Selalu seperti itu, Devon berkali-kali mengkhianati Nayara, tapi maaf pun selalu diberikan kepadanya. Entah karena cintanya yang begitu besar atau memang Devon bisa merangkai kata menjadi sebuah rayuan. Sehingga meluluhkan hati Naraya sehingga maaf selalu didapatkannya.
"Selama menjalin hubungan dengan Devon, belum pernah sekalipun Ibu mendengar dia setia padamu. Selalu saja kamu diduakan dan anehnya kamu selalu saja mau menerima segala penglihatan itu. Mama tidak mengerti, apakah kamu bodoh atau sejenisnya." Sindir Merita, saat Naraya masuk ke kamar. mengantarkan obat dan makanan untuknya yang beberapa bulan ini harus berjuang dengan penyakit.
"Ma, sudahlah. Jangan lagi menuduh Devon yang bukan-bukan. Tidakkah Mama lelah beberapa tahun ini berbicara seperti itu? Bahkan kini aku sudah semester tiga, tapi Mama masih saja seperti ini. Dan untuk gosip yang Mama dengar di luar sana itu tidaklah benar. Itu hanyalah akal-akalan musuh Devon agar aku membenci dirinya. Seperti yang Mama tahu, hubungan jarak jauh tidak akan pernah berhasil. Tapi, aku akan buktikan kami akan baik-baik saja."
"Terserah apa katamu. Tapi yang jelas, untuk suamimu Mama tidak pernah setuju jika Devon orangnya. Paham kamu?"
"Ma," keluh Naraya. Lama-lama muak juga dengan pembahasan ini saja dengan sang ibu. Sejak dia SMA hingga kini kuliah, tetap saja tidak merestui hubungannya dengan Devon. Meski sudah berapa kali ia jelaskan dan membela, tapi tetap saja. Pengkhianatan Devon selalu saja sampai di telinganya.
"Sampai kapan Mama seperti ini?"
"Sampai kamu meninggalkan Devon atau sampai Mama mati. Mungkin hanya dua kemungkinan itu saja yang akan membuat Mama berhenti memberikan nasehat padamu, Nay."
"Terserah Mama saja. Aku capek!" Kesal, Naraya meletakkan nampan di atas nakas dan keluar dari kamar sang ibu.
Niatnya untuk menyuapi sang ibu makan malam tiba-tiba saja batal karena perdebatan yang tak berujung kembali terjadi. Ingin rasanya Naraya pergi, tapi keadaan Merita tidak memungkinkan untuk ditinggal.
Alhasil, hanya kamar yang menjadi tempat pelarian bagi Naraya. Untuk menumpahkan segala kekesalan atas ucapan sang ibu.
"Nay, Nayara!" seru Merita.. Berusaha untuk menghentikan Naraya, tapi gadis itu tak merespon sama sekali. Kakinya tetap melangkah pergi menuju ke kamarnya. Menutup pintu dengan kasar dan menenggelamkan wajahnya di bantal.
Naraya menangis. Merutuki sang ibu yang tidak pernah mendukungnya. Memberikan semangat agar ia Kuat menjalani hubungan jarak jauh dengan Devon.
Namun, yang didapat malah sebaliknya. Sang ibu tidak pernah setuju dengan hubungan yang terjalin. Bahkan, sejak pertama kali ia dan Devon saling berkenalan. Sampai detik ini. Bahkan semakin usianya bertambah, maka semakin pedas saja ucapan sang ibu tentang Devon.
"Hai, sayang. Apa kabar?" sapa Devon begitu panggilannya dan Naraya tersambung. Pria itu terdengar sangat bersemangat dalam mengangkat panggilan dari Naraya, tidak seperti hari-hari biasanya.
Biasanya, Devon terdengar begitu lesu. Seakan panggilan masuk dari Naraya adalah sebuah hambatan baginya. Atau yang lebih parahnya lagi, Devon mengabaikan panggilan dan pesan masuk dari Naraya agar tidak diganggu sama sekali.
Dan begitu Naraya lelah menghubunginya, barulah Devon beraksi. Entah mencari celah dengan menghubungi gadis lain atau keluar bersama teman-temannya. Menikmati sepanjang malam dengan seorang gadis yang nyata, tidak seperti Naraya yang jauh di sana.
"Tumben kamu cepat angkat panggilan dari aku? Biasanya juga lama atau bahkan mengabaikan," sindir Naraya. Tepat mengenai sasaran, sesuai dengan ulah Devon selama ini.
"Bukannya tumben atau sejenisnya, Nay. Hanya saja hari ini pekerjaan aku tidak terlalu banyak karena ada paman disini. Hari ini aku juga hanya menghadiri acara kenaikkan pangkat. Jadi posisiku di perusahan paman sehingga aku semakin dekat dengan tujuan kita."
"Maksudmu?"
"Posisiku saat ini sangat cukup untuk biaya kehidupan kita dan anak-anak kita kelak. Dan aku juga sudah mengumpulkan banyak uang untuk acara pernikahan kita. Aku, sudah siap seratus persen untuk melamar kamu, Nay. Membuktikan kepada ibumu kalau aku benar-benar serius dengan hubungan ini." Ungkap Devon jujur.
Mencoba untuk setia, Devon telah memutuskan untuk menikah dengan Naraya. Mengajaknya pindah, agar mereka bisa hidup berdampingan. Tidak seperti sekarang, mereka terpisah sehingga Devon selalu saja tergoda untuk mencari wanita lain untuk mengusir rasa sepinya.
"Benarkah?"
Sumpah demi apapun. Naraya tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Devon. Tapi, disatu sisi ia sangat bahagia karena ada niat baik Devon untuk meresmikan hubungan mereka.
"Tentu saja benar, Nay." Devon meyakinkan. "Sudah banyak tahun yang kita lewati bersama. Dengan begitu banyak masalah dan ujian yang kita lalui. Kini sudah saatnya kita bahagia, hidup bersama dan menjaga satu sama lain."
Hati Naraya menghangat. Dirinya terbang ke awan karena kata-kata yang diungkapkan Devon padanya.
"Aku pegang janjimu, Dev. Aku akan menunggu waktu itu tiba agar aku bisa membuktikan kepada mama kalau kamu memang terbaik untukku." Naraya menjeda sejenak. Saat sebuah pernyataan terlintas di pikirannya.
"Ta-tapi, Dev …."
"Ya?"
"Kamu lamar aku nggak dalam waktu dekat, kan?"
"Kenapa memangnya?" Kedua alis Devon bertaut. Cukup heran dengan pertanyaan yang diberikan Naraya untuknya.
Tidak seharusnya gadis itu mempertanyakan tentang waktu padanya. Seharusnya Naraya menerima saja kapan waktu yang tepat untuknya datang dan melamar. Dan bukankah makin cepat makin baik?
"Kenapa? Aku pikir kamu sama denganku, Nay. Sama-sama ingin cepat bersama. Jadi untuk apa mempertanyakan waktu seperti itu?"
"Bu-bukan begitu, Dev." Sanggahnya. "Aku senang. Sangat senang bisa menikah denganmu dalam waktu dekat. Tapi, aku sangat berharap bukan dalam waktu satu atau dua bulan ini. Seperti yang kamu tahu, aku masih kuliah dan mama pun masih sakit. Aku tidak mungkin meninggalkan mama sendirian disini dan ikut kamu kesana."
"Kita doakan mama segera sembuh. Dengan begitu kita bisa menikah dan kamu ikut denganku."
Naraya mengangguk. Meskipun Devon tidak bisa melihat apa yang ia lakukan. "Baiklah. Kalau memang itu yang kamu inginkan. Kalau boleh aku tahu, kapan pastinya kami akan datang kesini untuk melamarku?" .
*Satu bulan dari sekarang Sepertinya." Ucap Devon yakin.. Mantap dengan segala keputusan yang ia buat untuk membahagiakan Naraya , setelah apa yang ia lakukan.
"Aku akan sampaikan ini kepada mama." Sahut Naraya dengan perasaan ragu. "Aku harap mama sudah mengubah keputusannya dan menerima kamu." Sambungnya dalam hati.
Menepis segala rasa ragu dan khawatir yang menerpa dirinya karena selama ini Devon tidak lagi pernah tahu bagaimana ibunya menentang hubungan mereka.
Usai pembicaraannya dengan Devon yang cukup lama, Naraya segera mengakhiri panggilan. Meletakkan ponsel di nakas. Berbaring telentang dan menatap langit-langit kamar. Sejenak ia berpikir bagaimana caranya menyampaikan niat baik Devon kepada sang ibu. Jujur saja Naraya tidak bisa mendeskripsikan apakah ini kabar bahagia atau bukan.
Di satu sisi Naraya bahagia, disatu sisi lain ia takut ini semua berakhir sia-sia. Mengingat kata-kata sang ibu yang tidak pernah berubah dari dulu.
"Sampai matipun Mama tidak akan pernah setuju kamu menjalin hubungan dengan Devon, apalagi menjadi istrinya."
Mata Naraya terpejam kuat. Menepis segala kemungkinan buruk ketika kabar ini disampaikan kepada sang ibu.
Perlahan, ia bangkit dan mensugestikan kepada diri sendiri bahwasanya sang ibu pasti mau menerima Devon karena kini pria itu sangat serius padanya. Bukankah pernikahan adalah jenjang tertinggi dari muara sebuah hubungan kasih sepasang anak manusia yang saling cinta?
"Aku coba bicarakan ini dengan mama sekarang. Lebih cepat lebih baik, bukan?" gumamnya. Dengan langkah pasti Naraya menuju ke kamar ibunya. Membawa sebuah kabar yang beredar akan memicu kemarahan atau kebahagiaan. Entahlah. Yang jelas Naraya akan mencoba bicara baik-baik agar sang ibu mau mengerti dan menerima Devon.
Namun, sampai kapanpun Naraya tidak akan pernah bisa menyampaikan kabar itu kepada ibunya. Karena tadi adalah kali terakhir ia berdebat dengan sang ibu.
"Ma … Mama!" seru Naraya, lirih.. Mulai panik karena sang ibu tidak lagi membuka matanya ketika ia bangunkan.
"Ma, bangun. Dengarkan aku Mama." Tangisnya pecah. Sadar sang ibu tak lagi merespon apa yang ia lakukan.
Tubuh ibunya mulai dingin dengan bibirnya yang pucat. Mata terpejam tak mau terbuka meskipun Naraya sudah mengguncang tubuhnya dengan kuat.
Tidak ingin berpikiran buruk, Naraya segera meminta pertolongan kepada para tetangga untuk membawa ibunya ke rumah sakit. Meskipun dirinya sendiri tidak yakin sang ibu masih hidup, tapi tidak ada salahnya ia mencoba. Memastikan dan berharap ada satu keajaiban yang bisa mengembalikan sang ibu padanya.
"Ibu kamu sudah berpulang sebelum membawanya ke rumah sakit. Kami turut berduka cita dan semoga Tuhan memberikan tempat terbaik untuk ibumu. Kamu harus kuat dan sabar. Doakan beliau."
Seorang dokter menghampiri Naraya. Menyampaikan bagaimana keadaan sang ibu yang beberapa saat lalu dibawa ke rumah sakit.
Tubuh Naraya terduduk di atas dinginnya lantai rumah sakit.. Tatapannya begitu nanar menatap sang ibu yang kini terbaring di brankar rumah sakit, mulai ditutupi kain putih.
"Maafkan Naraya, Bu," gumamnya dalam hati.. Benar-benar menyesal meninggalkan sang ibu sendirian di kamar. Pergi tanpa peduli dengan ibunya yang memanggil namanya agar kembali.
Naraya pikir sama seperti biasa. Malam mereka beradu argumen, paginya sudah kembali seperti biasanya. Naraya dan ibunya kembali baik dan bergurau seperti biasa. Sepulang dari kampus Naraya juga langsung membantu sang ibu melayani pelanggan di salon. Agar tugas sang ibu tidak terlalu berat disana.
Berusaha bangkit dengan mengumpulkan puing-puing kekuatan yang ia miliki, Naraya menghubungi sang ayah yang kini sudah sibuk dengan keluarga barunya. Ia menyampaikan kabar jika sang ibu sudah tiada. Meskipun mantan istri, setidaknya sebagai seorang ayah tentunya harus datang untuk memberikan dukungan dan membantu segala proses sebelum jenazah dimakamkan.
Terakhir, dengan sisa kewarasan Naraya mengabari Devon. Berharap Devon bisa meluangkan waktu untuknya. Menemaninya melepaskan sang ibu yang sudah berpulang ke Rahmatullah.
Mendapatkan kabar duka tersebut tentu saja menuntun Devon segera datang. Mengorbankan pekerjaan yang ada ia segera menemui Naraya. Menemaninya hingga proses pemakaman selesai dilangsungkan.
"Kamu harus tabah. Aku yakin kamu kuat menjalani ini semua." Devon memeluk Naraya dengan erat. Memberikan kekuatan dan ketenangan bagi Naraya.
Meskipun itu semua tidak akan sanggup menghapus duka Naraya, setidaknya kehadiran dan kata-kata dari Devon mampu membuat Nayara yakin bahwasanya masih ada Devon yang akan menjaganya.
"Sekarang apa rencanamu? Ibumu sudah tiada. Apakah ingin ikut dengan ayah atau tetap disini melanjutkan salon ibumu?"
Naraya mengurai pelukan Devon.. Baru saja ia merasa tenang dan ayah sudah datang dan mempertanyakan apa yang ia inginkan. Padahal bisa menunggu sejenak, setidaknya besok atau lusa. Biarkan dulu ia berpikir untuk jalan hidup yang akan ditempuhnya nanti.
"Kala Om izinkan, aku yang akan menjaga dan melindungi Naraya. Maka dari itu, berikan Restu untukmu kami menikah. Agar aku bisa menjaga dan melindungi Naraya sebagai seorang suami." Potong Devon cepat sebelum Naraya menjawab pertanyaan sang ayah.
"Ka-kamu?" Naraya menoleh ke arah Devon. "Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Dev. Karena mama sudah tiada aku tidak mungkin ikut denganmu dan meninggalkan semua ini. Aku tidak ingin salon yang telah dibangun mama dengan susah payah, harus ditutup begitu saja kalau aku menikah dan ikut denganmu."
"Aku serius." Devon mengusap pucuk kepala Naraya. "Aku akan turuti segala inginmu. Yang jelas kita akan menikah agar tidak ada yang bisa ganggu kamu dan aku memiliki kekuatan penuh untuk menjaga kamu. Untuk tempat tinggal, kamu bisa tetap disini dan aku akan membagi waktu dengan baik agar bisa imbang antara kamu dan pekerjaan."
"Ta-tapi …."
"Sudahlah, Nay. Ikuti saja apa yang dikatakan Devon. Karena semuanya itu benar. Lagipula kalau bukan dia siapa lagi yang akan menjaga kamu? Papa tidak mungkin melakukan itu karena keluarga kecil Papa tentu saja lebih butuh perhatian daripada pada kamu yang telah beranjak dewasa."
Ayahnya Naraya menekankan setiap kata yang terucap dari bibirnya. Menegaskan seakan Naraya adalah beban baginya di tengah keluarga yang baru.
Tidak ada jawaban ya atau tidak yang terucap dari mulut Naraya. Karena ia segera beranjak pergi ke kamar meninggalkan sang ayah dan Devon yang ternyata masih melanjutkan pembicaraan mereka tentang pernikahan. Hingga sebuah keputusan diambil tanpa melibatkan Naraya.
Ayahnya Naraya telah menerima lamaran Devon. Dan bulan depan telah ditentukan sebagai hari pernikahan mereka berdua. Sesuai dengan kesepakatan awal, Devon akan pulang sekali seminggu atau kapan pun Naraya butuhkan. Kalau memang Naraya tidak mau meninggalkan salon peninggalan sang ibu.
"Ma, apakah ini sudah benar?" Naraya menatap fotonya dan sang ibu yang menggantung di dinding kamar. Kini tak ada lagi sang ibu yang selalu cerewet padanya.
Tidak ada lagi ibu yang mengajaknya tertawa ataupun beradu argumen. Kini semuanya telah pergi dan terasa sepi. Separuh dari dunia Naraya sudah hilang bersamaan dengan tertutupnya sang ibu dengan gundukan tanah.
Ia mulai menangis. Merasa bersalah karena selalu ketus setiap kali ada nasehat tentang Devon. Selalu saja membanting pintu ketika restu itu takkan pernah mau diberikan.
Naraya juga ingat dengan jelas apa alasan yang membuat sang ibu berhenti membahas Devon dengannya. Pembahasan itu akan berakhir jika Naraya sudah meninggalkan Devon, atau sang ibu yang pergi untuk selamanya. Jika satu diantara dua itu terjadi, ibunya sudah memberikan kepastian tidak akan ada cerita tentang Devon lagi.