Devon. Sangat-sangat berharap suatu saat nanti putrinya itu sadar dan melepaskan Devon. Tidak tahu kapan. Yang jelas harapan itu akan terus dipupuknya hingga tiba waktunya Nayara menikah. "Terserah Mama saja. Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan agar mata Mama dibuka dan meralat semua ucapan terhadap Devon." Balas Nayara dengan kekesalan yang telah menggunung. Sedari dulu sang ibu yang tidak pernah mau menerima keberadaan Devon di kehidupan Nayara. Dan tentu saja semua larangan itu sembarangan dibuat Merita. Semuanya terjadi karena Merita sudah menyetujui dengan jelas siapa Devon dan sepak terjang ayahnya. *** "Aku rasa Devon ini bukanlah laki-laki yang baik," keluh Anggita sebelum mendudukkan bokongnya di samping Nayara. Wajahnya tampak kusut, tidak seperti saat mereka bertemu beberapa minggu yang lalu. Nayara yang sudah merasa tidak nyaman karena tiba-tiba saja didatangi Anggita, tentu saja membuatnya cukup penasaran apa yang membuat gadis itu mampir saat melihatnya duduk di warung bakso langganannya. "Aku merasa menyesal dengan mudah menerima ungkapan cinta darinya, karena semudah itu pula dia mengatakan putus padaku," keluhnya. Meletakkan ponselnya di depan Nayara, agar bisa melihat bagaimana mudahnya Devon mengakhiri hubungan mereka yang baru saja beberapa bulan ini terjalin. Nayara yang tengah menikmati kekenyalan bola-bola daging yang ada di dalam mulutnya, hanya tersenyum tipis. Mengangguk samar, untuk merespon ucapan Anggita. Sedangkan di dalam hatinya Nayara sangat bersyukur karena Devon akhirnya mau menepati janjinya untuk mengakhiri hubungan dengan Anggita. Meski setelah ini harus meminta penjelasan lagi dari Devon, tentang maksud dan tujuannya yang mengatakan bahwa Anggita yang memohon padanya demi sebuah status. Tapi, nyatanya malah Devon yang lebih dahulu mengungkapkan cinta kepada Anggita. "Maka dari itu, sebelum memulai sebuah hubungan, kamu harus memikirkan terlebih dahulu apakah keputusan yang diambil sudah benar atau belum. Takutnya seperti sekarang, dia datang dengan mudah dan pergi seperti itu pula." Nayara menyahuti ucapan Anggita, tanpa menoleh sedikitpun padanya. Agar kewarasannya selalu terjaga di hadapan musuh bebuyutannya itu. "Ah, sudahlah. Aku tidak akan merespon keputusan sepihak yang ambil Devon. Terserah dia mau putus atau apa, yang jelas bagiku dia adalah kekasihku. Itu saja," keluh Anggita. Tanpa tahu Naraya kini benar-benar kesal dengan perkataannya. Dengan entengnya Anggita mengatakan tidak akan menerima apalagi membalas pesan dari Devon. Sungguh gadis yang benar-benar lemah. Sehingga tidak tahu kini sedang dipermainkan Devon. Karena jelas-jelas beberapa hari yang lalu Devon datang dan memohon padanya agar hubungan mereka tidak berakhir. Itu artinya, Devon tidak pernah serius dengan segala kata cinta dan sayang yang sering diterima Anggita. "Jadi, bagaimana menurutmu, Nay? Apakah keputusan aku sudah tepat?" Kedua alis Nayara bertaut. "Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bahas." "Ck, jangan begitu. Sebagai mantan Devon kamu tidak boleh langsung marah seperti itu. Tidak baik untuk kesehatan kulit kamu, Nay." "Jangan muter-muter. Cepat katakan apa maksudmu, agar aku mengerti dan tahu harus menjawab apa. Seperti yang kamu lihat, makananku sudah habis dan waktunya aku pulang." Desis Naraya, jengah dengan Anggita yang masih saja banyak bertanya padanya. Seakan sedang memanasi dirinya yang kini dianggap sebagai mantan kekasihnya Devon. Semacam, ingin menegaskan bahwasanya Anggita bisa mendapatkan Devon, yang merupakan pria menjadi rebutan banyak gadis. Padahal seharusnya Anggita malu menjalin hubungan dengan Devon yang notabenenya adalah mantan kekasih Nayara. Bukankan menjalin hubungan dengan mantan kekasih musuh sendiri itu merupakan hal yang buruk? Kalau ingin menyaingi dan memanasi Nayara seharusnya Anggita mengincar pria yang menjadi gebetan Nayara, bukannya malah mantan kekasih. Lebih parahnya lagi, Anggita terang-terangan mengatakan tidak peduli dengan keinginan Devon. Itu artinya ia malah memuja barang yang telah dibuang Nayara. Itu sangat memalukan. Akan lebih memalukan lagi jika Anggita mengetahui kalau Devon ternyata masih menjalin hubungan dengan Nayara. Hubungan mereka masih sama seperti dulu. Meskipun Devon masih belum mampu setia kepada satu sosok gadis saja, yaitu Nayara. "Ck, kamu ini. Jangan terlalu terburu-buru begitu. Tidak ada salahnya kita duduk disini. Berdua, berbicara banyak dan saling berbagi pengetahuan. Entah itu tentang tugas atau …." "Devon? Cepat katakan apa yang ingin kamu tanyakan tentang dia. Jangan terlalu banyak basa-basi karena aku tidak suka itu. "Oke, aku akan langsung ke inti pembicaraan." Anggita menegakkan punggungnya. "Dulu kamu dan Devon kenapa putus?" "Aku dan dia tidak pernah putus. Bahkan sampai detik ini aku dan dia masih menjalin hubungan. Dan keputusan yang diambil Devon untuk mengakhiri hubungan denganmu, itu semua agar aku tidak memutuskan hubungan dengannya." "Ti-tidak mungkin. Kamu pasti sedang mencoba menipuku.* "Terserah padamu ingin percaya atau tidak. Karena aku tidak sedang meminta sebuah kepercayaan, tapi aku disini menceritakan apa yang sedang terjadi." "Tapi kata Devon hubungan kalian berdua sudah berakhir sejak lama." "Itu tidak benar. Dan kembali aku tegaskan, disini aku tidak ingin meminta apapun padamu." "Sudahlah. Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu. Karena seluruh ucapan yang keluar dari mulutmu tidak lebih dari sekedar kebohongan semata karena merasa kalah saing dariku." Tidak tahu apakah karena malu atau kecewa karena Devon telah membohonginya, tanpa berpamitan terlebih dahulu Anggita segera beranjak pergi. Wajahnya memerah karena tahu ternyata dirinya adalah kekasih gelap Devon. Naraya tersenyum tipis. Mengejek Anggita yang sudah hilang dari pandangannya. *** "Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan Anggita," ucap Naraya setelah berbasa-basi dengan Devon, melalui panggilan suara. "Anggita? Di mana?" "Warung bakso langganan aku. Dia datang untuk mengeluhkan sesuatu padaku." "Mengeluhkan apa?" Kedua alis Devon bertaut. Cukup heran dengan pernyataan Nayara yang mengatakan Anggita mengeluhkan sesuatu padanya. Bukankan selama ini mereka berdua bermusuhan? "Dia sangat kecewa padamu yang dengan mudahnya mengatakan cinta, mudah pula mengakhiri hubungan kalian." Mata Naraya menyipit. "Bukankah kemarin kamu mengatakan kalau dia yang mengejar dan memohon padamu?" "Apa yang dikatakan Anggita itu tidak benar sama sekali. Dia mengatakan itu hanya untuk memanasi kamu, Nay karena aku lebih memilih kamu daripada dia." "Kamu bisa, nggak jujur saja padaku? Agar aku benar-benar bisa maafin kamu? Bisa nggak?" "Aku …." "Devon, ayolah. Tidak mungkin Nayara ingin memanasi aku sedangkan dia tidak tahu kita masih menjalin hubungan. Dia juga mengatakan padaku, kalau kamu menyatakan kita berdua sudah berpisah." Potong Nayara cepat. Sebelum Devon memberikan karangan bebas lagi untuk berkilah dari segala kebohongannya. Kalau benar Devon mengelak lagi, mungkin ini adalah kali terakhir mereka berdua saling memberikan kabar. Nayara akan melupakan segala rasa yang ia miliki untuk Devon kalau begini caranya. "Nay, aku …" "Jadi benar kamu yang memulai menyatakan cinta lebih dahulu kepada Anggita? Kenapa?" Kedua mata Nayara memanas. Siap menumpahkan buliran bening yang kini menggenang di pelupuk matanya. Kecewa, entah untuk yang keberapa kalinya ia harus mendengar Devon berkhianat. Mempermainkan perasaan dan ketulusan cinta yang ia miliki. "Aku hanya iseng, Nay. Karena Anggita terus saja mengejar dan membuatku risih. Maka dari itu aku mengatakan cinta padanya, agar dia berhenti. Dan dugaan aku benar, dia berhenti menggangguku." "Tentu saja dia tidak lagi mengganggumu. Kerena dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Menjadi kekasihmu tentunya." Mata Nayara terpejam kuat. Ia benar-benar tidak habis pikir, baru satu hari berbaikan dengan Devon kini hatinya kembali sakit. Dibohongi, dikecewakan oleh pria yang sangat dicintainya. Pria yang selalu ia puja dan jaga cintanya agar tak tergoda oleh pria lain. Namun, nyatanya Devon yang selama ini memberikan peringatan kepadanya agar tetap setia meski jarak terbentang diantara kita. Justru malah membagi kasih dengan gadis lain dengan mengatakan hubungan mereka sudah kandas di tengah jalan. "Nayara aku mohon padamu. Berikan aku kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki ini semua. Aku berjanji padamu tidak akan pernah membohongi, apalagi menduakan kamu." "Tapi aku tidak bisa semudah itu menerima maaf darimu." "Aku tahu itu. Aku pun tidak akan memaksa maafku diterima. Hanya saja, aku ingin meminta kesempatan untuk mengubah ini semua. Membangun rasa percayamu padaku hingga kamu mampu menerima kata maaf yang aku berikan." "Terserah kamu saja!" Naraya segera mengakhiri panggilan yang sedang terhubung dengan Devon. Saat melihat handel pintu yang turun, menandakan ada seseorang yang akan masuk ke kamarnya. "Mama rasa ini sudah memasuki jam istirahat. Bukannya menghubungi pria yang tidak pernah menghargai segala ketulusan yang kamu miliki," sindir sang ibu yang masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu. Tidak ingin berdebat banyak dengan sang ibu, Naraya segera meraih selimut dan menutupi tubuhnya hingga pucuk kepala. "Ini aku siap untuk tidur. Jadi Mama pergilah!" "Jangan coba-coba bohongi Mama, Nay. Kamu pikir Mama tidak tahu apa yang sedang kamu lakukan? Sedari tadi, mendengarkan bujuk rayu dari Devon yang ketahuan selingkuh." "Ma, kalau hanya ingin memberikan komentar jelek terhadap Devon, lebih baik Mama keluar karena aku tidak ingin berdebat." Merita mendengus. "Sampai kapan kamu akan seperti ini? Memuja dan mencintai pria tidak punya hati seperti Devon?" "Ma …." "Ingat, ya, Nay. Mau sebesar apapun cintamu untuknya, Mama tidak akan pernah memberikan restu untukmu. Baik untuk pacaran, apalagi menikah!" sergah Merita sebelum keluar dari kamar. Tidak lupa membanting pintu untuk melampiaskan kekesalannya pada Nayara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN